Klaten merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah penting bagi perkembangan Islam di Jawa Tengah. Salah satu jejaknya adalah bangunan masjid kuno di Dusun Majasem, Desa Pakahan, Kecamatan Jogonalan.
Meski sudah beberapa kali dipugar, kesan bahwa masjid itu berusia tua masih cukup kuat. Terutama dari atapnya yang berbentuk joglo.
Sebuah papan penanda berwarna hitam dengan tulisan putih menunjukkan bahwa masjid itu merupakan bangunan cagar budaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masjid ini didirikan tahun 1385 Masehi. Digunakan sebagai tempat berkumpulnya para wali atau Wali Songo saat berdakwah," ucap Sugimin (69), Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Majasem kepada detikJateng, beberapa waktu lalu.
Dituturkan Sugimin, dari cerita turun-temurun, masjid Majasem semua bernama Langgar Kalimasada. Nama tersebut diberikan oleh para Wali Songo.
"Oleh Wali Songo diberi nama Langgar Kalimasada. Setelah ditinggal Wali Songo, masjid dirawat oleh Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Bayat dan santrinya yang bermukim di Kecamatan Bayat," tutur Sugimin.
Di masjid Majasem itu, lanjutnya, Wali Songo tidak hanya berembuk dakwah. Mereka juga sempat menggunakannya sebagai tempat menyusun rencana pembangunan Masjid Agung Demak.
"Rapat disini untuk syiar agama dan saat mau membangun Masjid Demak. Langgar Kalimasada itu (didirikan) 1385 Masehi dan (Masjid) Demak itu 1475 Masehi," kata Sugimin.
Menurut dia, masjid tersebut sempat diperbaiki oleh Pangeran Ngurawan, seorang bangsawan dari Keraton Kasunanan Surakarta, pada 1780. Bangsawan itu lantas tinggal dan memimpin daerah Majasem yang memperoleh status tanah perdikan dari keraton.
"Pangeran Ngurawan ke sini 1780 Masehi, diberi tanah perdikan sebagai wilayah Keraton Kasunanan Surakarta. Ke sini didampingi empat abdinya," jelas Sugimin.
Pangeran Ngurawan, imbuh Sugimin, dimakamkan di belakang masjid bersama abdi dan keluarganya.
Beberapa Kali Berganti Nama
Selain kuno, masjid yang berumur beberapa abad itu juga memiliki keunikan lain. Ternyata, masjid itu pernah beberapa kali berganti nama.
Sebelum era kemerdekaan, masyarakat sekitar biasa menyebut masjid itu dengan nama Baitul Makmur.
"Awalnya ada penceramah bertanya nama masjid, karena tahun 1934 dibangun teras dinamai Baitul Makmur. Tahun 2003 saya ke keraton Surakarta menghadap Sinuhun PB XII menanyakan (nama) masjid itu bersama beberapa takmir," sambung Sugimin.
"Oleh Sinuhun diberikan nama lagi masjid Al Makmur," kata dia.
Nama itu bahkan juga tersemat dalam sebuah prasasti yang dipasang pada 2003 silam usai dipugar.
Kemudian, para pengurus masjid melaporkan hasil pemugaran ke Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Pada akhirnya, BPCB Jawa Tengah justru memberikan nama masjid sesuai nama kampungnya, Majasem.
Sekretaris DKM Masjid Majasem, Subagyo (49) menjelaskan sebagian besar bangunan utama masjid masih asli. Bangunan utama itu terdiri dari 16 tiang kayu jati utuh yang menyangga atap tanpa paku dan besi.
"Jadi tidak ada bahan besi, semua kayu jati. Kaitnya bukan mur dan baut tapi pasak kayu (pantek) untuk menyambungkan, yang pernah diganti cuma satu di atap tengah karena kayu aslinya sudah rapuh," tutur Subagyo kepada detikJateng.
Masjid Majasem secara fisik tidak sebesar masjid zaman sekarang. Bangunan asli masjid itu hanya 10x10 meter. Bangunan asli berbentuk joglo dengan tiga pintu masuk setinggi sekitar 2 meter.
Di tembok bangunan utama terdapat dua prasasti pemugaran tertulis, "Masjid Baitul Makmur, 1385 M, Majasem 06- 01- 2001". Satu lagi bertuliskan," Masjid Al Makmur, masjid perdikan yasanipun Ingkang Sinoehoen Kanjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono ing Soerakarta 1780 M katetepaken tgl 2 Mei 2003 dening SISKS Pakoe Boewono XII,".
Di depan bangunan utama terdapat teras depan ukuran lebih luas bertahun 1934. Kompleks masjid menjadi satu dengan makam Pangeran Ngurawan yang berada di angun cungkup besar.
(ahr/dil)