Negara alami kerugian hingga Rp 1 triliun akibat aktivitas pertambangan ilegal yang beroperasi selama 14 tahun tahun ini.
Berikut 6 fakta dalam kejadian ini:
Akses Menuju Tambang Emas Ilegal
Dari informasi yang diterima detikJabar, untuk menuju akses penambangan tersebut harus melewati jalan setapak yang curam. Dengan jarak kurang lebih dua kilometer dan bisa ditempuh dengan waktu 45 menit jika berjalan kaki.
Tambang emas tersebut memiliki dua galian lubang secara mendatar menembus lereng Gunung Pasir Menyan dengan kedalaman 15 hingga 20 meter. Sehingga nampak lokasi tambang tersebut seperti gua kecil.
Para pekerja melakukan penambangan menggunakan alat seadanya. Lereng dipahat menggunakan alat pahat dan palu. Kemudian material batu atau pasir berbahan emas tersebut diangkut menggunakan trek lintasan berbahan kayu.
Setelah berada di area luar lokasi penambangan, material batu atau pasir berbahan emas tersebut diangkut menggunakan karung ke lokasi pengolahan yang jauh berada di kaki gunung dan dekat pemukiman warga. Tempat pengolahan emas tersebut biasa disebut dengan Glundung.
Diproses dengan Merkuri
Untuk menjadi emas siap jual, pekerja harus melakukan pengolahan emas di mana material batu yang dicampurkan dengan bahan kimia berupa merkuri. Kemudian material batu tersebut langsung memisahkan antara emas dan limbah.
Setelah itu limbah berupa sludge bercampur air dialirkan ke saluran air sekitar. Selesai proses pengolahan selesai, serbuk emas dilakukan pembakaran dengan menggunakan pembakaran sampai menghasilkan biji atau lempengan emas.
Selanjutnya penambang dan pengolah bahan emas, menjual emas tersebut kepada bandar dan oleh bandar dilakukan pengolahan, pemurnian, penimbangan dan penjualan kembali ke bandar berikutnya.
7 Orang Jadi Tersangka
Dalam kasus ini, Satreskirm Polresta Bandung menetapkan tujuh orang tersangka inisial K (53), IH alias D (55), UU (39), AS (33), IS alias H (48), M alias R (53), TG alias K (51). Dri tujuh tersangka ini, tiga di antaranya berperan sebagai bandar.
Kapolresta Bandung Kombes Aldi Subartono mengatakan, usaha tambang tersebut telah berlangsung sejak tahun 2010 silam. Menurut Aldi, penambangan ilegal tersebut bisa menghasilkan pendapatan yang luar biasa.
"Sementara kita mendapat informasi dan data bahwa rata-rata pendapatan itu per hari Rp 200 juta, kalau dikali sebulan lebih kurang Rp 6 miliar, setahun Rp 72 miliar. Nah ini sudah 10 tahun lebih jadi kerugian atau kerugian negara ini lebih kurang hampir Rp 1 triliun," ujar Aldi kepada awak media kemarin, Senin (20/1).
Emas Hingga Uang Diamankan
Dalam kasus ini, Satreskrim Polresta Bandung turut mengamankan barang bukti berupa emas seberat 403,24 gram, uang tunai Rp 143 juta dan mesin produksi emas.
"Barang bukti emas seberat 403,24 gram telah diamankan," ujar Aldi.
![]() |
Peran 7 Tersangka
Dalam menjalankan akinya, 7 tersangka ini memiliki peran berbeda, ada yang sebagai penambang, ada juga yang menjadi bandar.
"Kami mengamankan 7 orang terkait tindakan pertambangan ilegal ini. Dimana 3 sebagai bandar, kemudian 4 sebagai penambang," jelasnya.
Aldi menegaskan para pelaku merupakan masyarakat liar yang tak memiliki izin penambangan.
"Modusnya yaitu masyarakat ini liar ya karena memang tidak ada izinnya. Ini mengambil tanah di hutan yang terdapat sedimen emas yang telah nanti dipisah, dia olah dengan bahan kimia," katanya.
Setelah itu para penambang tersebut menjual hasil emasnya ke para pengepul dan dijual langsung ke bandar. Setelah itu para penambang dan bandarnya langsung diamankan polisi.
"Kemudian para penambang ini menjual ke pengepul, disini ada beberapa pengepul di lokasi ini yang juga sudah kita lakukan police line. Kemudian pengepul ini menjual ke bandar," jelasnya.
Diancam 5 Tahun Penjara
Atas perbuatannya, tujuh tersangka disangkakan pasal 158 junto pasal 35 158 dan atau pasal 161 junto pasal 35 ayat 3 huruf C dan huruf G pasal 104 atau pasal 105 undang-undang RI nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 tentang cepat kerja menjadi Undang-Undang.
"Dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar," pungkasnya. (yum/yum)