Melihat Gebodan Alat Perontok Padi Jadul di Indramayu yang Mulai Sirna

Melihat Gebodan Alat Perontok Padi Jadul di Indramayu yang Mulai Sirna

Sudedi Rasmadi - detikJabar
Selasa, 01 Okt 2024 16:00 WIB
Petani sedang merontokkan padi dengan menggunakan alat gebodan di Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu
Petani sedang merontokkan padi dengan menggunakan alat gebodan di Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar
Indramayu -

Kemajuan teknologi memudahkan sebagian orang dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Termasuk bagi sebagian petani yang kini mulai meninggalkan alat tradisional ketika memanen padi.

Di Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu misalnya, lahan persawahan yang terhampar di pesisir pantai terlihat sibuk musim panen. Para petani mulai memanen dengan caranya masing-masing.

Di tengah kemajuan teknologi saat ini, terlihat beberapa petani masih memanfaatkan satu alat perontok padi tradisional. Yaitu gebodan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gebodan biasanya terbuat dari kayu atau bambu dengan bentuk prisma segitiga. Di mana sisi miringnya terpanjangnya dipasang papan sebagai tempat menumbuk padi. Ukuran gebodan lebih disesuaikan dengan kemampuan pemiliknya.

Memanen padi dengan menggunakan alat ini butuh waktu lebih lama jika dibandingkan dengan alat mesin. Petani harus menumbukkan setiap kepal padi sebanyak 3 sampai 5 kali hingga biji padi terlihat rontok merata.

ADVERTISEMENT

"Ya memang lebih lama kalau dibandingkan sama mesin mah, tapi di sini masih banyak yang pakai gebodan," ujar petani di Desa Juntinyuat Suryono, Selasa (1/10/2024).

Panen dengan memakai gebodan mulai ramai ditinggalkan diperkirakan sejak tahun 2017 lalu. Meski demikian, beberapa petani masih memilih menggunakan alat perontok padi gebodan.

Di Kecamatan Juntinyuat diperkirakan mayoritas petani sudah mulai menggunakan jasa sewa gerabak atau alat perontok memakai tenaga mesin. Hal itu dilakukan agar proses panen lebih cepat.

"Alasannya, agar bisa panen tepat waktu," ujarnya.

Upah Jasa Memanen

Petani yang memanen dengan menggunakan alat tradisional gebodan biasanya tidak mendapat jasa sewa dengan patokan harga minimum. Melainkan, lebih kepada upah jasa dengan sistem bagi hasil.

"Gebod kan nggak pakai bayar, pakainya catu (upah jasa memanen padi). Jadi hasil panen itu pasti dibagi dengan perbandingan 5 banding 1. Satu untuk tukang gebod, 5 untuk pemilik sawah," jelasnya.

Sedangkan memanen dengan jasa gerabak, pemilik sawah harus menyewa dengan harga Rp100 ribu untuk panen di lahan seluas 100 bata (satuan lokal untuk mengukur luas tanah), 100 bata sama dengan 1.400 meter persegi. Sedangkan, petani yang ikut memanen akan tetap mendapatkan upah jasa panen.

"Itu tetap harus bayar catu juga untuk petani pemanenannya," ucapnya.

Selain gebodan dan gerabak, Suryono menjelaskan mayoritas petani belum memanfaatkan jasa combain harvester. Hal itu selain kondisi lahan, mayoritas buruh tani di Kecamatan Juntinyuat masih banyak yang membutuhkan.

Hasil Panen

Sementara itu, Suryono juga mengatakan hasil panen dipengaruhi pasokan air. "Tergantung kondisi tanah sama pasokan air," kata Suryono.

Ia menyebut rata-rata hasil panen di persawahan Blok Buyut Kunir ini hampir mencapai 13 kuintal untuk luas lahan 100 bata (satu bata setara 16 meter persegi). "Rata-rata satu ton kering. Kalau kotor atau basah itu bisa tembus 13 kuintal," ujarnya.

Menurutnya hasil melimpah itu butuh upaya ekstra selama pengolahan. Selain menjamin pasokan air, ia pun harus menambah biaya untuk kebutuhan pupuk dan obat semprot.

"Di sini terbilang hasil padi yang bagus se-wilayah timur Indramayu. Karena kondisi tanah ada pasirnya jadi hasil benih berasnya bening," katanya.

"Sehingga bisa mempengaruhi harga, pasti ada selisih dengan wilayah lainnya," tandasnya.

Kondisi berbeda dialami Suherman, petani yang menyewa lahan sawah di Desa Tinumpuk. Pada musim hujan kemarin, ia mendapat hasil panen cukup memuaskan meski mayoritas kondisi gabah kurang bagus akibat banjir.

"Waktu rendeng (musim MT1) dapat 9 karung, sekitar 13 kuintal dari lahan seluas 160 bata nyewa lahan di Tinumpuk," kata Suherman.

Namun, hasil itu menurutnya belum cukup untuk menambah biaya di musim tanam kedua ini. Meski harus mengandalkan modal pinjaman, namun ia pastikan bisa menutupinya dengan hasil panen di musim ini.

"Tapi untuk musim ini kan bisa buat hasilnya. Gak bayar sewa lagi," ucapnya.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads