"Ayo do mrene, maju...maju ! Nyang Gembiraloka nonton kethek wae maju-maju kok nonton Cemplon pekewuh (ayo ke sini, maju, maju. Ke kebun binatang Gembiraloka lihat monyet saja maju, kok lihat Cemplon sungkan)," teriak Lasono saat mengawali membuka lapaknya, di Pasar Klithikan lapangan Bonyokan, Kecamatan Jatinom, Klaten, Jumat (11/3/2022).
Jam menunjukkan pukul 10.00 WIB saat pria berkaus krah warna hijau, bercelana jeans itu berdiri di bawah tenda terpal plastik di sisi barat Pasar Klithikan. Satu plastik kresek biru untuk wadah uang diikatkan di tempat ikat pinggang.
Kardus-kardus berisi barang perkakas seperti bolam lampu, pisau cukur, pensil, gergaji, obeng, gunting, dan pisau sayur. Ada pula korek api, kanebo, pemotong kuku, pompa, penggilap mobil sampai obat panu disiapkan.
Dengan gaya rambut mirip pelawak Srimulat Gogon dan kumis tebal, Lasono beberapa kali berteriak menandai lapaknya buka.
Dalam hitungan 5 menit, belasan bahkan puluhan orang mulai mendatangi lapaknya. Mulai dari pria, wanita sampai anak-anak berkerumun mengepung tenda melihat aksi Lasono berkoar mendoakan semua pengunjung pasar lalu menawarkan dagangan.
"Pemotong kuku masuk sunah Rasul...ayo Rp 60.000..Rp 40.000, Rp 25.000, Rp 20.000, Rp 10.000. Weee tetep ora gelem, ya wes Rp 5.000...Rp 5.000 loro (dapat dua)," kata Lasono melelang pemotongan kuku yang akhirnya jadi rebutan.
Tidak hanya cara berjualan yang unik menyerupai orang lelang, sesekali pengunjung diajak berdialog dua arah sambil guyonan. Tak jarang gelak tawa pecah dari lapak itu di tengah hiruk pikuk pasar.
Untuk memecah kejenuhan, Lasono, sesekali bermain sulap sederhana bak stand up comedy. Beberapa kali pengunjung yang membawa anak kecil diberinya uang jajan dan pengamen yang lewat juga dia panggil untuk diberinya duit.
Lasono mengaku tidak memiliki bakat melawak atau pernah ikut grup lawak sebelumnya. Triknya berdagang dengan banyolan itu dilakukan secara spontan.
"Saya tidak melawak, saya spontanitas saja. Kalau lawak itu kan direncanakan, tapi saya spontanitas, tidak belajar, tidak latihan, saya los dol," kata Lasono saat berbincang dengan detikJateng, siang itu.
Lasono mengaku sudah berjualan keliling sejak tahun 1990. Selain di Klaten, juga ke beberapa pasar di daerah lain di luar kota, sampai Ambarawa.
"Jualan di Jatinom kalau Legi, kalau pasaran Wage di Pedan. Kadang ke Ambarawa, Bantul, kadang di Magelang tapi jarang. Saya bukan ngelawak, saya cari rezeki," jelas Lasono, bapak dua anak itu.
Lasono menyatakan berjualan dengan banyolan memang lelah tapi semua dijalani dengan hati senang. Sebab dirinya tidak semata-mata mencari rezeki.
"Pertama saya cari rezeki. Kedua saya bikin gembira orang lain dan diri saya sendiri. Saya suka, orang lain juga suka jadi kayak laku sama-sama suka," lanjut Lasono.
Dari pekerjaan itu, Lasono mengaku bersyukur bisa menghidupi dan menyekolahkan kedua anaknya sampai perguruan tinggi. Satu anaknya jadi ASN dan satu jadi guru.
"Anak saya yang satu ASN di Pemkab Klaten dan satunya guru sekolah swasta di Klaten. Semua lulus kuliah dan sudah mandiri semua," kata Lasono.
Lasono mengaku omzet jualan kelontong kelilingnya dalam sekali jualan bisa Rp 1,5-Rp 2 juta. Barang didapat dari kulakan di Solo dan Jogja.
"Sehari omzet kotor ya Rp 2 juta bisa, barang saya kulakan di Solo, dan Jogja. Sekarang tinggal pesan barang dikirim ke rumah jadi lebih enak," imbuh Lasono yang lulusan STM mesin itu.
Lasono menambahkan, dirinya tidak khawatir jika ada pedagang meniru gayanya berjualan. Baginya justru senang karena rejeki sudah ada yang mengatur.
"Kalau ada yang meniru cara saya jualan, saya malah senang karena saya memberi ide baik ke orang lain. Gaya dan cara mungkin bisa sama tapi rezeki pasti tidak sama," sebut Lasono.
(sip/ams)