Fenomena Gadis Jaga Angkringan di Jombang Rentan Eksploitasi Seksual

Fenomena Gadis Jaga Angkringan di Jombang Rentan Eksploitasi Seksual

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Kamis, 08 Mei 2025 13:55 WIB
Angkringan cantik di Jombang
Ilustrasi angkringan di Jombang (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Jombang -

Fenomena gadis cantik menjaga angkringan marak di Jombang setidaknya sejak 2022. Women's Crisis Center (WCC) Jombang menilai, para perempuan muda ini rentan menjadi korban eksploitasi seksual.

Mempekerjakan gadis muda merupakan strategi para pengusaha angkringan untuk menarik pelanggan. Terlebih lagi, gadis muda yang berparas cantik. Tak sedikit dari mereka yang rela bekerja sampai larut malam di jalanan Kota Santri.

"Walaupun Bupati Jombang sudah mengimbau jam buka angkringan maksimal jam 11 malam, faktanya sampai dini hari. Belum lagi di wilayah kecamatan lain. Sudah menjadi hal biasa bahwa pekerjanya anak-anak usia sekolah," terang Direktur WCC Jombang Ana Abdillah kepada detikJatim, Rabu (7/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena ini, lanjut Ana, sudah sepatutnya menjadi perhatian serius Pemkab Jombang. Terlebih lagi, apabila gadis-gadis cantik yang dipekerjakan di angkringan berusia di bawah umur atau tergolong anak. Mereka sangat rentan menjadi korban eksploitasi, baik dengan dijadikan pekerja maupun eksploitasi secara seksual.

"Ini isu pekerja anak, mereka tidak boleh dipekerjakan. Anak mempunyai hak rekreatif atau bermain. Mereka rentan berlapis terhadap semua bentuk eksploitasi anak," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Seperti gadis penjaga angkringan berusia 15 dan 17 tahun yang ia dampingi saat ini. Korban berusia 15 tahun asal Kecamatan Tembelang, Jombang diperkosa bergilir oleh 3 pria. Salah satu pelaku adalah pemilik angkringan tempat korban bekerja.

Sedangkan gadis berusia 17 tahun diperkosa pengunjung angkringan sampai hamil 8 bulan. Hingga kini, korban kesulitan mengidentifikasi pelakunya. Sehingga, kasus ini belum dilaporkan ke Polres Jombang.

"Kedua korban sama-sama dieksploitasi secara seksual. Ini fenomena pekerja anak dan fenomena eksploitasi seksual anak di lingkungan kerja informal," ungkapnya.

Kedua gadis penjaga angkringan ini, kata Ana, mempunyai kemiripan kondisi. Mereka sama-sama putus sekolah karena faktor perceraian orang tua dan kondisi ekonomi yang tergolong miskin. Sehingga mereka terpaksa bekerja untuk menyambung hidup.

Ana mengambil contoh korban asal Tembelang yang bekerja di angkringan dengan upah hanya Rp 700.000/bulan. Upah yang sangat kecil ditambah jam kerja yang tidak normal, bukti eksploitasi terhadap anak. Padahal, mereka sama-sama ingin melanjutkan sekolah.

"Jadi, bukan karena mereka gadis gampangan, tidak ada (persetubuhan) suka sama suka, mereka sangat trauma. Keduanya kami upayakan bisa melanjutkan sekolah," tandasnya.




(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads