Insiden Wadas, Belajar dari Perjuangan Romo Mangun di Kedung Ombo

Insiden Wadas, Belajar dari Perjuangan Romo Mangun di Kedung Ombo

Dinda Leo Listy - detikJateng
Kamis, 10 Feb 2022 09:11 WIB
Buku Mangun, Sebuah Novel karya Sergius Sutanto.
Foto: Dinda Leo Listy/detikJateng
Solo -

Di atas kasur RS Elisabeth Semarang, 21 Februari 1989, Romo Mangun menulis surat untuk menggalang bantuan bagi anak-anak korban proyek Waduk Kedung Ombo. Padahal, rohaniwan bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya itu sedang menjalani rawat inap karena ada kelainan di jantungnya.

"Kami memanggil dengan penuh kepercayaan, relawan-relawati cintawan, DEMI 3500 ANAK TERLANTAR di KEDUNG OMBO yang sedang digenangi. Untuk bergilir menolong mereka sebagai abang-kakak-guru-pengasuh dsb," tulis Sergius Sutanto dalam bukunya 'Mangun, Sebuah Novel' (2016 : 336).

Dalam suratnya, Romo Mangun berterus terang bahwa dia dan kawan-kawan tak punya modal apa-apa. Maka, Romo kelahiran Ambarawa 6 Mei 1929 itu mengimbau relawan menanggung sendiri biaya transport serta kebutuhan mereka selama mendampingi anak-anak Kedung Ombo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Surat itu ditandatangani 6 orang, termasuk Romo Mangun dan seniman Yayak A Yatmaka, lalu dikirim ke koran terbesar di Jogja pada 27 Februari 1989.

Belakangan ini, Yayak disebut sebagai salah satu dari 64 orang yang ditangkap polisi saat terjadi kericuhan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Selasa (8/2/2022). Mereka baru dilepas dan dipulangkan sehari kemudian.

ADVERTISEMENT

Pembebasan Lahan yang Adil dan Beradab

Dalam buku biografi yang sarat referensi dari hasil riset itu, Sergius Sutanto menjelaskan, Waduk Kedung Ombo luasnya sekitar 6.500 hektar, mencakup sebagian wilayah Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Hampir 3.000 hektar lahannya sudah di perairan. Sisanya, sekitar 3.500 hektar, didapat melalui 'pembebasan' tanah warga. Salah satu sumber dana pembangunan waduk itu dari utang Bank Dunia.

Romo Mangun tahu nilai ganti rugi tanah yang sedianya telah didesain oleh Bank Dunia ternyata disunat habis-habisan, dari Rp 10 ribu jadi Rp 250 per meter persegi. Warga pun menolak dan memilih bertahan, mengungsi ke tempat yang lebih tinggi ketika desa mereka mulai digenangi. Adapun sebagian warga lain ditransmigrasikan ke Muko-Muko, Bengkulu. Ada pula yang ke Jambi dan Papua.

Namun, untuk mencegah konflik, sejak awal Romo Mangun berkomitmen bahwa gerakannya fokus pada penyelamatan anak-anak, bukan di jalur hukum atau politik. Kendati demikian, bermacam tuduhan tak henti dialamatkan kepada Romo yang juga dikenal sebagai arsitek dan sastrawan itu.

Dalam suratnya kepada Mendagri, Romo Mangun mengatakan, "Mana mungkin saya selaku rohaniwan menolak jeritan mereka dalam kegelapan dan kebingungan mereka. Dosa besar rasanya bila berdiam diri." Menurutnya, rohaniwan dan pendidik sama posisinya dengan dokter dan Palang Merah di medan perang, menolong siapa pun, bahkan serdadu musuh.

"Di Kedung Ombo tidak ada perang, walaupun seluruh daerah kelilingnya penuh dengan pasukan berbaju loreng dengan senjata-senjata otomatis yang berkesan menakutkan orang, apalagi orang-orang desa dina," tulis Sergius Sutanto mengutip surat asli yang diketik Romo Mangun (hlm. 357).

Setelah surat 'panggilan' Romo Mangun dan kawan-kawan terbit di koran, bantuan sandang, pangan, hingga buku bacaan anak terus berdatangan di posko Solo dan Jogja. Namun, tak mudah menyalurkannya.

TNI-Polisi kawal pengukuran lahan proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Selasa (8/2/2022).TNI-Polisi kawal pengukuran lahan proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Selasa (8/2/2022). Foto: Rinto Heksantoro/detikcom

Berbagai cara legal ditempuh Romo Mangun bersama sejumlah tokoh agar diizinkan masuk ke Kawasan Kedung Ombo yang dijaga ketat aparat. Mereka juga menemui gubernur sampai bupati, tapi hasilnya nol.

Setelah jalur resmi tak mempan, para relawan mencoba mencari jalan tikus, keluar masuk hutan menghindari aparat yang tersebar di segala titik di Kedung Ombo. Beberapa kali mereka tertangkap basah sehingga harus membawa kembali bantuannya ke posko.

Kepada sahabatnya, Umar Kayam, Romo Mangun menumpahkan kekecewaannya. Dia menuturkan, di Utrecht, Nederland, ketika sebuah stasiun kereta api akan diubah menjadi kompleks bisnis besar, semua pihak diajak bicara. Proses musyawarahnya selama 10 tahun sampai seluruh pihak termasuk warga setuju.

Sistemnya, menurut Romo Mangun, saling berbagi untung dan berkorban. "Mestinya, di negara Pancasila, sistem ini akan jauh lebih adil dan beradab," katanya. Obrolan itu dikemasnya menjadi tulisan berjudul Tumbal dan dikirim ke salah satu majalah mingguan nasional.

Perjuangan Menembus Kepungan

Gagal menyalurkan bantuan lewat jalur darat, Romo Mangun dan relawan membuat perahu dari drum bekas minyak tanah berlapis aspal. Meski tiga perahu dan satu rakit itu akhirnya disita dan dihancurkan di Sragen, Juni 1989, mereka tak menyerah.

Di Sragen, relawan merakit lagi sejumlah perahu. Kemudian, mereka long march ke Desa Kemusu di Boyolali, pintu masuk ke kawasan Kedung Ombo. Ratusan warga tumpah ruah ke jalan. Mahasiswa membuat barikade pengamanan. Wartawan berdatangan. Akhirnya, perahu-perahu itu bisa berlayar di waduk Kedung Ombo.

Sebulan kemudian, Romo Mangun dan relawan kembali menyambangi desa-desa yang tergenang di Kedung Ombo. Mereka menemani anak-anak belajar di sekolah darurat bersama beberapa kelompok lain yang punya kepedulian sama. Perpustakaan apungnya juga terus melarung.

Suatu malam, saat Romo Mangun sedang berdiskusi di satu rumah warga di Kedung Ombo, puluhan aparat datang menggerebek. Dia pun keluar lewat pintu belakang dan bersembunyi di perahu, terapung-apung sendirian di tengah waduk selama tujuh hari.

Pada tanggal ini, 23 tahun silam, Romo Mangun berpulang selamanya. Dia meninggal seusai mempresentasikan makalahnya dalam seminar Peran Buku dalam Membentuk Masyarakat Baru Indonesia yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Hotel Le Meridien Jakarta, 10 Februari 1999.

Meski Romo Mangun telah wafat, tapi semangat pembelaannya kepada korban ketidakadilan masih melekat pada mereka yang kini membantu perjuangan rakyat Desa Wadas dalam mempertahankan bukit subur mereka dari penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo.




(ahr/mbr)


Hide Ads