Tepat di tepi sungai Cipager, Kampung Wanantara, Desa Kubang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, terdapat sebuah masjid kuno yang sudah berusia ratusan tahun.
Bukan hanya usianya yang sudah tua, tapi masjid tersebut juga memiliki keunikannya tersendiri. Nama masjid tersebut adalah Masjid Wanantara atau bisa dikenal juga dengan julukan Masjid Bawah Tanah.
Julukan Masjid Bawah Tanah, karena masjid tersebut memiliki ruangan bawah tanah mirip gua yang lokasinya di bagian bawah masjid. Untuk sampai ke ruang bawah tanah, pengunjung harus melewati beberapa anak tangga terlebih dahulu. Di dalam ruang bawah tanah tersebut, terlihat sebuah bunker mirip terowongan dengan panjang sekitar 7 meter dan tinggi 180 sentimeter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun tidak memiliki lubang ventilasi, namun, suasana di dalam terowongan bawah tanah terasa sejuk dan adem. Biasanya, ruang bawah tanah tersebut digunakan oleh para pengunjung untuk beribadah dan bertafakur. Selain suasananya yang menyejukkan, terowongan bawah tanah masjid Wanantara juga memiliki cerita yang menarik untuk diulas lebih jauh.
Ustaz sekaligus pengurus Masjid Wanantara Agus Ahmad memaparkan, dulu ruangan bawah tanah tersebut memiliki area yang cukup luas, yang tersebar di beberapa bagian masjid. Selain sebagai tempat untuk beribadah, terowongan bawah tanah tersebut dulu juga digunakan sebagai bunker tempat persembunyian para pejuang dari kejaran penjajah.
"Di bawahnya masjid lama itu ada lorong-lorong tapi sekarang sudah jadi aula. Dulu digunakan untuk bunker tempat persembunyian para pejuang dari kejaran Belanda. Di sebelah utara masjid juga ada bunker, cuman sudah ditutup, tapi pas tahun 90-an, anak-anak masih bisa masuk, masih bisa untuk wirid, puasa, dan tempat persembunyian, " tutur Agus.
Masjid Wanantara sendiri dibangun oleh Ki Buyut Syamsuri dan Mbah Abdul Jalil sekitar tahun 1880-an. Fondasi bangunan masjid itu didapatkan langsung dari bebatuan yang ada di sungai Cipager. Sebelum direnovasi secara besar-besaran sekitar tahun 1990-an. Masjid Wanantara memiliki 8 delapan tiang kecil yang ada di bagian teras, dengan 7 pintu masuk yang melambangkan 7 hari, di tengah serambi ada 4 tiang yang memiliki makna 4 sahabat, dan juga memiliki 9 pintu masuk di ruangan utama, dan di bagian ruang utama juga terdapat 2 tiang yang melambangkan 2 kalimat syahadat.
"Sekarang sudah berubah semua, banyak yang nggak ada, pintunya tinggal 6. Kesannya sih ini meniru Masjid Syekh Abdul Qadir Al Jailani, mulai dirombak itu tahun 1997," tutur Agus.
Pada tahun 2025, karena adanya banjir besar di Sungai Cipager membuat bagian serambi masjid yang menghadap langsung ke sungai ditutup sementara. Karena dikhawatirkan akan terjadi longsor. "Takutnya tanahnya tidak kuat menahan, untuk sementara ditutup dulu sampai nanti dibangun fondasi lagi," tutur Agus.
![]() |
Asal Usul Kampung Wanantara
Agus juga memaparkan, jauh sebelum adanya Masjid Wanantara, Kampung Wanantara merupakan sebuah premukiman yang didirikan oleh Syekh Musa Maharesi Siddiq. Menurutnya, Syekh Musa merupakan teman dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
Kala itu, Syekh Musa datang dari wilayah Mataram Kuno. Karena sikap dan ketinggian ilmunya, membuat masyarakat Hindu yang ada di Mataram menjuluki Syekh Musa sebagai Maharesi. Namun, semenjak adanya konflik di Mataram, membuat Syekh Musa pindah ke Cirebon.
"Mbah Musa ini aslinya orang Islam yang asalnya dari Arab, datang ke Jawa yang pada saat itu masih agama Hindu dan membaurlah Mbah Musa dengan masyarakat Hindu, karena orangnya arif, bijak dan bisa menyelesaikan masalah akhirnya beliau dapat gelar Maharesi," tutur Agus.
Nama Wanantara sendiri berasal dari kata Wana yang berarti Alas dan Tara yang berasal dari kata Belantara, seperti namanya, konon, sebelum menjadi permukiman seperti sekarang, Wanantara merupakan daerah hutan belantara yang angker.
Salah satu mitos yang tersebar adalah adanya sebuah naga di Sungai Cipager yang mengelilingi daerah Wanantara. Namun, semenjak adanya Syekh Musa yang datang, pasukan jin dan dedemit tersebut bisa ditaklukkan.
"Nah di sini, katanya dulu wilayah angker karena dikelilingi oleh sungai besar dan bukit. Di Sungai Cipager juga bangsa gaib seperti itunya kan banyak. Nah Mbah Musa di sini, tirakat, akhirnya tanah Wanantara ini bisa dikuasai," tutur Agus.
Sebelum membuka permukiman, Syekh Musa berpuasa terlebih dahulu selama 9 tahun. Menurut Agus, puasa 9 tahun Syekh Musa memiliki beberapa makna, yakni 3 tahun pertama puasa untuk Syekh Musa sendiri, 3 tahun kedua untuk orang yang datang ke Wanantara dan puasa 3 tahun terakhir untuk anak cucu Syekh Musa.
"Puasa 9 tahun, 3 tahun pertama untuk berkah dan hikmah untuk dirinya, 3 tahun kedua untuk orang yang datang bersilaturahmi, mondok ke sini, dan 3 tahun lagi untuk anak cucunya. Makanya kalau setiap Kliwon atau Maulid di sini ramai orang pada datang," tutur Agus.
Menurut Agus, Syekh Musa juga yang menjadi pencetus adanya Masjid Wanantara, namun, saat itu bentuknya hanya berupa bangunan kayu sederhana. Baru, beberapa abad kemudian dilanjutkan oleh anak cucunya, yakni Ki Buyut Syamsuri dan Mbah Abdul Jalil.
"Cikal bakal masjidnya mah itu ada di sebelah utara, tapi masih menggunakan bangunan kayu, tapi zamannya Syekh Musa yang jadi buyutnya Mbah Syamsuri dan Mbah Abdul Jalil," tutur Agus.
Untuk mengabadikan sosok Syekh Musa, nama lain Masjid Wanantara adalah Masjid Mbah Musa Maharesi Shiddiq, tak hanya masjid, nama Syekh Musa juga digunakan untuk nama pondok pesantren yang lokasinya tepat di area Masjid Wanantara, yakni Pondok Pesantren Maharesi Siddiq Wanantara. Untuk lokasi makam Syekh Musa tidak jauh dari area Masjid Wanantara.
(sud/sud)