Kisah Pemulung Difabel-Penderita Kanker di Klaten Jadi Tulang Punggung Keluarga

Kisah Pemulung Difabel-Penderita Kanker di Klaten Jadi Tulang Punggung Keluarga

Achmad Hussein Syauqi - detikJateng
Selasa, 29 Nov 2022 15:57 WIB
Lambang Hernowo (56), penyandang difabel warga Desa Kadibolo, Kecamatan Wedi, Klaten, yang jadi tulang punggung keluarga. Foto diunggah pada Selasa (29/11/2022).
Lambang Hernowo (56), penyandang difabel warga Desa Kadibolo, Kecamatan Wedi, Klaten. Foto: Achmad Hussein Syauqi/detikJateng
Klaten -

Lambang Hernowo (56), seorang difabel warga Desa Kadibolo, Kecamatan Wedi, Klaten, menjadi pemulung demi menghidupi keluarga. Tak hanya itu, Lambang juga harus berjuang melawan kanker stadium 4.

"Dua tahun lalu saya divonis kanker nasofaring stadium 4. Awalnya mulut bengkak di langit-langit sehingga hampir menutup mulut," tutur Lambang Hernowo kepada detikJateng saat ditemui di rumah tumpangannya di Dusun Kradenan, Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Selasa (29/11/2022).

Suaranya serak dan wajah menghitam akibat kemoterapi. Dia tinggal di rumah milik kerabatnya. Rumah yang berada di tepi jalan kampung itu dia tempati sejak 4 tahun lalu.

Di rumah itu, Lambang tinggal bersama istri dan merawat kakaknya yang merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Saat detikJateng mendatangi rumah Lambang, tampak ada gerobak untuk memulung dan sepeda motor tua roda 4. Motor tersebut pemberian orang untuk membantu aktivitas Lambang yang bertumpu pada satu kaki.

Lambang menceritakan, setelah divonis kanker dirinya harus menjalani pengobatan radiasi dan kemoterapi 34 kali di RS Moewardi. Selain itu dia sebulan sekali harus kontrol ke rumah sakit.

"Ya dengan biaya sendiri, karena tidak punya bantuan kesehatan pemerintah. Sudah tanya Bu lurah, tanya Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, di BPJS katanya nunggu data kematian dari desa," tutur Lambang.

Untuk membayar iuran BPJS Kesehatan dan biaya hidup keluarga, Lambang sehari-hari bekerja memulung barang bekas. Di sela memulung, dirinya bekerja apa saja.

"Ya memulung, kadang memijat orang, servis kompor atau barang apapun seikhlasnya. Cukup tidak cukup ya bagaimana caranya, cari-cari sedapatnya," papar Lambang.

Menurut Lambang, setiap bulan selain untuk makan dirinya menyisihkan untuk iuran BPJS Rp 210.000 untuk menjamin perawatan kankernya. Sebelum bayar iuran sendiri, BPJS-nya ditanggung kerabat.

"Dulu BPJS kesehatan dibayari kerabat saya, tapi karena usahanya bangkrut akibat COVID tidak bisa lagi membantu dan saya ditinggal. Akhirnya saya bayar BPJS sendiri, untungnya kakak saya dapat KIS sejak dari Jakarta," lanjut Lambang.

"Kakak saya baru saja operasi, ikut saya sudah 6 tahun dan tidak bekerja karena ODGJ. Yang menghidupi ya saya, istri saya juga kerja serabutan apa saja," jelas Lambang.

Selain tidak punya BPJS Kesehatan dari kartu Indonesia sehat (KIS) bantuan pemerintah, Lambang mengaku tak dapat bansos lain misalnya BLT.

"Tidak dapat (bansos rutin). Ya cuma dapat saat COVID selama 9 bulan, dan beras 10 kilogram. Setelah COVID selesai ya tidak dapat," imbuh Lambang.

Lambang juga mengatakan, dirinya masih was-was jika rumah tumpangan itu diminta oleh pemiliknya. "Ya kalau diminta, tidak punya rumah, paling di bawah jembatan. Memulung hasilnya tidak mesti, ya ke sekitar Rawa Jombor atau muter, kadang dikasih kardus tetangga, ini mencoba ternak semut rangrang," ucap Lambang.

Usaha ternak semut Lambang belum menghasilkan karena baru mencoba. Sementara dari usaha jasa pijat dan servis, Lambang juga mengaku tak punya penghasilan yang pasti.

"Pijat dan servis atau apa saja itu bayarnya cuma seikhlasnya yang ngasih. Ada yang bayar pisang, sayuran, beras, atau tidak dikasih pun tidak masalah yang penting banyak saudara," pungkas Lambang.

Simak lebih lengkap di halaman berikutnya...

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT