Banjir Rob Ekstrem, Mengingat Kembali Potensi Pesisir Semarang Tenggelam

Banjir Rob Ekstrem, Mengingat Kembali Potensi Pesisir Semarang Tenggelam

Angling Adhitya Purbaya - detikJateng
Sabtu, 28 Mei 2022 06:00 WIB
Banjir rob pelabuhan Tanjung Emas, Rabu (25/5/2022) pagi.
Banjir rob di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Rabu (25/5/2022) pagi. Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng
Semarang -

Rob ekstrem yang terjadi pesisir utara Jawa Tengah, termasuk Semarang, kembali mengingatkan soal prediksi di mana Semarang bakal tenggelam. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengantisipasi hal itu.

Tahun lalu, Kepala Laboratorium Geodesi dari ITB, Dr Heri Andreas memprediksi Kota Pekalongan, Demak, dan Semarang terancam tenggelam karena penurunan permukaan tanah. Heri mengungkap penurunan tanah di Pekalongan-Demak itu mencapai 15-20 cm per tahun. Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (Undip) Prof Dr Denny Nugroho Sugianto, ST, M.Si juga menyebut jika tidak ada penanganan, wilayah Utara Semarang bisa tenggelam 50 tahun lagi.

Saat dimintai konfirmasi, Sekretaris Daerah Kota Semarang, Iswar Aminuddin mengatakan antisipasi sudah dilakukan sehingga prediksi-prediksi Semarang tenggelam diupayakan tidak terjadi. Salah satunya yaitu proyek nasional Tol Semarang-Demak yang berfungsi sebagai tanggul serta terdapat kolam retensi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"(Prediksi tenggelam) Oh tidak itu. Sebenarnya kan tanggul (Tol Semarang-Demak) itu kita butuhkan, ada 220 hektare tanah untuk kolam retensi. Jadi nanti bisa tidak menggunakan lagi air tanah. Bisa isi lagi rongga-rongga air tanah," kata Iswar kepada detikJateng, Jumat (27/5/2022).

Ia mengakui memang ada land subsidance atau penurunan muka tanah. Maka saat ini diupayakan teknologi untuk menanggul air laut. Ia berharap seluruh pihak saling berkoordinasi. Sebenarnya langkah antisipasi sudah dilakukan, namun menurutnya faktor alam dan tanggul jebol di pelabuhan membuat rob ekstrem pekan ini makin parah.

ADVERTISEMENT

"Ketika ada land subsidence perlu adanya manajemen tersebut. Saya kira pasti ada inovasi teknologi bagaimana kemudian tanggul ini setiap tahun bisa kita tambah, jadi semacam ada pelat-pelat, nanti kita tambah lagi, kalau kurang kita tambah lagi," jelasnya.

"Sudah kita lakukan langkah antisipasi, namun kita keduluan dengan peristiwa ini," imbuh Iswar.

Sementara itu, Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie mengatakan ada empat faktor yang harus diperhatikan antara lain yaitu fenomena penurunan muka tanah.

"Salah satu hasil penelitian terbaru tahun 2022 dari Pei-Chin Wu, Meng (Matt) Wei, dan Steven D'Hondt dengan judul Subsidence in coastal cities throughout the world observed by InSAR menyimpulkan bahwa Semarang adalah kota dengan laju penurunan tanah tercepat kedua di antara 99 kota tepi pantai yang diteliti. Urutannya adalah Tianjin, Semarang, dan Jakarta dengan laju maksimal 30 mm per tahun LOS. Data yang digunakan penelitian ini adalah PS Interferometric Synthetic Aperture Radar method and Sentinel-1," jelas Nila kepada detikJateng lewat keterangannya, Jumat (27/5).

"Untuk Semarang, beberapa hal yang terkait dengan penurunan tanah adalah ekstraksi air tanah berlebihan, pembebanan bangunan dan struktur, dan kompaksi/konsolidasi sedimen aluvial muda terutama di kawasan Semarang bawah. Peristiwa tektonik di bawah Semarang juga dapat menyebabkan penurunan tanah," imbuhnya.

Nila menambahkan, sistem peringatan dini sudah ada dan berjalan. Namun, lanjut dia, apakah sosialisasi BMKG sudah efektif dan semua pihak yang potensial terkena dampak sudah memperoleh informasi, atau peringatan BMKG diabaikan.

"Di beberapa negara, sistem peringatan dini yang dipatuhi dengan baik membawa manfaat besar. Saat penduduk yang potensial terkena dampak mendapat peringatan, mereka bekerja dari rumah untuk menghindari kerugian yang lebih besar," ujarnya.

Faktor berikutnya yaitu soal kualitas tanggul. Hal-hal teknis saat pembangunan tanggul harus lebih diperhatikan termasuk pemeliharaannya.

"Hal ini juga terkait dengan pemeliharaan tanggul yang harus sesuai dengan desain dan konstruksi awal dan perubahan lingkungan yang terjadi. Apakah dilakukan pemeliharaan berkala yang sesuai atau tidak. Biasanya kerusakan besar pasti sudah memiliki indikasi berupa kerusakan-kerusakan kecil dulu," katanya.

Faktor lainnya adalah terkait kondisi alam yaitu ketinggian air laut dan kecepatan gelombang.

"Hal yang terkait dengan air laut baik ketinggian air laut, kecepatan gelombang, dan lainnya. Faktor keempat merupakan kompetensi dan kewenangan dari badan-badan terkait," ujarnya.

Untuk diketahui, rob ekstrem melanda pantai utara Jateng sejak Senin (23/5) lalu dan Kota Semarang menjadi salah satu yang terdampak parah karena ada tanggul jebol di kawasan Industri Lamicitra Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. BMKG menyebut rob ekstrem terjadi karena jarak bumi dan bulan dalam posisi terdekat dan mempengaruhi tinggi air pasang. Selain itu tinggi gelombang juga dalam kategori sedang.




(rih/dil)


Hide Ads