"Ceritanya dulu sini masih hutan masih gunung, wong Syekh Djangkung itu dikasih kekuasaan separuh atau gunung sebelah utara Gunung Kendeng ke utara wilayah Syekh Djangkung. Gunung Kendeng ke selatan wilayah Sultan Agung. Ada pembagian wilayah masing-masing," Kartono mengimbuhkan.
Kartono mengatakan, Syekh Djangkung juga sempat berguru kepada Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Saat menjadi murid Sunan Kudus, Syeh Djangkung sering memamerkan kesaktiannya kepada para santri lainnya. Sunan Kudus pun tidak suka terhadap sikap Syekh Djangkung tersebut.
"Kemudian dewasa berpindah berguru dengan Sunan Kudus. Syekh Djangkung itu memiliki kepandaian tapi terlalu ditunjukkan ke santri lama dan akhirnya Sunan Kudus marah," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sunan Kudus, kata dia, tak mau menerima Syekh Djangkung menjadi muridnya karena sifatnya yang suka pamer kesaktian.
"Dia ini isi hatinya masih berkeinginan untuk berguru dengan Sunan Kudus. Dia sampai mendengar mengaji di dalam kakus (tempat buang air besar). Lama kelamaan ketahuan sama istri Sunan Kudus," kata dia.
"Singkat cerita WC dibongkar, Syekh Djangkung lari, terkena kotoran sampai ke daerah pasar, orang mambu (mencium Syekh Djangkung yang bau) pada lari, akhirnya dinamakan Pasar Buyaran," ujarnya.
Syekh Djangkung diperkirakan wafat pada 15 Rajab 1563 tahun Saka. Syekh Djangkung dimakamkan di Desa Landoh, Kayen, Kabupaten Pati. Setiap 15 Rajab pun biasanya masyarakat menggelar buka luwur di makam Syeh Djangkung.
Simak Video "Siswa SMA di Pati Rancang Detektor Microsleep"
[Gambas:Video 20detik]
(dil/dil)