Kawasan Mento Toelakan merupakan daerah di Wonogiri yang mengalami kejayaan di bidang ekonomi pada era kolonial Belanda. Pada masa itu terdapat pabrik serat terbesar dan terbaik se-Hindia Belanda di kawasan itu.
Kini Mento dan Toelakan menjadi nama Dusun yang masuk di Desa Wonoharjo Kecamatan Wonogiri Kota. Dulu di daerah itu berdiri pabrik serat bernama Cultuur Maatschappij Mento Toelakan atau Onderneming Mento Toelakan. Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Perusahaan Perkebunan Mento Toelakan.
Bekas adanya pabrik serat itu masih bisa dibuktikan dengan sejumlah tempat maupun bangunan yang ada di Desa Wonoharjo. Selain itu masih ada warga setempat yang menjadi saksi tentang keberadaan pabrik serat tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah seorang warga itu bernama Suparno Broto Sanjoyo (77). Ia merupakan anak dari Hoofd Mandoor Martosandjojo, seorang Mandor Perusahaan Cultuur-Maatschappij Mento Toelakan pada saat itu.
Saparno mengatakan, pabrik serat milik pihak swasta dari Belanda itu berdiri pada 1897. Adapun luas perkebunan itu mencapai 1.000 hektare. Kini kawasan itu masuk di tiga wilayah yakni Wonogiri, Karanganyar, dan Sukoharjo. Namun pusat pabriknya berada di Mento Toelakan Wonogiri.
"Ada tiga jenis tanaman serat saat itu. Ada serat Nanas atau dikenal dengan sebutan serat Konas, serat tumbuhan Rami dan serat Yute Jawa. Selain itu ada tumbuhan kapas dan kapuk juga," kata Suparno kepada detikJateng belum lama ini.
Ia mengatakan, pada 1910 para pengusaha lokal tertarik menanam modal di perusahaan itu. Diantaranya adalah Paku Buwono X dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro IV.
Selain itu tanah yang dipakai oleh pabrik serat itu sebagian besar milik Mangkunegaran dan sebagian milik Kasunanan. Hal itu dibuktikan dengan adanya batas tugu tanah antara Mangkunegaran dengan Kasunanan.
"Dulu Paku Buwono X dan Mangkunegoro IV juga ke sini. Istilahnya juga ngecek atau melakukan kunjungan. Karena mereka juga menjalin kerjasama. Jadi tanah milik mereka itu disewakan ke pihak swasta Belanda yang mendirikan pabrik itu," ungkap dia.
Menurut Suparno, ada beberapa alasan para investor mendirikan pabrik serat di Wonogiri. Menurut mereka tanah di daerah Wonogiri utara, tepatnya di Mento Toelakan sangat cocok ditanami serat. Sebab tanahnya tidak terlalu subur dan kering. Selain itu juga tidak banyak air.
Berdasarkan hasil penelitian, kata dia, serat dari Mento-Toelakan merupakan serat terbaik di seluruh Hindia Belanda. Sehingga barang-barang itu dijual atau diekspor ke Belanda. Di Belanda serat-serat itu masih dijual kembali. Masa kejayaan pabrik itu dipimpin oleh orang Belanda bernama Bawalda. Pada saat itu pabrik serat menjadi pusat pembibitan serat nanas.
"Serat yang dihasilkan dari kebun itu berkarakter kuat. Sehingga digunakan untuk tali-temali kapal atau jangkar kapal, tambang kapal, karung goni, benang, tas jaring, tempat tidur gantung, kabel, tikar dan lain-lain," ujar dia.
Surutnya produksi di Mento Toelakan di halaman selanjutnya
Perusahaan serat di Mento Toelakan, lanjut Suparno, mulai mengalami kemunduran pada saat Belanda meninggalkan Indonesia. Saat diambil alih Jepang, perusahaan serat tidak semaju pada saat dipimpin Belanda.
"Sejak 1945 perusahaan mulai vakum. Tanah mulai diambil pemerintah dan dibagikan ke masyarakat. Namun mulai saat itu mulai berdiri pabrik kecil-kecil di sekitar yang dimiliki warga lokal. Mereka mendapatkan ilmu saat bekerja di perusahaan. Tapi keberadaan pabrik kecil-kecil itu hanya bertahan hingga 1996," papar Suparno.
Saat ini masih ada beberapa bangunan yang membuktikan adanya perusahaan serat di Wonoharjo. Di antaranya adalah jembatan atau kreteg bang. Jembatan yang saat ini berada di Dusun Ngasinan itu masih berdiri kokoh. Pasalnya saat beraktivitas di perkebunan dan pabrik para pekerja menggunakan kereta lori.
Selain itu masih ada bekas kolam dan saluran air untuk merendam serat yang berlokasi di Dusun Mento. Hingga kini saluran air itu masih dimanfaatkan oleh warga. Sementara itu tempat penggorengan pabrik saat ini sudah menjadi lapangan dan SDN 1 Mento. Di sekitar kawasan itu masih berdiri pagar dan tembok yang dibangun Belanda.
![]() |
"Dulu di sini juga banyak rumah Belanda, lokasinya di barat pabrik. Selain itu ada juga makam Belanda, tapi sekarang juga menjadi makam umum. Sebab dulu itu pabrik bukan milik Pemerintah Belanda, tapi penanam modal dari Belanda," kata Suparno.
Kepala Desa Wonoharjo, Y Parmin (71), menambahkan keberadaan pabrik serat itu menandakan kejayaan ekonomi di Mento Toelakan pada masa penjajahan Belanda. Setelah mendirikan pabrik, mereka juga mendirikan pasar yang berlokasi di sebelah utara pabrik. Kini pasar itu bernama Pasar Mento meski lokasinya berada di Dusun Talunombo.
"Ekonomi semakin menggeliat ketika para orang Cina berdagang dan mendirikan ruko di sekitar pasar. Dulu yang terkenal itu orang Cina jualan bakmi. Setelah belanja ke pasar orang-orang jajan bakmi. Jadi di sini dulu ada tiga etnis, Jawa, Belanda dan Cina," kata dia.
Menurut dia, pada saat itu Mento-Toelakan benar-benar menjadi pusat ekonomi di Wonogiri. Saat di Wonogiri Kota belum ada listrik justru di Mento Tulakan sudah ada listrik. Bahkan sudah ada telepon. Masyarakat yang bisa bekerja di pabrik sudah bangga karena mendapatkan upah.
"Untuk saat ini hanya tinggal orang Jawa, orang Cina juga sudah tidak ada. Saat ini 40 persen warga kami merantau, dari Sabang sampai Merauke. Karena ada paguyuban perantauan Wonoharjo Mulyo itu, di Papua, Manado ada. Memang keadaan dulu dan sekarang sudah jauh berbeda," kata Parmin.