Setiap pagi, ketika kita membuka pintu rumah dan mendapati koran tergeletak rapi di depan halaman. Yang berjasa mengantarkannya adalah mereka para loper koran yang bekerja sejak dini hari. Melintasi jalanan sepi, melewati gang-gang kecil, dan bahkan menantang cuaca. Jadi garda terdepan dalam mendistribusikan berita dari percetakan hingga ke tangan para pembaca.
Namun, di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih, profesi loper koran perlahan mulai tersisih. Keberadaan mereka kian tergerus seiring dengan beralihnya media cetak ke platform digital.
Kini, koran dalam bentuk fisik semakin berkurang, digantikan oleh berita daring yang lebih cepat diakses lewat ponsel. Loper koran yang dulunya menjadi wajah familiar di pagi hari di hampir setiap sudut kota kini sudah jarang ditemui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah pekerjaan yang dulunya sangat penting dalam menyebarkan informasi kini bertransformasi dan bahkan terancam punah. Tetapi, pernahkah terlintas di benak Anda, dari mana asal kata "loper" yang akrab digunakan di Indonesia ini? Apakah kata "loper" benar-benar asli bahasa Indonesia, atau justru berasal dari bahasa asing?
Kata Loper Bukan dari Bahasa Indonesia, Melainkan dari Belanda
Meskipun kata "loper" sudah begitu umum kita dengar, ternyata kata ini bukanlah asli dari bahasa Indonesia, melainkan serapan dari bahasa Belanda. Sejarah panjang penjajahan Belanda di Indonesia selama lebih dari tiga setengah abad tidak hanya meninggalkan jejak di bidang politik dan ekonomi, tetapi juga mempengaruhi kosakata sehari-hari kita. Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya diadaptasi dari bahasa Belanda, dan salah satunya adalah "loper".
Dalam bahasa Belanda, istilah asli untuk loper koran adalah "krantenloper". Kata ini terbentuk dari dua bagian: "krant" yang berarti koran, dan "loper" yang diambil dari kata kerja "loopt" yang berarti berjalan. Jadi, "krantenloper" secara harfiah bermakna "orang yang berjalan untuk mengantar koran." Makna ini sangat sesuai dengan pekerjaan seorang loper yang memang tugas utamanya adalah mengantarkan koran dari satu tempat ke tempat lainnya, terkadang harus berjalan kaki melewati gang-gang sempit yang tidak bisa diakses oleh kendaraan.
Seiring waktu, istilah ini diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi "loper koran". Meskipun di masa sekarang pekerjaan loper sering kali dilakukan dengan sepeda motor untuk mengejar kecepatan distribusi, makna aslinya tetap melekat, yaitu sebagai seseorang yang bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menyampaikan kabar. Kata "loper" mencerminkan sifat profesi ini yang menuntut ketekunan, mobilitas tinggi, dan seringkali harus berpacu dengan waktu.
Perkembangan Loper di Indonesia
Di Indonesia, profesi loper koran mulai populer sejak awal abad ke-20, ketika surat kabar mulai berkembang pesat dan masyarakat kota mulai terbiasa mengonsumsi berita dalam bentuk cetak. Di masa itu, loper koran tidak hanya menjadi pengantar, tetapi juga menjadi perwakilan penerbit yang berinteraksi langsung dengan pelanggan. Setiap pagi, mereka berkeliling, mengetuk satu demi satu pintu rumah, atau berdiri di sudut-sudut jalan yang ramai untuk menjajakan koran terbaru.
Pekerjaan ini bukan hanya milik orang dewasa. Banyak anak muda yang mengambil kesempatan menjadi loper koran untuk mencari uang tambahan bagi keluarga. Mereka mengawali hari lebih awal, bangun di saat orang lain masih terlelap, dan berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tumpukan koran di lengan mereka. Di era 1970-an hingga 1990-an, loper koran menjadi pemandangan yang sangat biasa, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Namun, memasuki abad ke-21, nasib loper koran berubah drastis. Dengan kehadiran internet dan perangkat digital, preferensi masyarakat beralih dari membaca koran fisik menjadi mengonsumsi berita secara online. Perlahan, langganan koran cetak menurun, dan jumlah loper koran pun ikut berkurang. Banyak loper yang akhirnya beralih profesi karena menurunnya permintaan dan berkurangnya penghasilan. Di beberapa kota, mereka yang masih bertahan bahkan harus mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan harian.
Meskipun peran mereka semakin terkikis, kita tidak boleh melupakan jasa para loper yang pernah menjadi tulang punggung penyebaran informasi. Menghargai loper koran bukan hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga memahami betapa berat dan pentingnya pekerjaan mereka. Banyak dari kita yang mungkin masih ingat saat kecil menunggu loper datang di pagi hari, atau mendengar teriakan mereka menawarkan koran sore di persimpangan jalan.
Untuk menghargai pekerjaan ini, kita bisa mulai dari mengenal lebih dalam sejarahnya dan berbagi cerita tentang bagaimana loper koran pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, berlangganan koran cetak atau membeli edisi fisik sesekali bisa menjadi cara sederhana untuk tetap mendukung keberadaan mereka yang masih bertahan di tengah arus digitalisasi. Karena pada akhirnya, mereka bukan hanya pengantar berita, tetapi juga saksi bisu dari perubahan zaman yang begitu cepat.
Meskipun profesi ini mungkin tak akan sepopuler dulu lagi, kisah loper koran akan tetap hidup sebagai simbol kerja keras dan semangat pantang menyerah. Kata "loper" yang diambil dari bahasa Belanda mungkin terdengar sederhana, tetapi maknanya jauh lebih dalam: seorang yang berjalan, bergerak, menyampaikan kabar-apapun caranya. Di era digital sekalipun, semangat ini tetap relevan.
(tya/tey)