Ragam Reaksi Usai Kelakuan Bejat Dokter Priguna Terbongkar

Round-Up

Ragam Reaksi Usai Kelakuan Bejat Dokter Priguna Terbongkar

Tim detikJabar - detikJabar
Jumat, 11 Apr 2025 08:30 WIB
Ekspos kasus pelecehan seksual oleh residen anestesi.
Priguna Anugerah, pemerkosa anak pasien RSHS Bandung. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Konsekuensi kini harus ditanggung Priguna Anugerah (31). Selain sudah jadi tersangka, Dokter Residen Anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) itu juga bakal kehilangan pekerjaan selama-lamanya karena kelakuan bejatnya yang kini sedang jadi sorotan dimana-mana.

Bagaimana tidak, sebagai dokter, Priguna malah melakukan pelecehan dengan memperkosa anak dari pasien di Gedung Lantai 7 MCHC RSHS pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB. Dia saat itu meminta korban melepas pakaiannya dan menggantinya dengan baju operasi warna hijau, setelah itu memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban kurang lebih 15 kali dan menghubungkan selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke selang hingga membuat korban tak sadarkan diri.

Setelah kasus itu ramai menjadi pemberitaan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) turut memberikan pernyatannya. IDI memastikan bakal memecat Priguna karena dianggap telah melakukan pelanggaran berat terkait kode etik kedokteran.

Dalam keterangannya, Ketua IDI Jawa Barat Moh Luthfi menyatakan langsung bahwa Priguna bisa terancam sanksi pemecatan atas perbuatan kriminalnya. Priguna sendiri merupakan dokter umum yang sedang melanjutkan pendidikan spesialis di RSHS Bandung.

"Ini kan terkait profesi yang antara yang bersangkutan dengan pidana. Masalahnya ini bukan hanya pidananya saja, tapi juga terkait etika kedokteran, itu yang lebih berat. Jadi kami sekarang sedang melakukan pembahasan di majelis etik kedokteran untuk menentukan langkah-langkah yang perlu diambil," kata Luthfi saat dikonfirmasi detikJabar, Kamis (10/4/2025).

"Di IDI itu ada sanksi etik yang terkait dengan profesi dokter, yang paling berat adalah pencabutan keanggotaan secara permanen," sambungnya.

Meski di bawah bayang-bayang sanksi pemecatan, tapi keputusan itu perlu menunggu terlebih dahulu hasil penyelidikan di kepolisian. Setelah status hukumnya jelas, maka IDI bisa menjatuhkan sanksi itu kepada Priguna.

Selain pemecatan, Luthfi juga menyebut Priguna terancam sanksi berupa pencabutan sumpah dokter. Hanya saja, pencabutan sumpah itu harus dilakukan oleh fakultas kedokteran yang bersangkutan yakni FK Unpad.

"Sumpah dokter itu diambilnya oleh fakultas kedokteran. Mungkin nanti kita perlu sampaikan lebih lanjut status dari organisasi profesinya seperti apa, nanti dari fakultas kedokteran yang bersangkutan bagiamana tindaklanjutnya," terangnya.

"Kalau sumpahnya dicabut itu baru yang bersangkutan tidak bisa melakukan praktik kedokteran," tutup Luthfi.

Sorotan juga disampaikan Kementerian Hak Asasi Manusia Jabar. Kemenham menilai tindakan tersebut bukan hanya melanggar etika profesi, tetapi juga berpotensi menjadi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak pasien untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman selama menjalani pengobatan di rumah sakit.

"Dalam peristiwa tersebut termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia bagi masyarakat dan keluarganya yang menjalani pengobatan di rumah sakit khususnya di RSHS Bandung," ucap Kepala Kanwil Kemenham Jawa Barat Hasbullah Fudail dalam keterangannya.

Menurut Hasbullah, Kanwil Kemenham Jabar akan melakukan sejumlah langkah seperti memintai keterangan dan informasi atas permasalahan tersebut kepada pihak RSHS Bandung, Universitas Padjajaran hingga kepolisian. Penggalian informasi pun bakal dilakukan kepada pihak korban supaya informasi yang didapatkan terang benderang.

"Hal tersebut sebagai bagian dari kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat," ujarnya.

Di sisi lain, Unpad juga turut bukan suara atas kasus Priguna. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unpad Prof. Zahrotul Rusyda Hinduan memastikan Unpad telah melakukan evaluasi bersama dengan masing-masing prodi, termasuk evaluasi yang melibatkan langsung dengan para Dokter Residen.

"Jadi masing-masing prodi untuk melakukan evaluasi begitu terkait dengan proses pembelajaran di masing-masing bagian. Kami mengharapkan bahwa dari sana kita bisa mengetahui hal-hal apa yang harus kami benahi, dan juga sudah dijadwalkan fakultas untuk bisa berdialog dengan para residen," ujar Zahrotul kepada detikJabar.

Untuk mengatasi persoalan PPDS, Unpad mengaku memiliki cara tersendiri agar proses PPDS tetap berlangsung. Salah satunya memindahkan mahasiswa yang tengah melakukan proses PPDS ke rumah sakit milik Unpad.

"Jadi kami sekarang dalam tahap untuk rumah sakit jejaring mana yang bisa kita tambahkan, tapi allhamdulilah kami di sini juga ada rumah sakit Unpad, jadi mungkin ada juga yang dipindahkan ke rumah sakit Unpad agar mereka bisa melaksanakan proses pendidikan di rumah sakit," ucapnya.

Bahkan, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi turut memberi sorotan ata kasus ini. Dedi menilai apa yang terjadi menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kedokteran dan meminta rekrutmen mahasiswa Fakultas Kedokteran dievaluasi total.

"Pertama, ini bahan evaluasi. Bagaimana sebuah lembaga pendidikan mengelola, dokter itu kan orang yang sangat dipercaya," kata Dedi di Kota Sukabumi.

Menurut Dedi, dokter memegang peran sentral dalam menjaga keselamatan manusia. Pasien memberikan kepercayaan penuh saat menjalani pemeriksaan hingga operasi. Karena itu, dokter harus dipastikan punya integritas dan kondisi mental yang sehat.

"Orang percaya dia mendiagnosa, memberikan obat, buka bajunya untuk diperiksa, sampai telanjang untuk dioperasi. Ini pekerjaan yang butuh kepercayaan penuh," tegasnya.

Dedi mengatakan, jika ada dokter yang justru memiliki hasrat biologis saat praktik, maka hal itu harus menjadi alarm keras dalam proses seleksi masuk Fakultas Kedokteran.

"Kalau sekarang muncul dokter punya hasrat biologis ketika praktik, berarti harus dievaluasi rekrutmennya. Tingkat seleksinya harus diperketat. Nggak boleh orang-orang lolos tes psikologi kalau dia punya kelainan seksual atau gangguan mental," ujarnya.

Menurutnya, kasus seperti ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis. Ia khawatir masyarakat akan takut untuk berobat karena takut menjadi korban.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagaimana nanti kalau semua orang takut dirawat di rumah sakit? Yang nungguin juga takut. Ini bahaya. Dulu kalau di rumah sakit takut aya jurigan (ada hantu) kok hari ini dokternya seperti jurig. Nggak juga ya, jurig nggak pernah merkosa," pungkasnya.

(ral/orb)


Hide Ads