Nasib ratusan siswa SMA di Jawa Barat kini di ujung tanduk. Mereka terancam tak bisa mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2025 bukan karena kurangnya nilai atau prestasi, melainkan akibat kelalaian administrasi di tingkat sekolah.
Persoalan ini bermula dari keterlambatan finalisasi Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), syarat utama agar siswa dapat mengikuti SNBP. Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat menyoroti penyebab utama keterlambatan ini yaitu kelalaian sekolah dalam menyelesaikan finalisasi PDSS tepat waktu.
Kepala Bidang SMA Disdik Jabar, Awan Suparwana, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi ini. Baginya, permasalahan ini tidak perlu terjadi jika sekolah menjalankan tanggung jawabnya lebih awal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ada faktor kelalaian, ada faktor menunda-nunda pekerjaan yang mestinya itu dikerjakan di awal sehingga apabila ada kendala teknis apapun itu bisa terselesaikan dan tertangani tidak pada batas waktu akhir," ujar Awan kepada detikJabar, Jumat (7/2/2025).
Menurutnya, proses finalisasi PDSS telah dijadwalkan sejak 6 hingga 31 Januari 2025. Jika sekolah segera menyelesaikan proses ini di awal periode, maka risiko keterlambatan bisa diminimalkan.
"Memang ada beberapa faktor ya misalkan faktor tenaga operator, kemudian ada yang menyampaikan kendala internet dan lain-lain. Tapi pada intinya pengisian PDSS diberikan waktu sejak 6-31 Januari 2025. Artinya seandainya dikerjakan di awal itu kan bisa terdeteksi," tegas Awan.
Disdik Jabar kini tengah menginventarisasi sekolah-sekolah yang terlambat melakukan finalisasi PDSS. Langkah ini diambil untuk memastikan ada evaluasi terhadap penyebab utama keterlambatan.
"Kita sedang menginventarisir dan itu kewenangan pimpinan yang nanti akan mengevaluasi. Mungkin diberikan sanksi sesuai dengan skala kelalaiannya, tapi itu ranah pimpinan," kata Awan.
Kasus ini tak hanya terjadi di satu-dua sekolah. Laporan menunjukkan bahwa keterlambatan finalisasi PDSS ditemukan di berbagai wilayah, seperti Kota Cirebon, Kabupaten Karawang, hingga Kabupaten Bandung.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan kedisiplinan di tingkat sekolah. Akibatnya, siswa yang seharusnya memiliki peluang masuk perguruan tinggi harus menanggung risiko akibat kesalahan administratif yang seharusnya bisa dicegah.
Sejauh ini, belum ada solusi konkret bagi siswa yang terdampak. Namun, jika tidak ada kebijakan khusus, impian ratusan siswa Jabar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi bisa kandas hanya karena keterlambatan pengisian data.
(sya/iqk)