Beberapa waktu lalu, video dengan narasi hujan uang di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, viral di media sosial. Ternyata peristiwa itu merupakan tradisi Udik-udikan. Tradisi apakah itu?
Tradisi udik-udikan yang videonya viral diadakan oleh seorang pengusaha kaya di Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran. Dalam acara itu, tuan rumah menyebar uang pecahan seratus ribu dan lima puluh ribuan, saat acara 'Munggah Molo' atau menaikan atap rumah baru.
Pemerhati budaya di Pekalongan yang juga Sekdin Kominfo Kabupaten Pekalongan, Muhammad Edi Yuliantoni, mengungkap tradisi udik-udikan saat ini sudah jarang ditemui. Dia mengungkap tradisi udik-udikan berbentuk saweran atau berbagi rezeki dengan orang lain yang sudah ada sejak lama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Udik-udikan sudah ada sejak penjajahan Belanda
"Dari cerita turun-temurun, cerita udik-udikan telah ada sejak kolonial Belanda. Tidak tahu juga sebelum masa itu. Bahkan, cerita udik-udikan juga ada yang mengatakan diadopsi dari kebiasaan Belanda dan China," kata Edi Yuliantoni yang akrab di panggil Edi Van Keling ini kepada detikJateng, Sabtu (12/3/2022).
Edi yang juga merupakan salah satu penulis buku Babad Pekalongan ini, menjelaskan belum ada penelitian terkait asal mula tradisi udik-udikan.
"Pada masa sebelum Jepang (era Kolonial Belanda) sinyo-sinyo Belanda kalau sedang bersuka-ria sering bagi uang di jalanan, dengan cara lempar koin pada kerumunan orang pribumi. Tentunya orang-orang berebut untuk mendapatkannya," kata Edi Keling.
Biasanya orang-orang Belanda saat itu membagikan uang untuk merayakan momen ulang tahun, kenaikan kelas, atau syukuran atas kemenangan.
"Bahkan pada Ulang Tahun Ratu Netherlands pun orang-orang Belanda merayakannya antara lain dengan sebar-sebar uang di jalan," jelasnya.
Tidak hanya orang Belanda, orang China di Pekalongan, kata Edi Keling juga berbagi rejeki dengan memberikan uang saat suka-cita bahkan saat berduka.
"Orang China juga melakukan hal yang sama, terutama pada saat Imlek, atau iringan jenazah yang hendak dibawa ke krematorium," ungkapnya.
"Karena itulah, penduduk pribumi Pekalongan mengadopsinya. Biasanya dikakukan atas rasa syukur kelahiran bayi, atau juga khitanan, syukuran nikah, buat rumah, cukur bayi atau lainnya," imbuhnya.
Namun, tradisi itu sempat menghilang di era penjajahan Jepang. Dia memperkirakan tradisi itu hilang karena kondisi ekonomi yang sulit.
"Mungkin kondisi ekonomi yang sulit saat itu yang juga berlangsung perang, masa Agresi Militer Belanda 1-2 (1947-1949). Dan juga mungkin karena suasana perang atau juga kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga tidak ada lagi," katanya.
Udik-udikan muncul kembali pada 1950-an
"Tahun 1950-an, udik-udikan muncul kembali. Tapi uang koin dicampur beras yang dikasih kunir, diwadahi bokor. Saat itu memang didominasi uang receh," jelasnya.
Biasanya tradisi ini dilaksanakan saat momen cukur bayi, 'dun-dunan' (pertama anak menginjak kaki), membangun rumah, dan pernikahan. Orang yang mempunyai hajatan, biasanya memanggil tetangga, sanak saudara dan kenalan untuk memeriahkan acara itu.
"Biasanya sebelumnya ada semacam pengumuman, sehingga akumulasi massa juga banyak. Orang berebut uang cenderung untuk having fun, sekedar bersenang-senang, tidak maksud melecehkan atau apa-apa. Ya hanya bersenang-senang," jelasnya.
"Ini merupakan bagian dari bentuk unjuk status sosial masyarakat lokal agar dirinya diakui oleh lingkungan. Jadi Ini cenderung pada behavioral social ketimbang muatan ekonomi," imbuhnya.
Bergesernya waktu, acara udik-udikan memang tidak sepopuler seperti zaman dulu. Bahkan, jarang ditemukan, lebih-lebih memasuki pendemi Corona. Namun, masih ada warga yang menghidupkan kembali acara tersebut.
"Sudah mulai sulit ditemukan ya udik-udikan itu. Tapi, saya lihat dan dengar juga masih ada yang melakukanya, walaupun tidak seramai dulu," ucapnya.
Tentang video viral 'hujan uang'
Diwawancara terpisah, salah seorang warga Pakumbulan, Kecamatan Buaran, lokasi dimana video viral 'Hujan Uang', Sodikin (67), mengakui acara udik-udikan tersebut digelar sebagai syukur dan doa restu dalam pembangunan rumah milik warga setempat yakni Munggah Molo.
Hanya saja, jika biasanya yang mempunyai hajat menyebar uang logam dan dicampur dengan kunir, namun pada acara kemarin tuan rumah menyebar uang kertas.
"Kemarin yang disebar uang kertas, bukan uang logam. Ramai warga pada senang," ucapnya.
Pihak keluarga penyelenggara acara, Danang Krismanda, juga telah memberi penjelasan terkait acara tersebut. Ia mengatakan, acara udik-udikan itu digelar tidak lain untuk melestarikan adat warga Pekalongan. Namun, pihaknya menyampaikan permintaan maaf karena acara itu menimbulkan kerumunan di tengah masa PPKM.
"Saya mewakili pihak keluarga meminta maaf kepada masyarakat, pemerintah dan lainnya, terkait acara udik-udikan kemarin, apalagi acara tersebut dilaksanakan pada masa PPKM," kata Danang pada awak media, Senin (7/3) malam.
"Meskipun Itu tradisi adat Pekalongan, kami tidak ada niat untuk memperkeruh suasana di masa pandemi ini. Sekali lagi saya meminta maaf yang sebesar-besarnya pada masyarakat dan pemerintah," imbuh Danang.
(sip/sip)