Warga RW 3 Kelurahan Jabungan, Semarang, terbiasa berjalan kaki mengambil air baku atau air untuk keperluan konsumsi di Masjid Al Hidayah. Hal itu telah dilakukan bertahun-tahun karena air sumur di rumah mereka dinilai tak layak dikonsumsi.
detikJateng sempat mengunjungi lokasi tersebut pada Senin (27/6) sore. Saat itu dua ibu-ibu terlihat mengambil air di Masjid Al Hidayah meski hari hampir petang. Keduanya menggendong galon dan jeriken.
Ketua RT 03 RW 03 Kelurahan Jabungan, Gunadi mengatakan sudah sejak lama warganya mengambil air dari Masjid Al Hidayah untuk keperluan konsumsi. Bukan karena wilayahnya kekeringan, tapi karena air dari masjid itu disebut berasal dari pegunungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kekeringan sebenarnya itu nggak, di sini kan ada air cuma nggak layak konsumsi. Kalau konsumsi kan air dari gunung, itu sudah lama," kata Gunadi saat ditemui di rumahnya.
Namun pada musim kemarau seperti akhir-akhir ini, aliran air di Masjid Al Hidayah itu sangat kecil. Walhasil, warga pun harus mengantre sehingga terkesan seperti warga yang mengalami kekeringan.
"Tergantung ngalirnya, kalau ngalirnya besar ya cepat. Biasanya pagi ngantrenya, tapi ya kadang siang, sore, nggak tentu," ujar Gunadi.
Ditemui terpisah, Ketua RW 03 Karyitno menyebut warga telah terbiasa mengambil air di Masjid Al Hidayah sejak awal tahun 2000. Warga mulai mengetahui air di sumur rumah mereka tak layak konsumsi saat Karyitno memberanikan diri untuk mengetes air sumur itu ke laboratorium.
"Pertama saya ambil air itu sekitar tahun 2000. Kalau dulu malah ke kali (sungai) ngambilnya, kali itu kalau kemarau gini dibikin galian di pinggir-pinggir itu, saya nggak tahu itu layak konsumsi atau nggak tapi ngambilnya itu," kata Karyitno saat ditemui di rumahnya.
Dia membawa sampel air sumurnya ke laboratorium setelah curiga melihat kerak di panci yang biasa digunakan untuk merebus air.
"Anak saya dulu setiap pagi (mandi) pakai air hangat, lama-lama pancinya berkerak. Saya (bawa ke) lab ternyata airnya memang tidak layak konsumsi. Katanya kadar kapurnya atau kadar garamnya terlalu tinggi," jelasnya.
Menurut Karyitno, efek jangka panjang mengonsumsi air tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Dia lalu menunjukkan hasil pengujian air berkop Dinas Kesehatan Kota Semarang UPTD Laboratorium Kesehatan, tertanggal 14 Maret 2023. Di sana tertulis sampel diambil oleh petugas Puskesmas Padangsari di RT 03 RW 03 Kelurahan Jabungan pada 6 Maret 2023.
Hasil pengujian airnya ada di halaman selanjutnya.
Dalam surat itu tertera bahwa air tidak berbau, sedangkan rasa dan warnanya belum mencapai batas maksimal. Berikut hasil lainnya:
Zat padat terlarut 405 mg/l dengan batas maksimal kurang dari 300 mg/l
- Besi (Fe)* (terlarut) 0,009 mg/l dengan batas maksimal 0,2 mg/l
- Derajat keasaman/Ph 7,20 dengan kadar normal 6,5-8,5
- Kromium Valensi 6 (Cr6+) (terlarut) 0,035 mg/l dengan batas maksimal 0,01 mg/l
- Mangan (Mn) (terlarut) 0,474 mg/l dengan batas maksimal 0,1 mg/l
- Nitrit (sebagai NO2-)* (terlarut) 0,02 mg/l dengan batas maksimal 3 mg/l
Dari 6 RW di Kelurahan Jabungan, setidaknya ada 3 RW yang mengalami hal serupa. Di Wilayah Karyitno, RW 03, terdapat 3 RT dengan jumlah KK sekitar 210. "RW 3, 4, 5 juga sama," lanjutnya.
Di wilayah tersebut kebanyakan warga mengandalkan air sumur dan air yang disalurkan oleh Pamsimas. Meski membantu untuk kebutuhan sehari-hari, air yang disalurkan Pamsimas juga berasal dari air tanah yang juga dinilai tak layak dikonsumsi.
"PAM, PDAM nggak ada sampai sini, seandainya ada pun kan mahal. Jadi mungkin warga enggak begitu minatnya karena mahal," kata Karyitno.
Alasan ekonomi yang membuat warga tetap memilih antre di masjid meski aliran airnya sedang kecil, daripada membeli air isi ulang. Namun saat ini sudah ada beberapa warga yang mendapat air dari saluran mata air yang dikelola swasta.
"Nah ini saya kan malah pasang pribadi ini, ada orang usaha itu saya pasang Rp 1,5 juta, per kubiknya murah itu Rp 1.000, tapi itu cuma mencukupi dari RT sini itu sebagian," jelas Karyitno.
Karyitno berharap ada solusi permanen terkait masalah ini, seperti adanya saluran air yang berasal dari salah satu mata air yang dinyatakan layak konsumsi.
"Bulan kemarin itu baru mau ada bantuan Pamsimas lagi dari daerah Gedawang ke sana lagi, ada 4.000 meter. Nah itu mulai dibangun minggu kemarin dan itu berharap bisa untuk 160 sambungan rumah. Nanti kalau itu sudah jadi mau cari sumber yang lebih besar, mau bantuan untuk 250 rumah, itu mungkin bisa untuk mencukupi RW 3, RW 5," pungkasnya.
Penjelasan Dinas ESDM Jateng di halaman selanjutnya.
Kata Dinas ESDM Jawa Tengah
Kasi Geologi dan Minerba Dinas ESDM Jawa Tengah Cabang Semarang-Demak, Agus Azis mengaku belum mendapat informasi terkait kandungan air sumur di Kelurahan Jabungan. Namun, dia menjelaskan memang ada kemungkinan air di sana mengandung zat-zat tertentu.
"Saya malah belum mendapat informasi secara resmi terkait kondisi air dari sumur di Kelurahan Jabungan," kata Agus saat dimintai konfirmasi.
Secara geografis, Jabungan berada di cekungan air tanah Semarang-Demak dengan kandungan air yang rendah.
"Mungkin ada air itu malah air-air akuifer (lapisan tanah yang mengandung air) bebas atau akuifer dangkal," jelasnya.
Dalam kondisi seperti itu, air dimungkinkan mengandung zat tertentu baik karena tercemar aktifitas manusia atau secara alamiah. Kandungan dalam air itu tak bisa dinilai secara kasat mata.
Secara geologi, Jabungan juga berada dalam formasi kerek dan formasi kalibeng. Dalam formasi itu, di daerah Jabungan terdapat batuan gamping dan lempung.
"Kalau ada kandungan-kandungan tertentu itu tidak harus dari pencemaran sih. Kalau dari batuan tersebut mengandung misalnya gamping ya bisa saja airnya itu ada kandungan kapurnya," pungkasnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, Bambang Suronggono juga mengaku belum mengetahui terkait informasi air tak layak konsumsi di Jabungan.
"Aku juga baru dapat informasi. Ini masih saya coba tugaskan tim pengawasan ke sana," ujar Bambang.