Penyandang disabilitas asal Kampung Ngepos, Kecamatan Klaten Tengah, Klaten, Sri Murwanti (62), berjualan BBM eceran di tepi jalan untuk bertahan hidup. Nenek berkursi roda yang berjualan dengan gerobak di utara rumah dinas Bupati Klaten ini tak pernah menerima bansos rutin dari pemerintah pusat.
"Dari pemerintah (bantuan rutin) nol. Kalau bantuan pas COVID itu dikasih tapi setelah COVID ya ndak lagi," kata Sri saat ditemui detikJateng di lapaknya, depan kantor pos dan Makodim 0723/ Klaten, Jalan Pemuda, Kamis (19/1/2023) siang.
Sri mengaku tak menerima bantuan rutin dari pemerintah seperti program BPNT, PKH, maupun BPJS KIS. Untuk bertahan hidup, dia dibantu program sosial dari sebuah BMT (Baitul Maal wat Tamwil) di Klaten.
"Ya ndak pernah (dapat BLT, BPNT, PKH dan KIS). Aku itu sejak listrik rumah sering diputus, terus aku dibantu BMT Safinah sampai sekarang. Listrik dibayari dan diberi uang tiap bulan," ujar Sri di lapaknya yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah dinas Bupati Klaten itu.
Meskipun tak mendapat kartu BPJS KIS dari pemerintah, ucap Sri, dirinya bersyukur tidak pernah sakit.
"Tidak punya BPJS. Pernah diminta bikin mandiri tapi tidak mampu, sehingga sampai sekarang saya tidak punya BPJS," ucap Sri yang mengaku menderita lemah kaki. Jika di rumah, tanpa kursi roda, dia harus merangkak untuk aktivitas sehari-hari.
Sri Murwanti mengaku pernah ke kantor Dinas Sosial (Dinsos) untuk diambil fotonya guna mendapatkan bantuan. Saat itu dia naik kursi roda dan didorong seseorang sampai ke kantor Dinsos. "Pernah difoto (di Dinsos), tapi tidak ada tindak lanjutnya," imbuh Sri.
Sri berjualan BBM eceran dari pagi sampai sore di tepi jalan. Pernah dagangannya tak ada yang membeli dalam sehari. "Kadang tidak laku. Kadang hanya laku sebotol sehari, untung cuma Rp 1.000," ujarnya.
"Daripada minta-minta saya disarankan jual BBM. BBM dibelikan oleh teman, tukang becak. Tapi banyak rugi, kadang dicuri sama botolnya, ya tidak bisa ngejar," imbuh Sri yang mengaku punya satu anak dan cucu di Mojokerto, Jawa Timur.
Sri bercerita, dahulu dia masih sering mendapat kiriman uang Rp 700.000 dari anaknya. Setelah anaknya berkeluarga dan butuh biaya, dia sudah tidak berharap mendapat kiriman lagi.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.