Pemilik lahan yang menjebol tembok bekas benteng Keraton Kartasura, Burhanudin, akhirnya buka suara. Melalui kuasa hukumnya, Burhanudin mempertanyakan proses hukum pidana dalam kasus itu. Dia berharap kasusnya diselesaikan dengan mediasi.
Kuasa hukum Burhanudin, Bambang Ary Wibowo, awalnya menceritakan kliennya membeli tanah seluas 682 meter persegi seharga Rp 850 juta. Tanah itu dibeli dengan uang muka Rp 300 juta.
"Pekarangan dalam kondisi tidak terurus, berupa semak belukar serta ada pohon di atas tembok yang dipermasalahkan dan membahayakan pengguna jalan di sisi barat. Juga ada ular di pekarangan tersebut," kata Bambang Ary dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulai 18 April 2022, ekskavator sudah masuk ke lokasi pekarangan yang menempel dengan tembok. Selama tiga hari, Burhanudin disebut hanya membersihkan bagian tanah pekarangan.
"Tanggal 21 April 2022 sekitar jam 15.30 WIB baru ekskavator merobohkan sebagian tembok di sisi barat. Proses robohnya tembok sangat mudah, dengan ditarik sedikit langsung roboh, karena tembok tersebut pernah dibuka atau dilubangi," ujar Bambang.
Bambang menyebut kliennya tidak mengetahui tembok tersebut berstatus objek diduga cagar budaya (ODCB). Menurutnya, pemerintah tidak melakukan sosialisasi terkait keberadaan cagar budaya itu.
"Klien kami dan masyarakat tidak mengetahui, dikarenakan tidak adanya papan pengumuman yang menjelaskan sebagai benda atau bangunan cagar budaya. Tidak pernah ada sosialisasi terkait cagar budaya sama sekali dari pemerintah kabupaten. Selain itu lebar tembok masuk ke dalam batas tanah yang saya beli berdasarkan patok yang ada," ungkapnya.
Bambang mengakui tembok bekas Keraton Kartasura itu memang layak ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2010. Namun, dia beralasan kliennya Burhanudin, melakukan kesalahan dalam kondisi tidak sengaja.
"Yang harus diperhatikan dalam pemidanaan adalah apakah terduga pelaku saat melakukan dalam posisi disengaja atau karena kelalaian," kata Bambang.
Bambang menyebut peran pemerintah sangat besar dalam pelestarian cagar budaya. Soal itu menurutnya juga tercantum dalam undang-undang, sehingga Pemkab Sukoharjo seharusnya melindungi cagar budaya dengan baik.
"Sementara fakta di lapangan justru menunjukkan berbeda, bahwa Pemerintah Kabupaten Sukoharjo tidak menjalankan semua aturan terkait perlindungan cagar budaya dengan sebaik-baiknya. Tentu saja pengertian pemerintah di sini tidak hanya eksekutif saja, melainkan termasuk legislatif terkait dengan penganggaran perlindungan cagar budaya di wilayah hukum Kabupaten Sukoharjo," katanya.
Maka itu, Bambang menawarkan proses mediasi sebagai jalan tengah dari kasus tersebut. Terlebih, dia menambahkan, saat ini penegakan hukum banyak diarahkan ke restorative justice.
"Terkait dengan kasus perobohan tembok bekas Keraton Kartasura, kami selaku kuasa hukum memberikan alternatif mediasi sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) serta Restorasi Justice yang saat ini sedang dilakukan, baik oleh kepolisian maupun kejaksaan," ujar dia.
"Kami siap untuk kooperatif dalam menuntaskan persoalan yang sudah menjadi sorotan publik secara nasional ini," pungkasnya.
(dil/ams)