Sekitar tahun 80-an, ada dua orang turis asing masing-masing bernama Endy asal Australia dan Rasty asal Selandia Baru yang mendatangi perkampungan di wilayah Desa Cimaja, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Oleh warga lokal mereka dikenal dengan sebutan 'Bule Beureum' atau Bule Merah.
Pada masa itu, di Cimaja olahraga papan selancar atau Surfing belum populer seperti saat ini. Endy dan Rasty lah yang kemudian memperkenalkan ke anak-anak lokal di sana. Selama di Cimaja, mereka tinggal di rumah warga bernama Cicin.
"Saat itu, masyarakat lokal yang belum begitu akrab dengan dunia Surfing atau selancar ombak mulai diperkenalkan oleh kedua orang asing tersebut. Selama di Cimaja, mereka tinggal di rumah warga bernama Ibu Cicin, orang tua saya," kata Rudi Arsyah (51), tokoh pemuda Cimaja kepada detikJabar, Jumat (19/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keduanya disebut 'Bule Beureum karena papan selancar mereka yang berwarna merah menyala. Setiap melintas di perkampungan dalam perjalanan ke Pantai Cimaja mereka kerap menenteng papan surfing merah tersebut. Saat itu, Rudi mengatakan listrik belum merata di perkampungan warga.
"Yang bisa berkomunikasi dengan orang asing itu hanya satu, namanya Lasmana dia jago Bahasa Inggrisnya dan dia biasanya kalau ada yang surfing itu suka lihat ke pantai. Nah ketemulah dia dengan Endy dan Rasty itu, saat itu kedatangan bule ke Cimaja belum seramai sekarang masih benar-benar hal yang asing," cerita Rudi.
Karena wisatawan asing belum seramai sekarang, tidak ada penginapan di Cimaja saat itu. Kedua bule itu kemudian diarahkan menginap di rumah warga, yakni rumah orang tua Rudi.
"Kedua bule itu kemudian dibawa Lasmana ke rumah saya ngineplah di rumah saya pada saat itu, sampai 1 bulan lamanya. Mereka mandi di luar rumah pakai gayung karena saat itu belum ada kamar mandi layak seperti sekarang. Maklum masa itu Bank saja belum ada mereka harus ke Sukabumi untuk menukar Dolar," lanjut Rudi.
![]() |
Sambil menjajal Pantai Cimaja yang kala itu masih perawan, kedua orang itu mulai memperkenalkan aktivitas Surfing kepada anak-anak setempat. "Setelah itu mereka pulang, nah mungkin di sana mereka bercerita ke teman-temannya komunitas selancar. Lambat laun, satu persatu bule datang mencari rumah saya, ada satu lagi yang mereka cari yakni Sari Raos," ucap Rudi.
Sari Raos adalah nama sebuah tempat makan sederhana yang dikelola oleh Ibu Cicih. Jejak rumah makan kegemaran bule di kala itu kini sudah berubah menjadi tempat penginapan bernama Daun-daun yang masih menjadi tempat menginap favorit bule yang berniat untuk bermain selancar di Pantai Cimaja.
"Kalau ibu saya kan BuCicih, kalau ini IbuCicih beliau kini sudah sepuh dan menjadi bagian dari sejarah perkembangan Surfing diCimaja. Bule terkesan dengan keramahan warga di sini termasuk BuCicih ini bahkan di beberapa majalah surfing dari beberapa negara. SariRaos BuCicih pernah ditulis oleh wartawan asing," ungkapRudi.
Sari Raos dikatakan Rudi masih ada dan berpindah tempat setelah berganti kepemilikan menjadi penginapan Daun-daun.
Kala itu interaksi antara bule dengan anak-anak lokal semakin intens, tidak jarang mereka memberikan papan selancar untuk anak-anak di Cimaja bermain surfing.
Dari awalnya hanya diberikan papan selancar patah yang kemudian diperbaiki oleh anak-anak setempat, sampai kemudian banyak anak-anak yang mendapat hadiah papan selancar utuh.
"Banyak orang bule tertarik dengan anak lokal di sni sampai ada yang diberikan papan selancar asli yang utuh. Awalnya mandi biasa akhirnya turun di Pantai Cumaja, mulai berani dan papannya bagus. Di tempat ini ada yang melegenda, ada namanya Boyke, Edin, Adi, Agus Isdu dan Diki mereka pelopor yang mempopulerkan yang kemudian diikuti anak-anak sini. Setelah itu di generasi berikutnya ada Dede Suryana yang kini sudah mendapat peringkat dunia karena menjuarai event Internasional," paparnya.
Sejak saat itu, Pantai Cimaja semakin mendunia sebagai spot dengan berbagai karakteristik ombak. Ombak Cimaja dikenal cocok untuk mereka penghobi kecepatan dan manuver, baik kelas pemula maupun profesional.
R Wahyu Cakraningrat, Kepala Desa Cimaja, Kecamatan Cikakak mengatakan sejak nama Cimaja mendunia jumlah kunjungan turis asing meningkat. Hotel satu persatu tumbuh, UMKM mulai pembuatan Fin atau bagian semacam sirip pada papan selancar bermunculan termasuk pembuatan papan selancar. Wahyu juga bagian dari sejarah kebesaran Cimaja.
"Angkatan saya itu, sejak dua orang bule itu aktif di sini. Kalau saya dulu pakai papan kasur, karena inginnya bisa bermain selancar, tahun 83-84 itu era kami bermain surfing. Saat ini berdampak sangat baik bagi tingkat kunjungan, bisa dibilang 100 persen bule di sini pasti surfing," kata Wahyu.
"Dari beberapa event lahirlah beberapa kunjungan dari warga luar, ini pun menumbuhkan UMKM. Itu salah satu keuntungan bagi para warga kita, antara lain terutama sebetulnya yang berkecimpung di dalamnya itu surfer-surfer juga jadi mereka yang diuntungkan seperti jadi guide kemudian termasuk cinderamata sperti baju, salah satunya fin surfing lalu seperti gantungan kunci," sambungnya.
Pemerintah desa kemudian membuat aturan demi meminimalisir hal negatif seiring masuknya para wisatawan tersebut. Budaya lokal terjaga dengan tetap menjaga nilai kepercayaan dari pengunjung.
"Kita kontrol, terutama bule atau turis itu terbiasa dengan pakaian pantai, terbiasa dengan kebiasaan dia di negaranya sendiri kami di sini mengarahkan mereka dengan kebiasaan dinsini misalkan mereka datang menginap kami siapkan kain sarung dan cetok, jadi bule keluar itu sudah tidak pakai bikini lagi, mereka memakai sarung dan mempergunakan cetok. Kalau memang sudah di pantai ya monggo, namun saat perjalanan ke pantai kan melewati perkampungan itu yang kita berikan pemahaman kepada mereka," ujar Wahyu.