Fenomena tenaga pendidik melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya belakangan marak terjadi. Setelah kasus Herry Wirawan, kini muncul lagi kasus yang hampir serupa di Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Pakar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Agustinus Pohan punya pandangan soal tindakan yang dilakukan oknum pendidik ini. Dia menilai, para tenaga pendidik, tak hanya ustaz, nekat melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya lantaran merasa punya power.
"Ini penyalahgunaan kewibawaan, penyalahgunaan kedudukan seorang yang dengan kedudukannya, guru pendidik ini dengan mudah mempengaruhi anak didiknya sehingga kan karena anak didiknya percaya, dia guru, percaya orang ini akan memberikan perlindungan. Percaya orang ini tidak akan melakukan sesuatu yang tidak akan merugikan dirinya. Percaya bahwa orang ini selalu akan memberi kebaikan," ujar Agustinus saat berbincang dengan detikJabar via sambungan telepon, Rabu (20/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah kepercayaan ini yang kemudian membuat anak-anak menjadi lengah dan dimanfaatkan oleh beberapa oknum pendidik. Itu saya kira yang menyebabkan di kalangan pendidik banyak terjadi, penyalahgunaan itu kaitan dengan kejahatan seksual," sambungnya.
Dia menuturkan, adanya power tersebut membuat para pelaku tak segan melakukan tindakan bejatnya itu. Sebab, dia meyakini para korban ada di bawah kendalinya.
"Dia meyakini bahwa korbannya itu berada di dalam kekuasaannya. Dia meyakini bahwa korbannya tidak akan melapor, karena dia meyakini korbannya itu segan sama dia, takut sama dia, tidak akan melaporkan, sehingga dia berani. Kan anak ini nurut sama guru, karena pelajaran di rumahnya diajarin orang tua harus nurut sama guru," katanya.
Belakangan beberapa kasus pemerkosaan oleh oknum pendidik divonis hakim dengan hukuman maksimal. Menurut Agustinus, vonis berat sedikitnya berpengaruh. Akan tetapi, tindak pidana kekerasan seksual ini sifatnya ekpresif.
"Sebetulnya sanksi tentu sanksi berat sedikit banyak ada pengaruh sekalipun ini adalah kejahatan yang sifatnya ekpresif. Kejahatan seksual ini kejahatan sifatnya ekpresif biasanya tidak rasional. Orang nafsu tidak rasional. Ketika melakukan ada nafsu. Kejahatan ekpresif seringkali tidak cukup dipengaruhi sanksi. Namanya orang marah, nafsu, mau dihukum mati, gimana nanti," jelasnya.
Menurut Agustinus, salah satu solusi yang bisa diambil untuk mencegah terjadinya kekerasan ialah dengan proses seleksi tenaga pendidik. Negara, sambung dia, punya pekerjaan rumah untuk menyeleksi ketat calon tenaga pendidik.
"Jadi harusnya rekrutmennya bagaimana menyeleksi agar orang-orang yang punya naluri seksual seperti itu, tidak diterima atau diberi kesempatan menjadi pendidik. Barangkali ini bisa jadi bahan evaluasi persoalan rekrutmen itu. Atau soal pemberian izin menjadi pendidik," tuturnya.
"Sehingga pelajaran di rumah harus nurut sama guru enggak usah diubah. Kalau diubah juga bahaya, celaka dunia pendidikan. Petuah nurut sama guru tetap, tinggal kita menyeleksi siapa yang bisa jadi guru," pungkasnya.
(dir/ors)