Darwa (70) harus menerima kenyataan pahit. Kobaran api yang muncul dari percikan bahan baku petasan membakar habis seisi rumahnya pada Senin (20/1/2025) sore.
Letupan acapkali terdengar, yang kemudian memicu munculnya api dari bagian belakang rumah sederhana milik Darwa (70) yang berada di tengah padatnya permukiman di Blok Kebon Kopi, Desa Lobener Lor, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Kondisi itu terlihat sangat menyibukkan para petugas pemadam.
Hilir mudik armadanya mengangkut air untuk menjinakkan si jago merah agar tidak merambat ke rumah lainnya. Kepala Desa setempat menyebut, letupan itu terdengar dari rumah milik Darwa yang diketahui sebagai tempat industri kecil kembang api dan petasan.
Di balik rumah itu dipastikan masih terdapat sejumlah bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan petasan seperti mesiu, kertas selongsong kembang api dan lainnya. Terbukti, di halaman rumahnya pun tertumpuk butiran petasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya di sini bukan industri sih ya cuma home industry kembang api, bukan petasan," kata Kepala Desa Lobener Lor, Mahfudin, Selasa (21/1/2025).
Rumah yang juga menjadi tempat aktivitas berisiko tinggi itu rupanya dihuni oleh enam orang dari total 3 kepala rumah tangga. Dalam peristiwa itu, dua orang anak pun diketahui mengalami luka bakar di bagian lengan dan leher belakangnya. Sehingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat.
"Di sini kayaknya 3 KK. Bapaknya, anaknya sama anaknya lagi tuh jadi total 6 jiwa," ujar Mahfudin.
Rupanya rumah Darwa bukanlah satu-satunya. Disebutkan aktivitas produksi kembang api dan petasan hampir dilakukan di setiap rumah yang kemudian mereka menyebutnya industri rumahan kembang api.
Produksi kembang api itu pun seolah menjadi mata pencaharian utama bagi warga di Desa Lobener Lor.
"Karena di sini mayoritas mungkin 50 persen home industry kembang api," ucapnya.
Diakui Mahfudin, aktivitas itu seperti sudah melekat bagi warganya. Bahkan, beberapa usahanya sudah diwariskan secara turun-temurun.
Tidak besar seperti layaknya pabrikan. Produksi yang sudah ada sejak dahulu itu hanya dilakukan di rumah-rumah saja.
"Kalau produksi ini mungkin sudah sejak zaman nenek moyang. Mungkin sebelum ada saya juga sudah produksi. Cuma home industry gitu bukan kayak semacam pabrik atau apa. Hampir tiap rumah home industry kecil-kecilan gitu," tuturnya.
![]() |
Dalam proses produksinya, biasanya membutuhkan beberapa orang tenaga kerja. Salah satunya untuk memasukkan bahan kimia ke dalam kertas selongsong kembang api dan petasan.
"Di dalam yang produksinya sudah gede-gede itu sekitar ada 5 orang pekerja," ujar Mahfudin.
Sebagai pemerintah desa, Mahfudin mengaku prihatin dengan mata pencaharian warganya yang sangat berisiko tersebut. Imbauan hingga bimbingan agar masyarakat tidak lagi memproduksi kembang api dan petasan seringkali dilakukan.
"Kami pemerintah desa sering kasih pengarahan supaya bisa dialihkan, supaya jangan kerja ini lagi. Ya apalah kayak semacam bikin keripik atau bikin apa supaya gimana baiknya jangan sampai ada bencana gitu," ujarnya.
Namun, aktivitas itu kembali marak. Sebab dimungkinkan pembuatan kembang api dianggapnya lebih instan dan mudah. "Cuma sampai saat ini belum ketemu titik itu. Karena apa mungkin lebih instan kalau ini mah," sambung Mahfudin.
Bahkan, di suatu waktu, masyarakat sempat berkumpul bermusyawarah untuk beralih profesi menjadi perajin keripik pisang. Namun, belum sampai berjalan maksimal, usaha keripik pisangnya justru mengalami kendala di bagian pemasaran.
"Pas habis jadi keripik. Pemasarannya agak lama sehingga masyarakat kembali lagi (produksi kembang api)," katanya.
(yum/yum)