Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) melaporkan 18 warga Negara Indonesia (WNI) meninggal dunia di Depot Tahanan Imigrasi Tawau, Sabah, Malaysia. Dalam laporan berjudul 'Seperti di Neraka: Kondisi Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah, Malaysia', tim pencari fakta (TPF) KBMB mewawancarai beberapa deportan asal Indonesia.
Dikutip dari detikNews, Selasa (28/6/2022), Dalam laporan berjudul Seperti di Neraka: Kondisi Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah, Malaysia, tim pencari fakta (TPF) KBMB mewawancarai beberapa deportan asal Indonesia. Sebanyak 18 WNI yang dilaporkan meninggal ini disebut tercatat sejak Januari 2021 sampai Maret 2022. Laporan itu mengungkap sejumlah dugaan penyiksaan terhadap para WNI.
TPF KBMB mewawancarai beberapa deportan asal Indonesia untuk mengetahui kematian salah satu WNI yang menjadi salah satu tahanan bernama Suardi. Salah seorang deportan yang diwawancarai yaitu saudara kandung yang berada di satu blok tahanan dengan Suardi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para saksi mengungkap Suardi dipukul ramai-ramai oleh petugas Depot Tahanan Imigresen (DTI). Penganiayaan ini disebut dilakukan petugas di hadapan tahanan lainnya. Dalam kondisi terluka, Suardi diborgol dan dimasukkan ke sel isolasi.
Suardi kemudian dinyatakan meninggal dunia pada awal Januari 2021. Selain kasus Suardi, hasil penyelidikan KBMB itu juga menyimpulkan ada dugaan "bentuk hukuman tidak manusiawi" hingga "penyiksaan".
"Berbagai bentuk penghukuman dan perlakuan tidak manusiawi, bahkan penyiksaan terjadi di pusat tahanan imigrasi yang merupakan suatu institusi yang tertutup, institusi yang terisolasi."
"Jarang sekali orang bisa mengakses realitas yang terjadi di dalam, sehingga mereka secara tidak langsung dilindungi oleh ketertutupan itu, tidak banyak orang yang tahu," kata anggota TPF KBMB, Abu Mufakhir, melalui sambungan telepon kepada BBC News Indonesia, Minggu (26/6).
Konsul RI di Tawau, Heni Hamidah, mengaku akan mencocokkan data dengan depot tahanan terkait dugaan penganiayaan Suardi. Dalam laporan yang dia dapat tahun lalu, kata Heni, Suardi disebut meninggal karena serangan jantung.
"Kita akan telusuri lebih lanjut. Saya nggak tahu sebetulnya pihak KBMB ini infonya dari mana, kalau berdasarkan file tertulis di kita, almarhum meninggalnya karena heart attack," kata dia, Senin (27/6).
"Ini mau kita cek juga dengan depot," kata Heni kepada News BBC Indonesia.
Kedutaan Malaysia di Jakarta menyampaikan data berbeda...
Kedutaan Malaysia di Jakarta menyampaikan data berbeda. Dalam keterangan tertulisnya, disebut ada 149 tahanan asal Indonesia yang meninggal dunia di Depot Tahanan Imigrasi di seluruh Sabah karena penyakit mulai dari Corona sampai serangan jantung.
Penyataan itu membuat KBMB terkejut karena jumlah kematian WNI di DTI ternyata lebih tinggi dari yang mereka duga. Heni juga mengatakan akan melakukan verifikasi lagi ke pihak DTI terkait jumlah kematian yang sebenarnya. Anggota tim pencari fakta KBMB, Abu Mufakhir, menyebut dugaan kekerasan di DTI sulit dibongkar karena sulitnya akses.
Anggota tim pencari fakta KBMB, Abu Mufakhir, menyebut dugaan kekerasan di DTI sulit dibongkar karena sulitnya akses. Abu mengatakan yang bisa masuk ke Depot tahanan hanya PBB, Palang Merah Internasional, dan Suhakam atau Komnas HAM Malaysia. Dia juga mengaku beruntung karena mendapat kesempatan bertemu dengan para deportan sejak hari pertama mereka dideportasi. Sehingga mereka mendapat berbagai cerita dugaan kekerasan dan pelanggaran HAM.
Sementara itu mantan Ketua Suhakam Jerald Joseph dalam acara Peluncuran Laporan Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat, pada Sabtu (25/6) mengakui temuan KBMB di DTI Tawau ini bukanlah yang pertama kali dia dengar.
Namun para tahanan yang disiksa, selain rasa takut juga tak memiliki peluang untuk melapor karena keterbatasan akses. Misalnya mahalnya biaya telepon dan tak ada orang yang datang untuk menerima informasi.
Jerald mengatakan para deportan kerap mendapatkan hukuman cambuk rotan. Dia mengungkap pemerintah Malaysia beranggapan hukuman cambuk rotan akan mengurangi jumlah orang yang masuk ke Malaysia atau bekerja ke Malaysia tanpa dokumen resmi.
Dalam temuan TPF, cambukan rotan biasanya dilakukan di pengadilan. Hukuman yang hanya dilakukan pada tahanan laki-laki berusia 19-50 tahun itu langsung dilaksanakan segera setelah hakim menjatuhkan vonis. Selain cambukan, ada hukuman lain berupa pukulan atau tendangan di DTI.
"Satu-satunya bentuk hukuman yang kami temukan pada tahun 2020, namun kemudian tidak kami temukan lagi ada praktik penyemprotan menggunakan cairan disinfektan langsung kepada tubuh para tahanan."
"Berbagai bentuk hukuman lainnya masih terus berlaku sampai terakhir pemantauan kami lakukan pada bulan Juni 2022," tulis TPF dalam laporan tersebut.
Hal lain yang dilaporkan yakni kondisi depot yang penuh sesak, kotor, dan kurang sinar matahari...
Hal lain yang dilaporkan yakni kondisi depot yang penuh sesak, kotor, dan kurang sinar matahari. Kemudian kualitas makanan dan air yang tak layak dikonsumsi hingga para deportan yang dibiarkan sakit.
"Ketika tahanan mengeluh lemas dan sakit, petugas seringkali meminta tahanan tersebut mengangkat tangannya ke mulut, sambil berkata 'Masih bisa angkat tangan? Tak payah lah minta obat'," demikian ditulis dalam laporan itu.
Atau petugas akan meminta tahanan yang mengeluh sakit untuk berdiri. Jika tahanan tersebut masih mampu berdiri maka petugas juga tidak akan menindaklanjutinya secara medis. Bahkan disebut apapun keluhannya, petugas akan memberi paracetamol ke tahanan tersebut. Para tahanan disebut baru akan dibawa ke rumah sakit ketika kondisinya kritis.
Salah seorang deportan yang sempat mengeluh sakit tapi dibiarkan yakni bernama Aris. Beberapa deportan lain menyampaikan kesaksian Aris sakit hingga beberapa kali pingsan tapi tak juga mendapat perawatan medis. Baru setelah Aris pingsan untuk kesekian kalinya pada 25 September 2021, Aris dibawa ke rumah sakit. Namun Aris meninggal dunia dua jam kemudian.
"Itu kan menunjukkan bahwa PTS (Pusat Tahanan Sementara yang disebut Depot Tahanan Imigresen) gagal menyediakan layanan Kesehatan, gagal menghormati hak tahanan imigrasi untuk mengakses layanan Kesehatan yang tersedia di Sabah," kata Abu.
Jerald yang juga merupakan mantan Ketua Komnas HAM Malaysia itu mengatakan memang tak ada dokter di DTI. Hanya ada asisten medis yang bertugas di sana.
Namun, Konsul Jenderal RI di Kinabalu, Rafail mengatakan ada dokter di tiga DTI yang dia pantau, yaitu di Menggatal, Papar, dan Sandakan. Rafail juga mengatakan ada pemeriksaan kesehatan secara rutin.
Namun Rafail mengungkap buruknya sanitasi di DTI sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan para deportan. Dia mengaku melihat banyak deportan mengalami penyakit kulit.
Jumlah deportan di DTI Tawau per Jumat (24/6) mencapai lebih dari 2.000 orang. Sementara kapasitas DTI hanya 1.500 orang.
"Yang dikeluhkan selama ini memang fasilitas, misalnya ruang tahanan yang sempit, WC yang selalu penuh lah karena banyaknya tahanan, kemudian mungkin makanan juga dikeluhkan. Tapi ini sudah saya sampaikan ke pihak imigrasi untuk terus diupdate," kata Rafail.
"Kalau memang tidak, kami biasanya intervensi dengan memberikan bantuan, seperti misalnya sabun, sarung. Untuk fasilitas, kami hanya bisa meminta mereka, agar ruang tahanan tidak berjubel dan sebagainya," lanjut dia.
Rafail mengatakan pihaknya juga akan berkomunikasi dengan pihak imigrasi Malaysia untuk mengevaluasi masalah-masalah yang menjadi laporan TPF KBMB. Sementara itu, Abu mengatakan pihaknya sudah menindaklanjuti laporan ini ke Suhakam, Komnas HAM, sampai ke PBB, tapi hingga ini belum mendapatkan respons.