Perang belum berakhir di Tanah Air setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Di antara pekik perjuangan dan deru mesiu, Belanda menuding tentara Republik menggunakan peluru dum-dum amunisi yang dirancang untuk mengembang saat menembus tubuh lawan, menyebabkan luka yang lebih fatal.
Tuduhan ini muncul dalam laporan yang diterbitkan Het Dagblad dan kantor berita Aneta pada 19-20 September 1947, menggambarkan bagaimana situasi medan perang terus berkobar di berbagai wilayah, terutama di Sukabumi dan Jawa Barat.
Dikutip dari dua media berbahasa Belanda yang diterjemahkan oleh detikJabar di sekitar Wijnkoopsbaai (sekarang wilayah Teluk Palabuhanratu), dekat Sukabumi, pasukan Belanda mengklaim berhasil mengusir kelompok bersenjata yang mereka sebut sebagai "benda" atau gerilyawan Republik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa seorang perwira Jepang yang bertempur di pihak Republik tewas dalam bentrokan di Tjibeber. Sementara itu, di Tjibatoe, pasukan Republik kembali menyerang posisi Belanda menggunakan mortir.
Salah satu insiden yang paling disoroti adalah pertempuran di Djatibarang, sekitar 15 km di timur bivak Belanda. Dalam pertempuran itu, pasukan Republik dituduh menggunakan peluru dum-dum, jenis amunisi yang memiliki ujung tumpul atau berongga, yang menyebabkan luka yang lebih besar dan fatal saat menembus tubuh.
Penggunaan peluru ini telah dilarang dalam Konvensi Den Haag 1899 karena efek brutalnya, yang dapat menyebabkan pendarahan hebat dan luka yang sulit diobati. Namun, tidak ada laporan independen yang mengonfirmasi klaim tersebut, dan dalam banyak konflik, tuduhan penggunaan senjata yang dilarang sering kali menjadi bagian dari perang psikologis untuk mendiskreditkan lawan.
Penggunaan peluru ini telah dilarang oleh Konvensi Den Haag 1899 karena dianggap tidak manusiawi. Namun, tidak ada laporan independen yang mengonfirmasi klaim tersebut.
Selain di Sukabumi dan sekitarnya, bentrokan juga terjadi di berbagai wilayah lainnya. Di Priangan, pasukan Belanda melancarkan zuiveringsacties atau operasi pembersihan terhadap kelompok Republik di sekitar Tjiamis dan Soemedang. Di Jawa Timur, patroli Belanda menghadapi perlawanan dari penembak jitu Republik di sektor Malang dan Bondowoso.
Di Sumatera Utara, pasukan Belanda melaporkan bahwa mereka telah membebaskan 117 warga Tionghoa yang sebelumnya diculik di Tandjong Keliling, sekitar 20 km barat daya Bindjai. Selain itu, pasukan Belanda mengklaim berhasil mengusir kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai "teroris" dari wilayah Bindjai dan selatan Kabandjahe. Di Sumatera Selatan, operasi militer juga berlangsung di daerah Lahat dan Moeara Enim, di mana kelompok pejuang Republik dikabarkan dipukul mundur.
Di Bali, laporan dari Den Pasar menyatakan bahwa jam malam tidak diberlakukan di seluruh pulau, melainkan hanya di Boeleleng di luar kota, dan akan berlaku mulai 24 September 1947.
Laporan resmi yang dirilis kala itu menyebutkan bahwa pasukan Belanda mengalami kerugian 5 tentara tewas dan 23 lainnya terluka akibat berbagai insiden pertempuran.
Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas perjuangan kemerdekaan Indonesia di berbagai medan pertempuran. Sementara Belanda melaporkan keberhasilan dalam operasi militer mereka, pasukan Republik terus berjuang mempertahankan wilayah dan kedaulatan yang telah diproklamasikan dua tahun sebelumnya.
(sya/yum)