Panen Kecaman Terkait Insiden di Desa Wadas Purworejo

Terpopuler Sepekan

Panen Kecaman Terkait Insiden di Desa Wadas Purworejo

Tim detikcom - detikJateng
Sabtu, 12 Feb 2022 15:37 WIB
Konferensi pers Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kapolda Jateng dan Kakanwil BPN soal Desa Wadas, di Mapolres Purworejo, Rabu (9/2/2022).
Konferensi pers Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kapolda Jateng dan Kakanwil BPN soal Desa Wadas, di Mapolres Purworejo, Rabu (9/2/2022). Foto: Rinto Heksantoro/detikJateng
Jogja -

Sejumlah pihak mengecam insiden saat proses pengukuran calon lahan kuari atau tambang terbuka andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jateng. Berikut ini pernyataan sejumlah pihak seperti dirangkum detikJateng, Sabtu (12/2/2022).

Untuk diketahui, proses pengukuran lahan calon lokasi tambang terbuka andesit di Desa Wadas oleh tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) diwarnai kericuhan, Selasa (8/2) lalu. Puluhan warga sempat diamankan polisi meski akhirnya dilepaskan keesokan harinya.

Komnas HAM

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menyatakan, Komnas HAM akan berupaya jadi mediator di konflik lahan Desa Wadas. Menurut Beka, komisinya saat ini berkomunikasi dengan berbagai pihak yang terlibat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari Antara, Rabu (9/2/2022), Beka menjelaskan bahwa lembaganya sudah mencoba memediasi berdasarkan permintaan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

"Pertengahan Januari kemarin, gubernur memang meminta ke saya atau ke Komnas HAM untuk memfasilitasi dialog," katanya.

ADVERTISEMENT

Beka menyebut, pernah ada rencana mediasi pada 20 Januari yang diadakan oleh Komnas HAM. Komnas HAM mengundang pihak pro dan kontra. Selain itu, diundang pula Polda Jateng, DPRD Purowrejo, BBWS dan BPN.

"Termasuk warga yang menolak dan mendukung kami undang semua. Namun yang menolak, kami undang tidak datang. Tentu saja mereka punya alasan kenapa tidak datang," ungkapnya.

Usai agenda mediasi tersebut, Komnas HAM bertandang ke Wadas. Ternyata, warga kontra yang menolak datang saat dialog. Mereka meminta dialog langsung dengan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

"Sudah kami sampaikan permintaan-permintaan mereka. Intinya Pak Gubernur siap datang," katanya.

Namun belum sempat dialog langsung dengan gubernur, Badan Pertanahan Nasional (BPN) datang ke Wadas dan mengukur tanah. Ia mendapat informasi bahwa pengukuran hanya dilaksanakan pada lahan yang pemiliknya sudah setuju.

Dari data lapangan, diketahui bahwa dari 617 warga Wadas yang tanahnya akan dijadikan lokasi penambangan, 346 warga sudah menyetujui.

"Dan informasi yang kami dapatkan, pengukuran akan dilakukan pada lahan warga yang sudah setuju. Maka kami menyayangkan terjadi kasus seperti ini sampai ada penangkapan," jelas Beka.

Meski demikian, Komnas HAM menegaskan tidak ada pelanggaran hukum dalam rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas Purworejo. Sebab warga kontra sudah melayangkan gugatan hukum hingga tingkat kasasi. Hasilnya gugatan tersebut ditolak.

Komnas HAM akan kembali memediasi dengan mengundang para pihak untuk berdialog. Namun, jika nantinya tetap buntu, maka keputusan ada di masing-masing pihak.

Ombudsman Jateng

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Tengah menyoroti pengamanan pengukuran tim BPN yang berujung ricuh di Desa Wadas.

"Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari masyarakat, proses pengamanan oleh kepolisian dalam pengukuran lahan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo pada Selasa, 8 Februari 2022 hingga hari ini, diduga terdapat tindakan tidak patut dan berpotensi maladministrasi. Oleh karena itu, Ombudsman meminta kepolisian bertindak lebih humanis dalam melakukan pengamanan" ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jateng, Siti Farida dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/2/2022).

Siti mengatakan, Ombudsman berkewenangan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (own motion investigation) mengenai dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, Ombudsman Perwakilan Jateng berencana akan meminta keterangan kepada Polda Jateng, Polres Purworejo, Kanwil BPN Jawa Tengah, Kantah ATR/BPN Purworejo, Pemprov Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Purworejo, dan perwakilan warga masyarakat.

Pihaknya pun meminta antara pihak yang berkonflik untuk dapat mengedepankan musyawarah. Dia juga berpesan agar jangan mengedepankan kekuatan dan diharapkan menyelesaikan masalah secara progresif.

Ketum PBNU

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya angkat bicara soal penyelesaian di Wadas.

Dalam video berdurasi sekitar 2 menit yang diunggah Ganjar Pranowo di akun Twitter @ganjarpranowo, seperti dikutip detikJateng, Jumat (11/2/2022), Gus Yahya bicara dalam forum Muskerwil PWNU Jawa Tengah dan Harlah NU ke-99.

"Di dalam masalah yang sedang hangat, di Purworejo, di Wadas. Dibutuhkan perbaikan komunikasi agar ada improvement komunikasi pemerintah dan warga. Agar masalah yang sudah terlanjur meletup tidak makin jadi dan bisa diselesaikan sebaik-baiknya," kata Gus Yahya, Kamis (10/2).

Gus Yahya menjelaskan ada beberapa hal yang memang harus dilakukan pemerintah dengan agenda besarnya. Namun, dia mengingatkan masih ada hak-hak dari warga.

"Karena memang ada hal-hal yang harus dilakukan pemerintah dengan agenda besar menyangkut bangsa, tapi ada hak-hak para warga yang terkait dengan agenda-agenda itu. Kita tidak perlu tergesa-gesa mempolitisasi masalah semacam ini sebagai masalah antara pemerintah dengan rakyat, pemerintah menindas rakyat dan sebagainya," jelas Gus Yahya.

"Yang kita butuhkan sekarang adalah jalan keluarnya dan Nahdlatul Ulama Insya Allah akan siap terus hadir mendampingi rakyat dan membantu pemerintah melancarkan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat itu sendiri," imbuhnya.

Gus Yahya juga yakin permasalahan di Wadas bisa selesai dengan baik karena Ganjar Pranowo juga merupakan warga Purworejo.

Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah

Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr Trisno Raharjo, mengatakan aparat kepolisian menggunakan cara lama saat melakukan tindakan pengamanan di Desa Wadas, Selasa (8/2) lalu. Dia menyebut cara polisi tak jelas prosedurnya.

"Cara-cara lama yang tidak jelas prosedurnya, tidak jelas duduk persoalannya, sehingga kita (warga Desa Wadas) sebagai warga negara tidak tahu sebenarnya dalam posisi apa saat diamankan di sana (di Mapolres Purworejo)," kata Trisno dalam konferensi pers pasca-penangkapan warga Desa Wadas 8-9 Februari 2022 secara daring via akun YouTube Yayasan LBH Indonesia, Kamis (10/2).

Trisno kemudian mengutip keterangan dari LBH selaku tim pendamping hukum warga Wadas. Saat mendatangi Polres Purworejo, mendapat penjelasan orang-orang yang berpakaian sipil di Desa Wadas pada Selasa (8/2) itu semuanya anggota polisi.

"Itu tidak boleh sama sekali. Kalau menggunakan pendekatan kepolisian yang resmi, mereka juga harus menggunakan seragam resmi. Nggak perlu menggunakan pakaian masyarakat sipil yang biasa kita sebut polisi berpakaian preman," kata Trisno.

Jika kedatangan polisi yang berseragam resmi untuk mengamankan proses pengukuran lahan, Trisno berujar, tidak perlu lagi mengerahkan polisi berpakaian preman.

"Lalu apa maksudnya dengan datang ke tempat masyarakat. Menurut saya tidak perlu, karena mereka kan bukan sedang mengukur rumah (warga)," kata Trisno.

Trisno menambahkan, tidak sepantasnya polisi menyematkan berbagai ketentuan pidana kepada warga sementara aparatnya sendiri melakukan tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

"Kalau aparat penegak hukum itu harus hadir (untuk melakukan tindakan pengamanan dalam proses pengukuran lahan), maka hadirlah dengan seragam. Bila tidak berseragam, ya itulah preman, itulah pengacau, itulah yang harus ditangkap, itulah yang harus dikeluarkan dari wilayah (Desa Wadas) sana," kata Trisno dengan nada tegas.

AJI-LBH

Pemimpin Redaksi Sorot.co Adi Prabowo menyesalkan kejadian yang menimpa jurnalisnya saat melaksanakan tugas jurnalistik di Desa Wadas, Selasa (8/2).

"Wartawan Sorot.co sedang bertugas dan dengan jelas menunjukkan ID Card dan anggota PWI (mengenakan rompi PWI). Tetapi aparat berpakaian preman tetap menyuruh wartawan kami menunjukkan rekaman video di handphone-nya dan memerintahkan untuk dihapus," kata Adi Prabowo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/2/2022).

Meski demikian, Adi belum akan menempuh proses hukum atas upaya menghambat kerja wartawannya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

"Apa yang dilakukan aparat itu sudah mengganggu kemerdekaan Pers yang dijamin UU Pers. Saya berpesan ini supaya aparat tahu, kita punya tugas masing-masing. Jangan sampai kejadian kemarin terulang, menimpa wartawan lain," kata Adi.

Aksi intimidasi yang dilakukan aparat polisi berbaju preman terhadap jurnalis Sorot.co itu juga dikecam Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

"Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyebutkan, tiap orang yang sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta," kata Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani, saat dihubungi detikJateng.

Melalui Pernyataan Sikap Bersama, AJI dan LBH Pers juga mengecam peretasan akun media sosial milik LBH Yogyakarta selaku tim kuasa hukum warga Desa Wadas. Akun Instagram LBH Yogyakarta mendadak hilang pada Selasa, 8 Februari 2022. LBH Yogyakarta sempat mengunggah berbagai informasi mengenai represi aparat di Desa Wadas.

KontraS

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan kecaman atas penyerbuan aparat polisi dan penangkapan sejumlah warga di Desa Wadas. KontraS melihat ada ribuan aparat yang diturunkan dan menyisir Desa Wadas sebagai langkah intimidatif dan eksesif polisi dalam menyikapi penolakan warga terhadap pertambangan.

"Selain itu, penangkapan terhadap sejumlah warga tanpa alasan yang jelas menunjukkan watak aparat yang represif dan sewenang-wenang. Terlebih jika berkaitan dengan kepentingan pembangunan atau investasi," dikutip dari website KontraS, Rabu (9/2/2022).

"Padahal konflik agraria semacam ini seharusnya didekati lewat mekanisme hukum dan sipil yang berlaku. Pendekatan keamanan berbasis kekerasan hanya akan menimbulkan rasa traumatik bagi masyarakat," lanjut KontraS.

Beberapa poin pelanggaran yang disampaikan KontraS yakni:

Tindakan kekerasan, intimidasi, mengancam dan menakut-nakuti serta melakukan penangkapan terhadap sejumlah warga yang melakukan penolakan terhadap kegiatan pengukuran oleh BPN. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM; Pengerahan anggota Kepolisian dengan jumlah yang sangat besar tidak sesuai dengan proporsionalitas, nesesitas, preventif dan masuk akal (reasonable) sebagaimana diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009; Upaya mengukur tanah juga semestinya tidak bisa dilakukan karena ada sengketa dengan masyarakat yang harus dicapai terlebih dulu hingga mufakat.

Akademisi

Pakar Sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Drajat Tri Kartono menyampaikan, gerakan masyarakat Wadas yang kontra terhadap proyek tersebut merupakan gerakan sosial. Menurutnya penangkapan para warga justru menunjukkan bentuk represif aparat.

"Kerangka sosiolog namanya gerakan sosial, suatu gerakan secara kolektif bersama-sama untuk menyampaikan atau mempertahankan, pemikiran kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat situ," urai Drajat saat dihubungi detikJateng, Kamis (10/2/2022).

Masyarakat yang kontra, lanjut Drajat, harus diakui sebagai artikulasi. Bisa ditandai sebagai bentuk pesan gerakan sosial satu tujuan atau ideologi. Ideologinya jelas, mereka menolak rencana investasi itu.

"Itu harus didengar dan diakui bahwa masyarakat itu menolak, walaupun proses hukum sudah terjadi dan sebagainya. Satu bentuk artikulasi sosial yang punya tujuan arah menolak, dan punya strategi dalam gerakan yang luas harus dimaknai sebagai sebuah konflik atau pertentangan antara industri dan masyarakat, " terangnya.

Drajat menilai pengerahan personel kepolisian dan bahkan menangkap warga sebagai bentuk tindakan represif.

"Mendatangkan polisi itu menjadi satu bentuk lain dalam situasi represif politik. Di mana ruang artikulasi itu kemudian menjadi ditekan secara paksa," ucapnya.

Menurutnya, seharusnya tidak perlu ada gerakan masif dengan menangkapi orang banyak. Drajat menilai warga yang kontra harus diajak bicara.

"Ada mekanisme penyelesaian masalah itu secara persuasif, lebih menggunakan dialog, supaya basis politik demokrasi Pancasila, mengutamakan manusia adil dan beradab. Kata adil beradab itu tetap diperjuangkan dipertahankan," paparnya.

Tindakan represif dengan menangkap warga, menurut Dosen Fisip UNS ini dinilai sebagai upaya menekan warga. Drajat menyebut tindakan itu menunjukkan teror, orang ditangkap, hingga diperiksa.

"Ini sebagai upaya untuk melemahkan gerakan itu, dengan menangkap tokoh-tokoh, dipisahkan dari rombongan. Itu akan menjadi catatan yang kurang baik untuk masyarakat yang ada di sana," urai Drajat.

Drajat menambahkan, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi setelah aparat bertindak represif terhadap masyarakat.

"Ada dua kemungkinan ketika gerakan sosial ditekan. Yang pertama, gerakan itu akan semakin membulat atau utuh, walaupun aktivis pentingnya diambil (ditangkap)," kata Drajat.

Drajat mengatakan, masyarakat yang ditekan tetap akan bergerak dari bawah permukaan alias bergerilya. Di sisi lain, tindakan represif aparat tersebut akan menyisakan jeritan rakyat yang berujung pada penilaian negatif mereka terhadap pemerintah.

"Yang kedua, yakni munculnya simpati dari berbagai kalangan masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya di desa itu, tapi juga di tempat lain. Dan, simpati itu meluas tempat lain," kata Drajat.

Selain itu, beragam kecaman juga muncul dari pihak lainnya, termasuk dari kalangan mahasiswa, LSM, politikus, hingga anggota-pimpinan DPR RI.




(rih/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads