Peringatan (trigger warning): Artikel ini mengandung konten eksplisit tentang perundungan ekstrem yang dapat memicu kondisi emosi dan mental pembaca. Kami menyarankan Anda tidak meneruskan membacanya jika mengalami kecemasan dan meminta bantuan profesional.
Kasus bullying terhadap bocah 11 tahun di Tasikmalaya yang dipaksa menyetubuhi kucing hingga mengakibatkan korban meninggal dunia terus mendapat sorotan.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Pemprov Jabar dan Polda Jabar turun tangan untuk mengusut kasus ini.
Berikut fakta-faktan terbarunya:
1. Pelaku Berjumlah 3 Orang
Ketua P2TP2A Kabupaten Tasikmalaya An'an Yuliati menyebut anak yang terkait kasus dugaan perundungan hanya tiga orang saja. Selama ini beredar empat orang anak, tetapi yang seorang lagi tidak mengetahui pasti kejadian karena terlambat datang ke lokasi.
"Hanya tiga orang yang kami dampingi, karena yang satu itu tidak tahu. Dia memang ke lokasi, tapi telat, jadi hanya mendengar ceritanya dari tiga temanya itu. Ketiganya dalam kondisi mulai membaik," kata An'an.
Memang kata dia, awal kejadian ketiga terduga pelaku itu mengalami syok dan ketakutan. Maka saat itu P2TP2A langsung bergerak dan mengamankan pelaku.
2. Pendampingan Terduga Pelaku
Pasca kasus ini mencuat, P2TP2A Kabupaten Tasikmalaya melakukan pendampingan terhadap terduga Pelaku. Anak-anak ini ditempatkan di rumah aman anak untuk mendapat pemulihan psikologis.
"Jadi ada tiga anak yang kami dampingi. Ditempatkan di rumah aman. Malahan sama keluarganya juga kami beri pendampingan soal pola asuh anak yang benar," kata An'an Yuliati.
3. Korban Tidak Dipaksa
Fakta baru terungkap dari hasil penelusuran kepada terduga pelaku, P2TP2A mengambil kesimpulan awal. Dugaan kasus perundungan ini tidak 100 persen kesalahan anak-anak.
Akan tetapi kasus ini terjadi juga karena pola asuh yang kurang dari orang tua. Salah satunya penggunaan media sosial yang tidak diawasi.
P2TP2A melihat, kejadian ini bukanlah 100 persen perundungan atau bullying, Sebab korban saat melakukan itu tidak dalam paksaan. Namun itu baru dari sudut pandang ketiga terduga pelaku.
"Bukan persoalan perundungan kalau keterangan anak. Soalnya tidak ada paksaan waktu itu. Tapi kami tetap menyatakan itu perbuatan yang salah," ucap An'an Yuliati.
Pengakuan ketiga terduga pelaku itu sejauh ini belum bisa dipastikan kebenarannya. Sebab, korban sudah tidak bisa dikonfirmasi karena sudah meninggal. Sehingga, pembuktiannya akan sulit dilakukan.
"Kami belum bisa memastikanya karena korbanya kan tidak bisa dikonfirmasi, sudah wafat. Sehingga fakta kebenaranya tidak bisa dibuktikan," kata dia.
Sementara untuk memperjelas kronologi peristiwa itu, pihaknya akan berkosultasi terlebih dulu dengan pihak terkait. Yang jelas, P2TP2A terus melakukan pendampingna kepada terduga pelaku.
"Itu akan kita konsultasikan terlebih dahulu untuk penjelasan itu," pungkas An'an.
(bba/mso)