Mengenang Kisah Parmanto, Rektor UNS yang Ditembak Mati Kelompok Radikal

Mengenang Kisah Parmanto, Rektor UNS yang Ditembak Mati Kelompok Radikal

Bayu Ardi Isnanto - detikJateng
Minggu, 20 Mar 2022 16:28 WIB
Foto Parmanto MA yang tersimpan di Kampus UNS Solo.
Foto Parmanto MA yang tersimpan di Kampus UNS Solo. Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikjateng
Solo -

Pada Maret ini Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Dies Natalis ke-46. Kegiatan yang salah satu acaranya adalah peresmian Tower UNS itu dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.

Kampus yang berada tak jauh dari Bengawan Solo itu memang memiliki perjalanan panjang. Selain memiliki sejumlah jejak prestasi yang pernah diraih, kampus tersebut juga pernah memiliki sejarah kelam.

Sebuah kisah tragis dialami salah satu Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) bernama Parmanto, MA yang meninggal usai ditembak di rumahnya sendiri. Peristiwa berdarah ini terjadi pada 11 Januari 1979 petang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski beberapa orang sudah diadili sebagai pelaku penembakan, namun kasus ini masih menjadi tanda tanya. Terutama terkait motif pembunuhan yang belum terkuak secara jelas.

Hari Purnomo (75), adik sepupu dari istri Parmanto yang bernama Astuti, menceritakan sosok Parmanto. Sebelumnya, Parmanto adalah seorang anggota Tentara Pelajar (TP). Pasangan tersebut memiliki empat orang anak.

ADVERTISEMENT

Sebelum berdiri UNS, Parmanto terlebih dahulu menjadi pimpinan di IKIP Negeri Surakarta. IKIP dengan beberapa perguruan tinggi lain kemudian bergabung menjadi UNS.

Saat beberapa kampus itu bergabung, Rektor UNS untuk pertama kali adalah GPH Haryomataram, seorang tentara berpangkat terakhir brigadir jenderal (Brigjen) dan berdarah biru. Saat itu Parmanto menjabat sebagai Pembantu Rektor UNS.

Setahun kemudian, tahun 1977, Parmanto menjadi Rektor kedua UNS. Namun jabatan itu tak sampai setahun, lalu digantikan Brigjen dr Prakosa. Parmanto sempat menjadi Pjs Rektor UNS karena dr Prakosa sedang menjalankan tugas lain.

"Sejak di IKIP, Pak Parmanto memang pernah ngomong ke saya, kalau bisa jadi rektor di UNS. Akhirnya kesampaian. Saya memang sering main ke rumahnya, makan di sana, karena saya dekat dengan Yu Pin (sapaan istri Parmanto)," kata Hari saat dijumpai di rumahnya, Kelipan, Desa Gagaksipat, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, Kamis (17/3/2022) malam.

Peristiwa Pembunuhan

Hari mengaku mendapatkan cerita dari istri Parmanto soal detik-detik pembunuhan yang terjadi 43 tahun silam. Saat itu Parmanto didatangi beberapa orang dan dipersilakan masuk.

Orang tersebut mempermasalahkan kebijakan Parmanto yang merupakan petinggi kampus. Dalam pertemuan itulah tiba-tiba orang tersebut mengeluarkan senjata dan menembak Parmanto hingga meninggal dunia.

Sejumlah sumber menyebut bahwa pelaku sempat menembak ke arah istri Parmanto, namun meleset. Pelaku kemudian melarikan diri.

"Itu kejadian saat mereka masih tinggal di Nusukan (Kecamatan Banjarsari, Solo). Makamnya juga di dekat Nusukan. Setelah itu, kakak saya dengan anak-anaknya pindah," ujar Heru.

Cerita putri Parmanto

Putri bungsu Parmanto, Retno Palupi, mengatakan saat kejadian dirinya masih duduk di bangku SD. Dia hanya ingat saat itu ibunya membawa dirinya ke kamar.

"Saya hanya mendengar, lalu dimasukkan ke kamar. Kalau yang melihat langsung itu kakak saya," kata Palupi saat dihubungi detikJateng, Sabtu (19/3/2022).

Dia mengaku tak banyak yang dia ingat, karena kebersamaannya dengan orang tuanya cukup singkat. Enam bulan usai peristiwa itu, ibundanya juga meninggal dunia.

"Kalau yang saya ingat, bapak itu bijaksana, baik. Tahunya ya itu, kan masih kecil. Nggak ada benda-benda peninggalan beliau, karena itu rumah dikontrakkan. Ibu saya pun enam bulan kemudian meninggal, yatim piatu. Foto-foto pun mungkin yang punya malah saudara-saudara lain," katanya.

Berkaitan dengan kelompok Darul Islam

Hari Purnomo (75), adik sepupu dari istri Parmanto yang bernama Astuti, menduga, permasalahan kampus yang dibicarakan Parmanto dengan pelaku waktu itu bukan motif sebenarnya. Pelaku hanya mencari kesalahan Parmanto hingga kemudian membunuhnya.

Apalagi, Parmanto saat itu merupakan pejabat yang beragama Nasrani. Parmanto lahir dari keluarga muslim, sementara Astuti berasal dari keluarga nasrani. Setelah menikah, Parmanto menjadi seorang nasrani.

"Itu hanya mencari-cari kesalahan saja. Setelah itu kan ada beberapa yang ditangkap. Saya baca di surat kabar itu pelakunya kelompok radikal. Kemungkinan mereka tidak ingin Parmanto jadi rektor, karena masalah keyakinan," katanya.

UNSKampus UNS Foto: UNS

Istri Parmanto pun, kata Hari, membenarkan jika pelaku yang ditangkap adalah orang-orang yang datang ke rumahnya. Keluarga menduga bahwa Parmanto sudah lama dikejar orang.

"Bu Parmanto juga bilang, benar orang-orang itu pelakunya. Kemungkinan sudah lama dikejar orang, tapi nggak pernah cerita," ungkap dia.

Dugaan itu juga diperkuat melalui tulisan Solahudin dalam bukunya The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jema'ah Islamiyah.

Dalam buku itu dia menjelaskan munculnya kelompok-kelompok Islam radikal di masa lalu. Pada salah satu bagian, diceritakan bahwa Parmanto adalah salah satu korban dari kelompok Darul Islam.

Darul Islam adalah organisasi bentukan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Pada November 1978, Darul Islam menggelar pertemuan besar di Jawa Tengah dan menetapkan Jawa Tengah sebagai pusat, karena kegiatan mereka di luar Jawa sudah terendus aparat.

Namun Jawa rupanya juga bukan tempat aman bagi kelompok mereka. Bahkan Sungkar ditangkap di Jombang pada 10 November 1978 dan disusul dengan penangkapan Ba'asyir sepekan kemudian.

Penangkapan ini membuat para pengikutnya marah dan ingin membalas. Sasaran mereka adalah Parmanto yang dianggap membocorkan informasi. Ada empat orang yang disebut melakukan pembunuhan.

"Target mereka adalah Parmanto, dosen UNS yang membocorkan informasi kepada aparat keamanan. Januari 1979, Hasan Bauw, Warman, Farid Ghozali dan Abdullah Umar membunuh Parmanto di rumahnya," tulis Solahudin.

Tak lama kemudian, aparat menembak mati Farid Ghozali dan menangkap anggota mereka lainnya, Abdul Kadir Baraja. Warman menduga Hasan Bauw berkhianat hingga aparat berhasil menembak dan menangkap rekannya.

Setelah melapor kepada pimpinannya yang bernama Ahmad Husein, Warman diperintahkan untuk mengeksekusi Hasan Bauw. Tak lama kemudian Warman ditangkap aparat.

Lalu disusul pula dengan penangkapan Abdullah Umar dan beberapa anggota kelompok lainnya. Mereka dikirim ke dalam penjara yang sama dengan Sungkar dan Ba'asyir.




(ahr/rih)


Hide Ads