Menjadi pemimpin memang harus mendekatkan batin, pemikiran, ucapan dan rasa hatinya kepada rakyat agar selalu paham pada kondisi, keresahan, kesusahan dan mobah mosiking atine kawula dasih.
Pemimpin harus menjadi negarawan. Dia harus melambari semua keputusan, tindakan, dan ucapannya dengan ngelmu teguh seperti Sultan Agung, harus bisa ngrasuk aji gineng seperti Prabu Anglingdarma, harus menguasai aji sapta pangrungu seperti Gatutkaca.
Ngelmu teguh adalah perpaduan pengetahuan administrasi dan kearifan untuk mengelola kawasan. Aji gineng adalah mitos tradisional, sebuah ilmu khusus yang dimiliki Prabu Anglingdarma untuk bisa memahami bahasa manusia maupun bahasa hewan, sebagai gambaran sebagai raja harus mampu memahami semua aspirasi rakyatnya.
Sedangkan aji sapta prangrungu adalah keahlian melatih ketajaman fungsi pendengaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara harfiah, aji sapta pangrungu bisa diartikan kekuatan tujuh pendengaran. Secara maknawi, aji sapta pangrungu merupakan gambaran keahlian seseorang yang mampu melatih pendengarannya untuk bisa menguasai sumber suara-suara paling rendah hingga suara paling keras yang tidak bisa ditangkap oleh pendengaran normal manusia.
Keahlian ini bisa didapat dengan latihan khusus yang cukup berat untuk melatih syaraf-syaraf renik menjadi lebih peka pada sumber suara.
Dalam kultur pemaknaan bahasa kita, ada angka-angka khusus yang menunjukkan jumlah banyak yang terhingga. Misalnya angka tujuh, sembilan, seribu, selaksa dan sejuta.
Karena itulah penggunaan kata sapta dalam penamaan sapta pangrungu harus diartikan bahwa yang telah menguasai keahlian atau ilmu tersebut sudah mampu mendengar suara dari tujuh benua, tujuh lautan, tujuh kedalaman batin dan tujuh kedalaman hati.
Ujian mengenai apakah ngelmu teguh, aji gineng dan aji sapta pangrungu itu benar-benar masih melekat sebagai daya linuwih para pemimpin, saat inilah salah satu momentum yang tepat untuk memastikan.
Persoalan memang bukan sekedar menyaksikan kebingungan emak-emak cari minyak goreng yang memang benar-benar tak mereka temukan di warung tetangga yang lalu dijawab dengan silat lidah sembari cuci tangan dengan menyebut kelangkaan terjadi karena ulah satu dua spekulan. Namun ini adalah tanggung jawab pemangku kepentingan menjamin keberadaan sembako, minyak goreng masuk di dalamnya.
Masalahnya bukan sekedar sejuta ngungun di benak jutaan warga bangsa, di saat jutaan hektare hutan paru-paru dunia dibabat untuk perkebunan sawit, tapi kini imbalannya adalah tak ada minyak goreng yang bisa didapatkannya. Namun ini adalah tanggung jawab moral dan kepantasan kerja para pemangku kebijakan untuk memastikan rakyatnya tidak menjadi korban mainan patgulipat politik dan para bandar.
Pun, urusannya bukan sekadar urusan kreativitas cara mengolah makanan tak cuma hanya bisa digoreng, tapi juga bisa direbus, dikukus atau dirujak. Namun ini adalah soal kepantasan dan keharusan yang harus ditanggung para pemimpin mengelola hajat hidup orang banyak yang tak lagi dinaungi daya linuwih dari jiwa dan roh aji gineng, aji sapta pangrungu, aji nawa pandulu, aji sewu pangganda, aji sakethi panggraita, aji sayuta pangrasa dan daya linuwih lain yang seharusnya memandu mereka.
Solo, 20 Maret 2022
Muchus Budi R, wartawan detikcom
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
(mbr/aku)