Meriam Unik di Museum Prabu Geusan Ulun Sudah Digunakan Sejak Abad ke-16

Meriam Unik di Museum Prabu Geusan Ulun Sudah Digunakan Sejak Abad ke-16

Nur Azis - detikJabar
Senin, 16 Okt 2023 09:01 WIB
Meriam koleksi di Museum Geusan Ulun Sumedang
Meriam koleksi Museum Prabu Geusan Ulun (Foto: Nur Azis/detikJabar).
Sumedang - Empat meriam kecil bermotifkan cukup unik terpampang di Museum Prabu Geusan Ulun, Kabupaten Sumedang. Dikatakan unik lantaran motifnya bernuansakan khas nusantara.

detikJabar mencoba menguak tentang model meriam tersebut. Dirangkum dari berbagai sumber, paling tidak ada tiga penamaan untuk model meriam kecil tersebut, yakni Lantaka (rentaka), Lela dan Cetbang.

Kesamaan dari ketiganya adalah model meriamnya yang kecil serta menyerupai senjata modern bernama bazooka atau alat peluncur roket anti tank. Panjangnya pun rata-rata tidak lebih dari 2 meter.

Di bagian bawahnya terdapat seperti dudukan yang berbentuk cukup runcing. Dudukan yang runcing itu seolah untuk memudahkan saat akan membidik musuh yang ada di kiri-kanan atau atas-bawah.

Namun tahukah detikers, meriam tersebut ternyata sudah dipergunakan oleh orang-orang pesisir Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina dari sejak masa pra kolonial atau pada abad 16.

Hal itu sebagaimana dikutip detikJabar dari situs marinersmuseum.org sebagaimana dilihat pada Minggu (15/10/2023), dalam salah satu fotonya dipaparkan bahwa Lantaka adalah senjata (meriam) putar kecil berbahan perunggu dengan lubangnya yang berukuran 2-3/8 inci. Di atas permukaannya dihias dengan sebuah ukiran.

Dalam keterangannya disebutkan bahwa Asia saat itu tidak diperhitungkan dalam hal pembuatan atau penggunaan meriam. Namun hal itu tidak berlaku untuk meriam kecil bernama Lantaka terutama di pulau atau wilayah pesisir Asia Tenggara yang dipergunakan untuk melawan para bajak laut.

Di sana juga disebutkan bahwa (Red : Ferdinand) Magellan menemukan meriam Lantaka di India pada tahun 1521. Sementara Belanda dan Portugis kebanyakan menemukan meriam Lantaka dari tangan orang Melayu. Adapun penggunaan terbesarnya adalah di Asia Tenggara khususnya di Malaysia, Filipina, dan Indonesia pada masa prakolonial.

Dilansir dari Jejak Peradaban Kerajaan Hindu Jawa 1042 - 1527 (Prasetya R : 2021 - 225), di sana diperlihat foto sebuah meriam kuno yang bentuknya mirip dengan meriam yang ada di Museum Prabu Geudan Ulun.

Di sana dijelaskan bahwa cetbang atau meriam kuno yang digunakan pada armada maritim Majapahit ukurannya bervariasi antara 1 hingga 3 meter.

Cetbang ditempatkan di kapal-kapal perang Majapahit yang bernama Jong Majapahit, khususnya Cetbang berukuran 3 meter.

Panglima angkatan laut Majapahit yang kerap menggunakan meriam Cetbang di atas armadanya adalah seorang mpu yang bernama Mpu Nala.

Ketenaran Mpu Nala ini konon dapat ditelaah dalam Prasasti Sekar, Prasasti Manah I Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana dan Kakawin Nagarakretagama yang menyebutnya sebagai Rakryan Tumenggung (panglima perang).

Sementara itu, Raden Lily Djamhur Soemawilaga yang merupakan keturanan Karaton Sumedanglarang mengungkapkan, meriam-meriam yang terdapat di Museum Prabu Geusan Ulun bernama Lantaka. Meriam tersebut merupakan hasil pemberian dari VoC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

"Meriam-meriam itu pemberian VoC yang diberikan kepada (kerajaan) Sumedang Larang, jadi pada saat itu belum masuk ke zaman pemerintahan Hindia Belanda," ungkap Lily.

Lily melanjutkan, meriam-meriam kecil tersebut diberikan VoC kepada Kerajaan Sumedang Larang untuk membantu saat menghadapi Kesultanan Banten beserta para koalisinya.

"Karena pada saat itu memang sedang terjadi konflik antara Sumedang Larang dengan Banten," terangnya.

Lily mengatakan, konflik antara Sumedang Larang dan Banten terjadi saat Sumedang Larang dipimpin oleh Pangeran Panembahan dengan ibu kotanya berada di Tegalkalong (kini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Talun, Kecamatan Sumedang Utara). Atau, sebelum pindah ke gedung Srimanganti.

"Nah pada saat ibu kota di Tegalkalong terjadilah konflik antara Sumedang dengan Banten maka pernah terjadi peristiwa berdarah di sekitar masjid Tegalkalong yang dipimpin oleh Cilikwidara sebagai pimpinan pasukan koalisi Banten dari Bali," paparnya.

"Jadi pasukan Cilikwidara pernah menguasai Sumedang Larang kurang lebih satu tahun lamanya namun pada akhirnya dapat direbutkan kembali oleh Pangeran Panembahan Sumedang. Lantaran peristiwa kelabu itu sangat membekas bagi Pangeran Panembahan maka ibu kota pun dipindah dari Tegalkalong ke Srimanganti," terangnya menambahkan.

Lily menambahkan, meriam-meriam kecil yang ada di meseum tidak ada kaitannya dengan keberadaan benteng-benteng Belanda yang ada di Sumedang.

"Kalau benteng kan pada saat itu belum ada, seperti benteng Gunung Kunci, itu kan tahun 1917," ujarnya. (mso/mso)



Hide Ads