Tanggal 26 Oktober 2010 atau 12 tahun silam Gunung Merapi mengalami erupsi besar. Erupsi tersebut menyisakan ingatan kedahsyatan bagi warga Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi di wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
"Berawal tanggal 26 Oktober pagi ada perintah evakuasi karena akan naik status dan siang hari saya kumpulkan warga di rumah saya. Tapi warga tidak mau karena tidak ada tanda-tanda erupsi, satu pun tidak mau meskipun mobil sudah disiapkan pemerintah," tutur Jainu, Kaur Perencanaan Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, kepada detikJateng, Rabu (26/10/2022).
Diceritakan Jainu, menjelang magrib, terjadi erupsi besar yang disusul kekacauan luar biasa. Warga berlarian ke bawah menuju tempat pengungsian di Desa Bawukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Letusan itu menewaskan Mbah Maridjan, setelah itu kita menempati pengungsian sampai terjadi letusan kedua tanggal 5 November. Malam itu saya pulang ke rumah di Cangkringan, Sleman," papar Jainu.
Sekitar jam 24.00 WIB, ungkap Jainu, di belakang rumah terdengar gemuruh dan kondisi listrik padam. Seisi rumah pun menangis. Saat itu dirinya bangun tidur menuju ke belakang rumah dan melihat cahaya.
"Saya melihat cahaya, saya kira meter listrik menyala tetapi ternyata kandang sapi saya terbakar. Sapi saya 20 ekor terbakar waktu itu mati semua, ada yang terbakar di kandang, di jalan dan kebun," sambung Jainu.
Melihat itu, kata Jainu, dirinya menggunakan mobil menyelamatkan keluarganya. Saat itu lantai rumah sudah tidak bisa diinjak karena panas.
"Saya keluar rumah tidak bisa menginjak lantai rumah karena sudah merah karena awan panas. Saya keluar menginjak kursi dan meja, setelah lari dengan mobil pun di jalan sudah tidak bisa melihat jalan," papar Jainu.
Jalanan, sebut Jainu, gelap dengan debu pasir dan hujan gerimis. Dirinya tidak tahu tujuan yang penting menjauh dari rumah.
"Yang penting menjauh, di jalan lihat orang berlarian, jatuh dan lainnya tapi sudah tidak bisa kenali lagi. Bahkan saya sampai lupa punya nenek di rumah, saya kira sudah dibawa ternyata belum sehingga Mbah saya terbakar awan panas tidak bisa diselamatkan lagi," tutur Jainu mengenang kala itu.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
Aktivitas Gunung Merapi yang berkembang cepat juga diakui warga Desa Sidorejo yang hanya dipisahkan Sungai Woro dengan Desa Balerante. Meskipun warga sudah bersiap namun kepanikan tidak terhindarkan.
"Saat itu situasi berkembang sangat cepat dari Waspada ke Siaga langsung Awas. Untungnya awal Siaga warga menyusun siapa melakukan apa," ungkap Sukiman, Koordinator Radio Komunitas Lintas Merapi Kecamatan Kemalang, kepada detikJateng.
Dikatakan Sukiman, saat itu suasana panik meskipun warga sudah berbagi tugas. Saat letusan, ada warga yang kehilangan ibunya yang ternyata baru bisa ditemukan di barak pengungsian.
"Letusannya besar di atas kampung saya. Saat itu Mas Sarjino dan Kopral memberikan aba mengungsi ke warga tapi ibunya malah hilang, ternyata ditemukan sudah sampai pengungsian," terang Sukiman yang merupakan warga Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang.
Akhirnya, terang Sukiman, semua warga mengungsi ke kecamatan dan mencari pengungsian sendiri. Bahkan ada yang mengungsi sampai ke wilayah Kecamatan Wedi jauh di perbatasan Kabupaten Gunungkidul.
"Kita mengungsi ke kecamatan tapi banyak warga memilih mengungsi jauh ke Kecamatan Wedi. Rombongan saya berbondong-bondong dengan truk sampai ke Kecamatan Wedi," lanjut Sukiman.
Saat itu, imbuh Sukiman, di lokasi pengungsian beberapa lokasi rombongan tidak diterima. Ada rombongan yang sampai di Kecamatan Ngawen juga.
"Setelah pada ke Wedi, rombongan saya setelah beberapa ditolak akhirnya diterima di Desa Manjung (Kecamatan Ngawen). Di tempatnya Pak almarhum AB Amanto waktu itu," pungkas Sukiman.