Aksi pelecehan seksual terhadap perempuan kerap terjadi di stadion, salah satunya yang dirasakan diungkap Ketua Viking Girls Risna saat menyaksikan pertandingan Persib Bandung di Stadion GBLA Kota Bandung.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, semua berhak menikmati olahraga. Sebab olahraga idealnya bisa dinikmati semua orang dari berbagai kalangan dan umur.
"Nggak ada masalah dong, kalau memang nggak ada penjahat, seharusnya siapapun, baik anak-anak maupun orang tua, kan olahraga ini milik semua, olahraga tidak ada batasan umur, tidak ada batasan jenis kelamin, tidak ada batasan ekonomi dan semua berhak menikmati olahraga," kata Devie via sambungan telepon, Rabu (7/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Devie, menyaksikan pertandingan sepak bola adalah satu aktivitas universal dan sangat manusiawi. Namun ia mengingatkan agar sesama penonton harus saling menjaga.
"Jadi yang harus bertanggungjawab para penonton itu sendiri, kalau memang Anda mencintai olahraga ini sendiri siapapun juga bisa menikmati sebagai sesama pencintanya, pencinta bola dan lainnya," ungkapnya.
Menurutnya, penonton yang juga cinta terhadap sepak bola, harusnya memastikan kenyamanan dalam menonton dan saling menjaga dengan sesama penonton, baik laki-laki atau perempuan.
"Pelecehan tidak hanya dirasakan oleh perempuan saja, tapi bisa dirasakan oleh laki-laki," tuturnya.
Jika melihat aksi pelecehan di stadion, penonton harus saling memperhatikan agar aksi pelecehan tersebut dapat dicegah.
"Kita membela dan mendokumentasikan, kalau tidak bisa membela, siap mendokumentasikan dan melaporkan. Simpan nomor aparat, agar kalau kita melihat (aksi pelecehan), kita tidak mampu (mengatasi) atau keroyokan, maka laporkan kepada aparat," ujarnya.
Devie juga menjelaskan, pelecehan seksual itu tidak hanya terkait para wanita yang jadi korban di ruang publik, faktanya angka tertinggi justru di ruang privat. Cara pandang terhadap perempuan di mata para pelaku baik di level keluarga atau publik masih belum setara.
"Perempuan masih dianggap sebatas obyek saja sehingga siapapun boleh melakukan semena-mena terhadap perempuan dan bahkan mungkin bagi para pelakunya bukan bentuk pelecehan, tapi bentuk godaan atau perhatian, padahal itu sudah masuk ranah pelecehan," jelasnya.
"Pelecehan itu tidak hanya secara fisik saja, tapi cara memandang, sebutan atau lontaran lelucon yang merendahkan dan pemahaman hal ini yang rendah ini menimbulkan perempuannya banyak potensi gangguan, tapi banyak juga yang tidak melaporkan karena ada di sisi perempuan dan akhirnya terima hal tersebut. Inilah yang berbahaya, karena tadi data tertinggi menunjukan bukan di ruang publik tapi di ruang-ruang privat," pungkasnya.
(wip/orb)