Sejak rezim Orde Baru tumbang, pascareformasi 1998 sampai sekarang, tampuk pemerintahan di Kabupaten Klaten hanya berkutat pada dua pasangan suami-istri. Dua pasutri itu Haryanto Wibowo - Sri Hartini dan Sunarna - Sri Mulyani. Mereka bergantian menjabat Bupati Klaten hampir 22 tahun.
Komisioner KPU Kabupaten Klaten Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi dan SDM, Wandyo Supriyanto mengatakan, Haryanto Wibowo adalah bupati pertama di Klaten pascareformasi. Haryanto dan wakilnya, Wisnu Hardono, dipilih DPRD.
"Pascareformasi, yang jadi Bupati Haryanto Wibowo (tahun 2000). Berdasarkan UU 22/1999, yang berhak memilih bupati saat itu DPRD, belum ada pilkada langsung," kata Wandyo kepada detikJateng, Sabtu (5/2/2022) siang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah UU 22/1999 diubah dengan UU 32/2004, hak memilih kepala daerah diserahkan ke masyarakat. "UU 32 mengalihkan hak pilih kepala daerah dari DPRD ke masyarakat melalui Pilkada, sehingga sejak Pilkada 2005 terjadi kontestasi. Tapi calon perseorangan belum boleh," jelas Wandyo.
Pilkada 2005, lanjut Wandyo, dimenangkan Sunarna dan wakilnya Samiadji. Pada Pilkada 2010, Sunarna menang lagi. Kala itu Sunarna berpasangan dengan Wakil Bupati Sri Hartini yang tak lain istri Haryanto (Bupati Klaten periode 2000 - 2005).
Periode berikutnya, Pilkada 2015, giliran Sri Hartini yang terpilih menjadi Bupati Klaten. Sedangkan wakilnya adalah Sri Mulyani yang tak lain istri Sunarna.
Pada Pilkada 2020, Sri Mulyani menjadi Bupati berpasangan dengan Yoga Hardaya. "Sampai 2020, Bupatinya berasal dari dua keluarga, tetapi pasangannya atau wakil bupati (mulai) melebar. Di Pilkada 2020, Wakil Bupati bukan dari dua keluarga itu, sebab wakilnya Yoga Hardaya," sambung Wandyo.
Menurut Wandyo, calon perseorangan di Pilkada Klaten sempat muncul sekali pada 2015. Pasangan perseorangan itu Mustafid Fauzan- Sri Harmanto. Mereka kalah oleh Sri Hartini - Sri Mulyani.
"Tapi di Pilkada 2020 tidak ada lagi (calon perseorangan) meskipun syaratnya semakin mudah," ungkap Wandyo.
Wandyo menegaskan, dari sisi pendidikan pemilih, fenomena gonta-ganti bupati dari dua pasutri itu bukan masalah. Sebab, pendidikan pemilih hanya mengajak masyarakat sadar memilih. Soal siapa calonnya dan dari mana, KPU tidak berwenang mencampuri.
''KPU tidak berwenang memberikan alternatif kepemilihan, karena partai politik yang berhak menentukan siapa (pasangan) yang berpotensi menang. Hak memilih terserah rakyat," tambah Wandyo.
Komisioner KPU Klaten Divisi Teknis Penyelenggaraan, Syamsul Huda, menjelaskan data ihwal Haryanto Wibowo menjadi bupati pada tahun 2000 tidak ada di KPU. Sebab, Haryanto dipilih DPRD.
"Yang ada datanya (di KPU) sejak (Pilkada) 2005, saat Sunarna menjabat periode pertama. Saat Haryanto tidak ada datanya," jelas Syamsul.
Data rekapitulasi hasil pilkada di KPU Klaten menyebutkan, pada Pilkada 2005, pasangan Sunarna - Samiadji menang dengan 219.507 suara. Pilkada 2010, Sunarna - Sri Hartini menang dengan 397.106 suara.
Pilkada 2015, Sri Hartini (istri Haryanto) - Sri Mulyani (istri Sunarna) menang dengan 321.593 suara. Adapun Pilkada 2020, Sri Mulyani yang berpasangan dengan Yoga Hardaya menang dengan 378.418 suara.
(dil/ahr)