Batu Bata Abad 6-10 M Ditemukan di Kawasan Makam Panjang 6 Meter Demak

Batu Bata Abad 6-10 M Ditemukan di Kawasan Makam Panjang 6 Meter Demak

Mochamad Saifudin - detikJateng
Selasa, 24 Jan 2023 19:08 WIB
Batu bata berbagai pola peninggalan abad 6-10 Masehi di Demak. Foto diunggah Selasa (24/1/2023).
Batu bata berbagai pola peninggalan abad 6-10 Masehi di Demak. Foto diunggah Selasa (24/1/2023). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng
Demak -

Makam panjang enam meter tetenger Desa Tridonorejo, Kecamatan Bonang, Demak, berada di kawasan penemuan batu bata peninggalan abad 6-10 Masehi. Penelitian arkeolog pada tahun 2019 menyebutkan wilayah tersebut merupakan kawasan bangunan rumah.

Pemandu Museum Glagahwangi Dindikbud Demak, Ahmad Widodo mengatakan penemuan batu bata tersebut tidak hanya pada satu titik lokasi. Melainkan berada di sejumlah sawah bengkok Desa Tridonorejo dan Jatirogo, Kecamatan Bonang.

"Sudah diteliti oleh tim arkeolog bahwa di situ betul adalah peninggalan zaman agama Buddha, periode 6 sampai 10 Masehi," kata Widodo saat ditemui di Museum Glagahwangi, Selasa (24/1/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dan batu tersebut tidak hanya satu lokasi. Beberapa petak lokasi di antaranya Tridonorejo berdampingan di daerah Jatirogo," sambungnya.

Ia menyebut hampir keseluruhan sawah di Desa Jatirogo terdapat temuan batu bata berukuran tak lazim. Bentuknya lebih besar dan panjang dibandingkan bentuk batu bata saat ini.

ADVERTISEMENT

Ia menyebut bobotnya ringan lantaran mengandung sekam di dalamnya. Kendati demikian, ia menerangkan penemuan batu bata tersebut bentuk besar kecilnya bervariatif.

Batu bata berbagai pola peninggalan abad 6-10 Masehi di Demak. Foto diunggah Selasa (24/1/2023).Batu bata berbagai pola peninggalan abad 6-10 Masehi di Demak. Foto diunggah Selasa (24/1/2023). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng

"Jelas lebih besar (dibanding batu bata saat ini). Bentuknya berbeda sesuai masing-masing pola, tebalnya pun beda. Ada yang ketebalan 6 cm ada yang 10 cm. Ada yang lebarnya 16 cm, 15 cm, 12 cm. Dan ada yang panjangnya 20-40 cm," terangnya.

"Kalau Buddha ini polanya banyak. Karena Buddha identik dengan pola melengkung, kalau Hindu pola bangunannya segi empat. Besar kecilnya menyesuaikan pola," sambungnya.

Ia menjelaskan penemuan batu bata di kawasan dua desa tersebut sangat banyak. Bahkan sebelum adanya undang-undang perlindungan benda cagar budaya, warga setempat membangun tembok masjid menggunakan batu bata tersebut.

"Sebelum ada undang-undang orang desa itu setiap mendapatkan itu terus wara-wara. Setelah diumumkan pak kiai menyuruh untuk mengambili untuk membangun masjid. Di antaranya masjid di Jatirogo itu ada masjid. Tembok pembangunannya dari batu bata itu. Dindingnya ada. Memang diperlihatkan," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, pada kawasan sawah penemuan batu bata tersebut terdapat banyak kulit kerang turut tertanam dalam tanah. Ia menyebut bukan wilayah pesisir namun sampah rumah tangga pada zaman itu.

"Dan di situ ada kerang kerang banyak itu, itu sebenarnya sampah. Memang makannya itu, lauknya itu. Jadi tidak heran di sana banyak sampah semacam itu," ujarnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Widodo menambahkan, sejarah persis batu bata tersebut belum terungkap. "Data sejarahnya kita belum bisa mengetahui jelas. Ini pada masa kerajaan apa. Ini bangunannya bentuk apa," tuturnya.

"Bukti-bukti pecahan guci, tembikar ada yang dibawa ke nasional dan batu batanya sebagian untuk disimpan di museum dan masih banyak yang dipendam lagi," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, makam yang berada di Dukuh Bener, Desa Tridonorejo, Kecamatan Bonang, Demak, dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Makam ini diyakini menyimpan jasad seorang wali.

Batu nisan makam itu memang tidak lazim, panjangnya yang jauh di atas rata-rata makam pada umumnya. Makam itu panjangnya sekitar enam meter.

Makam tersebut jauh dari permukiman, dikelilingi kebun dan sawah. Batu nisannya terlindungi oleh bangunan mirip pendapa dengan lantai keramik.

Adapun nisannya dibuat dengan semen dan dicat hitam dengan garis warna emas. Terdapat tulisan Syeh Hasan Bakem di nisan tersebut.

Juru kunci makam, Mualimin, menceritakan bahwa lingkungan di sekitar makam tersebut dulunya merupakan hutan. Masyarakat menyebutnya sebagai Hutan Bakem. hal itu yang membuat masyarakat menyebut jasad yang dimakamkan di kuburan itu sebagai Syekh Bakem.

"Hutan dulunya, ada satu dua nisan yang tertinggal," kata Mualimin saat ditemui, Rabu (18/1).

Dia menyebut dulunya makam itu hanya ditandai menggunakan kayu. Ukurannya juga cukup panjang. Saat memugar makam itu sekitar 2013 silam, dia membangunnya dengan panjang yang sama, enam meter.

Dia meyakini panjang makam tersebut sesuai dengan postur orang pada masa lalu. "Dulu orangnya itu besar," kata dia.



Hide Ads