Di deretan ruko yang tampak biasa di Jalan Pagongan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, berdiri sebuah rumah berwarna kuning yang menyimpan kisah bersejarah. Rumah ini, yang usianya telah mencapai ratusan tahun, menjadi saksi bisu lahirnya seorang wanita tangguh, Olly Siti Soekini, yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan asal Cirebon.
Indra Ratna Esti Handayani (60), anak bungsu dari Olly Siti Soekini, dengan penuh kebanggaan menceritakan kisah ibunya. Dikenal dengan nama Olly Sastra, wanita kelahiran 12 Januari 1925 ini tidak hanya menjadi saksi hidup dari perjuangan kemerdekaan, tetapi juga berperan aktif sebagai penjahit dan pengibar bendera merah putih pertama di Cirebon.
"Olly Sastra itu ibunya saya, beliau merupakan seorang wanita pejuang yang menjahit sekaligus mengibarkan bendera merah putih pertama di Cirebon," tutur Esti, Rabu (14/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 17 Agustus 1945, setelah mendengar kabar bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, Olly Sastra bersama para pejuang lainnya bergegas menuju Gedung Djawa Hookoo Kai di Jalan Pekalipan No 106, yang kala itu menjadi markas Jepang. Di sana, dengan penuh semangat, Olly Sastra mengibarkan bendera merah putih yang dijahitnya sendiri, menggantikan bendera Jepang yang berkibar di gedung tersebut.
Namun, semangat kemerdekaan itu harus dihadapkan pada kekejaman tentara Jepang. Tak lama setelah bendera merah putih berkibar, tentara Jepang datang dan merobek serta membakar bendera tersebut. Olly Sastra, yang berani mengambil tindakan ini, menjadi korban kekerasan tentara Jepang.
"Ibu Olly Sastra tuh sampai dipukuli, ditendang, dijambak, sama benderanya direbut dan dibakar sebagian. Kata tentara Jepangnya, Indonesia merdeka dikasih sama saya," tutur Esti.
Kini, bukti perjuangan dan keberanian Olly Sastra masih tersimpan rapi di rumah peninggalan keluarganya. Sebuah bendera merah putih yang telah kusam, robek, dan berlubang akibat dibakar, menjadi saksi bisu atas kejadian heroik tersebut. Esti sengaja tidak pernah mencuci atau menjahit ulang bendera itu, menjaga keasliannya sebagai warisan sejarah yang tak ternilai.
"Sengaja nggak pernah dicuci, biar nggak rusak, benderanya memang dari dulu ada robekan terbakar kayak gini," tutur Esti, sambil menunjukkan bendera bersejarah yang dikaitkan dalam sebuah tongkat bambu berwarna coklat.
Keberanian dan pengabdian Olly Sastra dalam perjuangan kemerdekaan membuatnya dijuluki sebagai "Srikandi Cirebon" oleh rekan-rekan seperjuangannya.
"Sudah sejak remaja ibu jadi pejuang, karena keberaniannya, temen-temen pejuang lain, menjuluki ibu Olly Siti Soekaini sebagai Srikandi Cirebon, artinya meski beliau perempuan tapi berani. Bahkan, beliau juga pernah menyembunyikan teman-teman pejuang kemerdekaan di lumbung padi, sampai anaknya, yakni kakak saya itu mau di tembak," tutur Esti.
Kini, bendera merah putih bersejarah tersebut masih disimpan oleh Esti di rumah peninggalan kakeknya, bersama arsip dokumen dan barang berharga lain milik Olly Sastra.
"Sama ibu almarhum Olly Sastra itu nggak boleh diserahkan ke yang lain. Soalnya takut hilang, jadi lebih baik disimpan oleh anak cucu, jika pun boleh harus ada museumnya biar nggak hilang, sama penyerahanya harus melalui upacara," tutur Esti.
Baca juga: Menguak Cerita di Balik Tugu 45 Indramayu |
Setelah Indonesia merdeka, kehidupan Olly Sastra tidak lepas dari kisah-kisah inspiratif. Ia menikah dengan Soetopo dan memiliki delapan orang anak. Hubungannya yang dekat dengan Soekarno, presiden pertama Indonesia, membuat salah satu anaknya, Muhammad Pandji Saptohadi, mendapatkan nama langsung dari Soekarno. Sebuah surat dengan logo Presiden Republik Indonesia, tertanggal 6 Juni 1957, menjadi bukti nyata kedekatan tersebut.
Pada 16 Oktober 1994, di usia 70 tahun, Olly Sastra menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Pemakaman Pronggol, Kota Cirebon. Hingga kini, Esti masih menjaga warisan sejarah ibunya, termasuk bendera merah putih yang telah menjadi simbol keberanian dan cinta tanah air.
(iqk/iqk)