Jaya Hartono dan Dwi Okta Imawan adalah dua di antara 17 orang anak buah kapal (ABK) dari KM Wahyu Mina Barokah IV yang dibakar massa di perairan Jorong, Kalimantan Selatan, Senin (11/4) lalu. Keduanya sudah dipulangkan ke rumahnya di Rembang. Berikut kesaksian mereka terkait peristiwa pembakaran kapal cantrang itu.
Saat ditemui di rumahnya, Desa Karangsekar, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Jaya dan Imawan menceritakan kronologi detik-detik kapal yang ditumpanginya dibakar oleh massa.
Jaya menceritakan saat itu dirinya bersama dengan ABK yang lain sedang menarik jaring yang sedang digunakan untuk menangkap ikan. Namun, belum usai jaring itu ditarik, sesaat kemudian tiba-tiba muncul sekitar 50 perahu kecil mengepung kapalnya dan dua kapal lain yang sedang berada di dekatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beruntung dua kapal lain itu berhasil lolos, sedangkan kapal yang ditumpangi Jaya sudah tidak mungkin melarikan diri, karena saat itu puluhan perahu kecil terus mencoba memepet. Bahkan tali pada jaring yang belum selesai dikemas sudah dipotong massa dengan senjata tajam.
"Dipepet perahu-perahu kecil sana, terus dioyak. Kapal tiga itu termasuk kapal saya kan terus lari semua. Tapi kapal saya ketangkap, duanya lari. Lagi habis narik jaring, dipepet dan langsung payang (jaring) dipotong. Disuruh jalan kapal saya mau dibakar sekaligus orang-orangnya," kata Jaya, Kamis (14/4/2022).
Para nelayan lokal gabungan itu, lanjutnya, menganggap tiga kapal cantrang yang beroperasi di Perairan Jorong terlalu dekat dengan pulau sehingga dikhawatirkan merusak terumbu karang.
Jaya mengaku padahal posisi kapal pada waktu melakukan operasi penangkapan ikan saat itu berada sejauh 20 mil lebih dari bibir pantai.
"Waktu itu itu berada sejauh 20 mil lebih kok, makanya saya kaget loh di pemberitaan kok 11 mil gitu," terangnya.
Imawan menambahkan, rombongannya beruntung karena saat kapal hendak dibakar, ada tiga perahu nelayan kecil yang berbaik hati berkenan menyelamatkan mereka dan membawanya ke darat.
Massa yang merupakan nelayan lokal gabungan itu, kata Imawan, beberapa di antaranya ada yang membawa parang dan molotov yang dipakai untuk membakar kapal yang ia tumpangi.
"Ada tiga kapal kecil dari Banjarmasin yang tiba-tiba datang menawari pertolongan. Salah satu bapaknya bilang, masnya kalau mau selamat sini naik ke sini, gitu. Mereka (massa) pakai bom molotov dan bawa parang panjang. Jaringnya itu dipotong," terang Imawan.
Menurutnya, massa emosi melihat salah satu kapal yang lolos itu meletupkan semacam pistol. Akhirnya kapal yang ditumpangi Jaya dan Imawan dijadikan bulan-bulanan.
Imawan menilai, seandainya salah satu kapal yang lolos itu tidak meletupkan sejenis pistol, mungkin nelayan lokal gabungan yang mengepung kapalnya masih bisa diajak bernegosiasi.
"Yang bikin emosi itu ada letusan pistol itu. Aslinya kalau nggak ada mungkin kapal kami dibawa ke dermaga disandera saja, bisa tawar-tawaran. Kami waktu dibawa ke daratan itu nunggu dulu, sampai dermaga benar-benar aman. Karena juga ada warga banyak, saya itu jadi ya dikepung di air ya di darat. Tapi sesudah ada aparat kepolisian yang datang di dermaga baru kami ke darat, itu pun nunggu sampai agak sepi," bebernya.
Setelah berhasil dievakuasi ke darat di dermaga, seluruh ABK yang sebanyak 17 orang kemudian dibawa dari pos di dermaga menuju ke Polres Tanah Laut dengan menggunakan bus polisi dan dikawal personel polisi.
Sampai di Mapolres Tanah Laut, seluruh ABK didata oleh anggota polisi, untuk selanjutnya difasilitasi biaya pemulangan semua ABK hingga sampai ke rumah masing-masing oleh Polres Tanah Laut.
"Selesai di pos dermaga itu semuanya langsung dibawa ke polres kota (Tanah Laut), sehari semalam di sana. Semuanya ditanggung polresnya, sampai rumah. Iya diberi makan, rokok juga. Kalau barang pribadi pakaian dan dompet itu yang ikut terbakar. Hanya HP yang dibawa, karena letaknya kan mudah dijangkau. Namanya orang gugup jadi sedapatnya saja," pungkasnya.
(rih/ams)