Sejuta Cerita dan Asa Para Penyambut Pemudik di Simpang Gumawang Pekalongan

Sejuta Cerita dan Asa Para Penyambut Pemudik di Simpang Gumawang Pekalongan

Robby Bernardi - detikJateng
Jumat, 15 Apr 2022 08:47 WIB
Simpang Gemawang, Jumat (15/4/2022).
Simpang Gumawang, Jumat (15/4/2022). (Foto: Robby Bernardi/detikcom)
Pekalongan -

Diperbolehkannya mudik di tahun 2022 ini, membawa angin segar bagi para pegiat malam di sebuah perempatan Gumawang, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan. Ya, di lokasi ini, mereka, para pemilik warung, tukang ojek, pengemudi angkutan dan mini bus, bertaruh harapan kecipratan rezeki dari para pemudik yang turun di perempatan setempat.

Perempatan Gumawang, memang biasanya ramai saat arus mudik sebelum Corona. Di lokasi setempat, biasanya para penumpang bus dari Jakarta maupun Surabaya, tujuan Kabupaten Pekalongan, Banjarnnegara dan sekitarnya, turun. Lokasi ini juga dikenal sebagai terminal bayangan.

Dalam pantauan detikJateng, pada Jumat dini hari (15/4/2022), sekitar pukul 01.00 WIB nampak deretan motor ojek dan angkutan berjajar. Kendaraan-kendaraan itu masih rapi berjajar. Deretan warung tenda juga mulai dibuka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di warung-warung itu, digunakan para tukang ojek, pengemudi angkutan dan pengemudi mini bus untuk sekedar ngopi, sembari menunggu para pemudik. Warung ini juga biasanya digunakan para pemudik yang baru turun dari bus untuk sekedar beristirahat ataupun sahur, sebelum melanjutkan perjalanan pulang kampung.

detikJateng menghampiri warung yang mulai nampak ramai perbincangan tentang kenangan arus mudik di tahun-tahun sebelum Corona.

ADVERTISEMENT

Namanya, Pak Huda (51) warga Desa Waru, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan. Pria paruh baya ini bercerita sudah 10 tahun ia menjadi penarik ojek di perempatan Gumawang. Banyak cerita dari dirinya sebagai tukang ojek di simpang Gemawang, dari pernah mengantarkan penumpang ke Cilacap, Slawi hingga Kendal dan Semarang.

"Itu pernah dulu, sebelum ada Corona. Namun, sejak ada Corona dan larangan mudik, kita para tukang ojek punya semboyan, 'Pergi Malam Pamitan, Pulang Pagi Ditukarin Istri'," kata Huda, sembari tertawa ringan.

Sejak adanya larangan mudik karena pendemi Corona, pendapatannya menurun drastis. Hanya bisa untuk bertahan hidup saja.

"Makanya, kalau malam kita pamitan baik-baik pada istri untuk ngojek, eh saat pulang di pagi hari, pasti kita tukaran (bertengkar) sama istri, karena nggak bawa uang," ungkapnya.

Sebelum ada Corona, kenang Huda, dirinya dan para tukang ojek lainnya selalu panen panen rezeki saat musim mudik. Rata-rata setiap malam hingga pukul 04.00, penghasilannya bisa sampai Rp 300 ribu per hari. Angka itu akan bisa lebih besar jika mendekati hari H Lebaran.

"Penumpang (ojek) arus mudik sebelum pendemi, ramai banget. Sehari rata-rata dapat 300 (Rp 300 ribu). Tapi mendekati H -3 pernah sampai 400-500 ya. Makanya, saat itu senyuman istri cantik," katanya.

Di tahun 2019, ia juga pernah mengantarkan penumpang hingga sampai Kabupaten Cilacap.

"Terjauh sampai Cilacap. Ke Slawi, Kendal dan Semarang juga pernah. Alasanya satu, penumpang kebalabasan karena ke tiduran. Penumpang Cilacap dan Slawi, pemudik dari Jakarta, seharunya turun di Tegal, karena ketiduran turun di sini," ujarnya.

Mengantar penumpang Ke Cilacap, menjadi pengalaman barunya. Pasalnya, ia sendiri tidak pernah ke Cilacap dan tidak tahu jalan ke Cilacap.

"Ya itu, akhirnya jalan dari sini ke Pemalang dulu ke arah Purbalingga, saya tanya-tanya, sampai juga ke Cilacap. Berapa jam ya lupa kalau tidak lima ya enam jam. Alhamdulillah, saya dapat 400 ribu. Ke Slawi saya dapat 250 (ribu)," katanya.

"Dengan diperbolehkan mudik tahun ini, kami berharap, semoga masih ada rejeki untuk kami kembali, setelah dia tahun sepi penumpang para pemudik," tambahnya.

Hal yang sama diharapkan Rohmat (34), yang juga tukang ojek setempat.

"Masih sepi. Hari ini dan kemarin-kemarin, hanya beberapa yang terlibat pemudik turun dari bus. Semoga semakin mendekati hari raya, semakin ramai," ucapnya.

Ia sendiri juga pernah mengantarkan penumpang ke Banjarnegara, di Kalibening.

"Dulu kerap antar ke Banjarnegara. Penumpang yang turun dari bus Jakarta, tujuan Kalibening, sering saya angkut. Lumayan dapat Rp 150 ribu," ucapnya.

Selain ke Kabupaten Pekalongan, kebanyakan penumpang yang turun di perempatan Gumawang ini juga bertujuan ke arah Banjarnegara dan sekitarnya.

Hal yang sama dirasakan Edy (49), pengemudi mini bus di Simpang Gemawang. Di tahun sebelum pendemi ia bisa bekerja malam hingga pagi, sampai dua kali ke arah Kalibening, Banjarnegara.

"Sekarang sulit sekarang. Dari kemarin hanya ada dua atau tiga penumpang, setelah saya nunggu semaleman. Yang seharusnya kita berangkat ke Kalibening jam 3, ya akhirnya molor. Malah terkadang saya tidak narik, karena perhitungannya tidak cukup untuk beli solar pulang pergi," ujarnya.

"Kalau dulu sebelum pendemi, setiap bus berhenti turunkan penumpang, saya bisa langsung berangkat. Penumpang saya (langsung) penuh, langsung gas ke Kalibening," tambahnya.

Dia juga mengenang pada masa itu bisa mendapatkan Rp 2 juta-Rp 3 juta dalam sehari.

"Cuma uang itu masih kotor, belum potongan untuk solar, setoran ke juragan, untuk saya dan kernet saya. Saya sendiri bersih bisa Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribuan. Terforsirlah tenaganya, tapi senang bawa uang ke rumah," tuturnya.

Ikut mengenang murahnya rejeki saat mudik lebaran, yakni Arifah (35), pemilik warung tenda di Gumawang. Ia buka warung dari pukul 00.00 WIB hingga pukul 04.30 WIB. Ia jualan makanan dan aneka minuman.

"Kalau hari ini dan kemarin-kemarin, yang mudik belum banyak, tapi sudah mulai terlihat berdatangan. Tapi kalau dibandingkan memang tahun-tahun sebelum ada Corona, lebih ramai," ucap Arifah, mengawali ceritanya.

Biasanya, ramai para pemudik sudah nampak pada H-10 hingga malam lebaran.

"Kalau pas ramai kadang kita semaleman bisa dapat Rp 500 ribu setiap harinya. Itu dulu. Terkadang sebelum subuh, sudah habis masakannya," kenangnya.

Biasanya, para pemudik istirahat di warungnya sekaligus untuk melakukan makan sahur, sebelum kembali melanjutkan perjalanan dengan ojek atau mini bus.

Salah satu pemudik yang tengah menikmati makan sahur yakni Ipah (51) pemudik tujuan Kalibening, Banjarnegara. Ia sendiri sengaja pulang kampung lebih awal karena di kampung halaman ada acara.

"Mudik lebih awal karena ada acara di kampung. Saya dari Jakarta tadi pukul tujuh malam, dan sampai sini tadi ia berapa ya jam dua lebih ya. Kalau tahun kemarin saya tidak mudik, kan ada larangan mudik," katanya.




(sip/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads