Mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Susno Duadji dihadirkan dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan 6 terpidana kasus Vina Cirebon. Ke enam terpidana tersebut masing-masing adalah Rivaldi Aditya Wardana, Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Jaya, Eka Sandi, dan Supriyanto.
Adapun Susno Duadji dihadirkan sebagai ahli. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon, Rabu (18/9/2024), Susno menjelaskan tentang prosedur penyelidikan dan penyidikan yang harus dilakukan polisi dalam menangani sebuah kasus pidana.
Baca juga: Akhir Penantian Panjang Keluarga Sudirman |
Susno awalnya mendapat pertanyaan tentang prosedur penyelidikan dan penyidikan untuk sebuah kasus tindak pidana. Pernyataan itu dilontarkan oleh salah seorang tim kuasa hukum 6 terpidana kasus Vina, Jutek Bongso.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita ingin bertanya, di dalam memulai suatu proses yang bukan tertangkap tangan, tapi berdasarkan laporan polisi, dalam suatu tindak pidana bagaimana proses di kepolisian biasanya?," tanya Jutek dalam persidangan di PN Cirebon.
Menjawab pertanyaan tersebut, Susno Duadji mengatakan harus ada laporan lebih dulu terkait suatu peristiwa sebelum dilakukannya proses penyelidikan dan penyidikan oleh polisi.
"Pertama harus dilaporkan dulu. Dan melaporkannya bukan langsung laporan tindak pidana, tapi ada suatu peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan diperkirakan waktunya kapan, baru lah masuk penyelidikan. Peristiwanya itu apa. Misalkan ditemukan orang mati. Orang mati pun belum tentu pidana. Bisa saja mati karena serangan jantung, mati karena jatuh atau mati digigit ular," kata Susno.
"Jadi yang menentukan itu ke tindak pidana atau tidak adalah hasil penyelidikan. Setelah itu tim penyidik baru bergerak kalau memang tindak pidana. Dan untuk menentukan tindak pidana, minimal harus ada dua alat bukti. Dan bukan jumlahnya saja, dua alat bukti itu harus berkesesuaian, baru punya nilai," kata dia menambahkan.
Jutek Bongso lalu kembali melontarkan pernyataan terkait prosedur yang harus dilakukan kepolisian ketika ingin meningkatkan tahap penyelidikan ke penyidikan untuk suatu perkara.
"Di dalam melakukan penyelidikan suatu perkara lalu ingin menaikan ke penyidikan langkah apa yang harus dilakukan di kepolisian? Apakah perlu dilakukan gelar perkara awal dulu, lalu memanggil saksi, melakukan penyelidikan, lalu ada gelar perkara selanjutnya untuk menaikkan ke status sidik?," tanya Jutek.
Susno pun menjawab bawah semua tahapan tersebut merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani suatu perkara. Dalam hal ini yaitu saat pihak kepolisian ingin meningkatkan suatu perkara dari status lidik ke sidik.
"Itu jelas. Wajib gelar (perkara). Penyidik tidak bisa langsung menentukan misalkan bahwa peristiwa ini adalah pidana dan tersangkanya ini," kata Susno.
Lebih lanjut, kuasa hukum para terpidana, Jutek Bongso kemudian menanyakan bagaimana menurut Susno jika ada anggota kepolisian yang melakukan penangkapan tanpa disertai dengan surat perintah. Terlebih jika ada aksi kekerasan dari pihak kepolisian saat menggali keterangan dari orang-orang yang ditangkap.
Dengan lugas, Susno Duadji pun menjawab jika langkah-langkah yang dilakukan itu tidak sesuai dengan prosedur. "Apapun istilah yang digunakan, merampas kemerdekaan orang lain, membawa ke kantor, membawa ke suatu tempat, itu namanya sudah merampas kemerdekaan," kata Susno.
Ia menyebut, tidak semua anggota kepolisian bisa melakukan penangkapan. Menurutnya, ada beberapa persyaratan atau prosedur yang harus dipenuhi oleh anggota kepolisian jika ingin melakukan penangkapan. Salah satunya adalah adanya surat perintah.
"Tidak semua anggota Polri boleh menangkap. Tidak semua anggota reserse boleh menangkap. Yang boleh menangkap adalah anggota Polri masih aktif, kemudian berdinas di reserse dan diberi surat perintah," kata dia.
Susno juga menegaskan bahwa siapapun yang dicurigai atau dianggap terlibat dalam suatu dugaan tindak pidana wajib didampingi kuasa hukum saat menjalani pemeriksaan di kepolisian. Terlebih jika dugaan tindak pidana tersebut membuat para terduga pelaku terancam mendapat hukuman berat.
Susno awal mendapat pertanyaan dari salah satu tim kuasa hukum 6 terpidana, Jutek Bongso. Jutek melontarkan pernyataan apakah wajib bagi pihak kepolisian untuk menawarkan kepada orang-orang yang dicurigai melakukan tindak pidana agar didampingi kuasa hukum saat menjalani pemeriksaan.
"Menurut pengalaman ahli, dalam bertindak sebagai kepolisian khususnya reserse, suatu peristiwa tindak pidana apalagi diancam hukuman mati maksimalnya dan minimalnya hukuman seumur hidup, dalam hal ini Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, apakah harus disarankan atau kepolisian menawarkan untuk didampingi penasehat hukum bagi yang diamankan?," tanya Jutek.
Menjawab pertanyaan tersebut, Susno menegaskan bahwa itu merupakan hal yang wajib dilakukan. "Tidak disarankan. Tapi wajib hukumnya. Kalau tidak dilakukan itu, maka hasil pemeriksaannya batal demi hukum," jelas Susno Duadji.
"Dan sudah beberapa putusan pengadilan yang membatalkan dan membebaskan terdakwa. Karena tindak pidananya diancam hukuman lima tahun ke atas dan pemeriksaan di awal tidak didampingi (kuasa hukum)," tambah Susno.
Selain itu, saat menjadi saksi ahli dalam sidang PK 6 terpidana kasus Vina ini, Susno Duadji pun menjelaskan tentang prosedur yang harus dilakukan oleh anggota kepolisian saat akan melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku tindak pidana. Menurut Susno, salah satu syarat penangkapan adalah surat perintah.
"Tidak semua anggota Polri boleh menangkap. Tidak semua anggota reserse boleh menangkap. Yang boleh menangkap adalah anggota Polri masih aktif, kemudian berdinas di reserse dan diberi surat perintah," kata dia.
Sekadar diketahui, 6 terpidana kasus Vina yang kini sedang menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) masing-masing adalah Rivaldi Aditya Wardana, Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Jaya, Eka Sandi, dan Supriyanto.
Mereka merupakan para terpidana yang telah dijatuhi hukuman seumur hidup terkait kasus pembunuhan Vina dan teman lelakinya, Muhammad Rizky atau Eky.
(dir/dir)