Pakar UGM: IKN Harus Bebas dari Ambisi Pemusatan

Pakar UGM: IKN Harus Bebas dari Ambisi Pemusatan

Jauh Hari Wawan S - detikJateng
Selasa, 01 Mar 2022 20:01 WIB
Nama ibu kota baru kini telah disepakati oleh pemerintah dengan nama Nusantara. Bagaimana fakta terbarunya?
Rancangan ibu kota baru. (Foto: dok. Screenshot)
Yogyakarta -

Pakar politik UGM Abdul Gaffar Karim menyebut Jakarta memang sudah tidak ideal menjadi Ibu Kota Negara (IKN) sehingga pemindahan menjadi solusi. Hanya saja ia khawatir jika IKN pindah, ambisi pemusatan akan ikut terbawa.

"Poin utamanya adalah ambisi pemusatan yang kita tidak punya jaminan apakah itu tidak akan terjadi di IKN Nusantara yang baru," kata Abdul Gaffar dalam diskusi publik 'Pindah IKN di Mata Cendekiawan Jogja' secara daring, Selasa (1/3/2022).

Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu menjelaskan soal logika pemusatan dari kondisi Jakarta yang tidak lagi ideal. "Jakarta berada di pulau Jawa yang kepadatannya itu sangat tinggi. Saya setuju bahwa memang ini harus dipindah tapi sebenarnya apa sih persoalan DKI itu?," ujarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagi saya persoalan DKI yang menyebabkan ini menjadi rumit karena problema pemusatan. Ini persoalannya karena semua-semua berada di Jakarta," sambungnya.

Ia melanjutkan, pemerintahan ada di Jakarta, bisnis dan ekonomi di Jakarta, kebudayaan juga berpusat di Jakarta.

ADVERTISEMENT

"Jadi semua akhirnya berkumpul di Jakarta. Persoalannya ini bagi saya adalah pemusatan dan ini sangat politik," urainya.

Oleh karena itu, pemindahan IKN nanti menjadi percuma jika masih dibarengi dengan logika pemusatan. Kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia melemah. Gaffar mengatakan Jakarta pada akhirnya menguat tapi dengan cepat juga menjadi lemah dan daya dukungnya menjadi habis.

"IKN Nusantara itu dalam 50 tahun hanya akan menjadi Jakarta yang kita kenal sekarang karena jangan lupa tahun 50-an Jakarta masih bagus, Muhammadiyah masih berpusat di Yogya, NU masih berpusat di Surabaya dan lain-lain masih ada, Makassar masih menjadi pusat ekonomi, Palembang masih menjadi titik penting pelabuhan dan lain-lain, tapi setelah itu semua ke Jakarta," urainya.

Hal itulah yang menurut Gaffar jadi persoalan politik. Yakni nafsu dari pemerintah untuk memusatkan.

Dua pemusatan yang perlu diperhatikan

Dijelaskan Gaffar, ada dua macam pemusatan yang perlu diperhatikan. Pertama pemusatan vertikal yaitu kuasa yang sangat besar di pemerintah pusat sehingga di daerah tidak banyak kuasa.

"Kendali yang sangat besar terhadap uang di pemerintah pusat sehingga daerah tidak cukup besar pengaruhnya. Ini memang kemudian diubah dalam setelah undang-undang otonomi daerah diterapkan. Akan tetapi logic pusat yang memusatkan semua di tangannya itu membuat Jakarta juga kelelahan sebagai pusat karena tidak terbagi," jelasnya.

Kedua, ada pemusatan horizontal di Jakarta, yaitu ketika semua sektor berpusat di sana. Pemerintah, kata Gaffar, jelas harus di sana karena ibu kota negara, tapi bisnis pun ikut di sana berpusatnya, kebudayaan.

"Tapi semua kemudian di sana. Termasuk apa boleh buat harus kita sayangkan juga NU dan Muhammadiyah pun turut berkantor di sana, kehilanganlah basis sosial sebenarnya. Lalu orientasi berpikir NU dan Muhammadiyah jadi sama-sama politik nasional tidak lagi cukup punya energi untuk politik yang menyebar. Jadi semua kemudian berpusat ke Jakarta," paparnya.

Oleh karena itu jika ditanya apa persoalannya secara politik, maka persoalan utamanya yaitu bahwa ibu kota negara menjadi piring tempat ditumpahkannya ambisi-ambisi pemusatan oleh penguasa negara.

"Kebetulan saja Jakarta yang sekarang menjadi piringnya akan tetapi nanti tidak ada yang menjamin bahwa ibu kota negara bernama Nusantara itu juga bersih dari pemusatan," bebernya.

Jadi, lanjut Gaffar, kalau ibu kota negara pindah menyeberang ke luar Jawa tapi kalau naluri pemusatannya juga dibawa, ia menjamin dalam 50 tahun lagi sudah akan seperti Jakarta.

Oleh karena itu, logika pemusatan itu harus diakhiri. Indonesia saat ini, menurut Gaffar, harus punya tiga pusat.

"Pertama adalah pusat pemerintahan, boleh lah itu di IKN Nusantara tapi tunggu dulu soal kapan pindahnya sabar dulu slow down sampai kita punya kemampuan sebenar-benarnya," katanya.

Kedua juga harus punya pusat industri dan bisnis. Tidak lagi Jakarta dan sekitarnya. Sekarang kan cuma begitu saja. Kemudian, ketiga, juga biarkan banyak pusat pendidikan dan kebudayaan.

"Dalam ilmu politik, ilmu sosial ini bisa sebut sebagai polisentrik, pusat tapi banyak karena Indonesia memang luasnya minta ampun. Jadi pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan tetap harus ada di beberapa titik jangan ikut-ikut pindak ke IKN Nusantara itu," pungkasnya.




(aku/ahr)


Hide Ads