Namanya Olly Siti Soekini, atau biasa dipanggil dengan Olly Sastra, lahir 12 Januari 1925 di sebuah rumah di Jalan Pagongan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, sekarang rumah tersebut ditempati oleh anak terakhirnya, Indra Ratna Esti Handayani.
Dengan penuh semangat Esti bercerita mengenai sosok Olly Sastra, Esti memaparkan, nama Sastra sendiri berasal dari nama belakang ayahnya yang bernama Oentoeng Sastra, kala itu, ayah Olly Sastra bekerja sebagai pegawai di sebuah bank milik Hindia Belanda.
Sejak remaja Olly Sastra sudah aktif dalam gerakan memperjuangkan kemerdekaan, Esti mengatakan, oleh ayahnya, Olly Sastra disekolahkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sebuah sekolah tingkat menengah pada masa Hindia Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ibu Olly Sastra itu, kecilnya sekolah di MULO, aktif ikut organisasi kepanduan Pramuka. Sejak sebelum menikah beliau itu sudah ikut berjuang, " tutur Esti, Rabu (14/8/2024).
Karena kegigihanya, menurut Esti, Olly Sastra sampai dijuluki dengan Srikandi Cirebon, yang memiliki arti perempuan tapi pemberani. Selain dikenal sebagai sosok penjahit dan pengibar bendera merah putih pertama di Cirebon. Pasca kemerdekaan, kiprah Olly Sastra masih terus berlanjut.
Lewat berbagai macam arsip berupa foto lawas, dokumen, dan catatan milik Olly Sastra yang tunjukan Esti kepada detikJabar, terlihat berbagai macam kiprah Olly Sastra semasa beliau hidup.
"Setelah merdeka beliau tidak pernah berhenti berjuang, beliau prinsipnya, kalau baik sama orang jangan setengah-setengah, harus totalitas, kebenaran tetap akan jadi kebenaran," tutur Esti.
![]() |
Esti memaparkan, setelah Indonesia merdeka, Olly Sastra membuka sebuah panti bernama Panti Pendidikan Anak-Anak (PPAA) di gedung Djawa Hookoo Kai, Pekalipan 106, Kota Cirebon.
Di gedung inilah Olly Sastra mengalami tindak kekerasan oleh tentara Jepang, karena mengibarkan bendera merah putih di Cirebon untuk pertama kali pada 17 Agustus 1945. Sekarang, gedung tersebut sudah tidak ada, dan berganti wajah menjadi area pertokoan. Besar harapan Esti, agar gedung tersebut bisa menjadi museum.
"Kepengennya gedung PPAA bisa berubah jadi museum, karena temen-temen yang pernah berjuang itu kumpulnya di situ," tutur Esti.
Menurut Esti, ketika itu, panti yang dibangun Olly Sastra, banyak menampung anak-anak korban perang dan para gelandangan.
"Panti itu banyak menampung anak-anak korban perang, yang orang tuanya sudah pada meninggal, sama anak-anak yang minta-minta pakai batok kelapa tuh, semuanya ditampung sama Ibu Olly Sastra," tutur Esti.
![]() |
Dalam foto arsip yang ditunjukan Esti, tampak Olly Sastra dengan memakai kebaya khas Jawa, berfoto bersama banyak anak-anak panti korban perang di depan gedung PPAA, di bawahnya tertulis keterangan 6 tahun berdirinya PPA 14 Januari 1951.
Menurut Esti, ibu Olly Sastra juga memiliki banyak keahlian, dari mulai menjahit hingga mahir dalam menggunakan bahasa asing. "Main piano pinter sering mengiringi musik di RRI, menjahit, merias, mengetik juga bisa, serta punya kemampuan bahasa Belanda dan Prancis juga, pokoknya beliau berintelektual dan serba bisa," tutur Esti.
Keahlian yang dimiliki Olly Sastra pun, beliau ajarkan kepada perempuan lain. Bagi Olly Sastra, perempuan juga harus bisa berdaya seperti laki-laki.
"Beliau aktif di pemberantasan buta huruf, setiap sore itu ngajarin perempuan yang nggak punya suami, bagi ibu Olly Sastra, perempuan juga harus punya skill supaya bisa bekerja dan mandiri ekonomi," tutur Esti.
Kepedulian terhadap pendidikan pernah disaksikan sendiri oleh Esti. Menurutnya, bagi Olly Sastra pendidikan tetap jadi yang terpenting, bahkan beliau rela untuk menjual barang berharganya hanya demi pendidikan.
"Apa saja yang dipunya itu dijual buat sekolah. Pernah ibu Olly Sastra lihat tukang becak, terus dipanggil, tanyain anaknya sekolah dimana? Kata tukang becaknya, anaknya nggak sekolah, nggak ada uang buat beli seragamnya. Nah ibu Olly Sastra cuman punya uang Rp 10.000, terus sama ibu langsung diberikan kepada tukang becak sambil berpesan agar anaknya segera untuk disekolahkan," tutur Esti.
Dekat dengan Soekarno
Menurut Esti, karena jasanya, beliau dikenal oleh banyak orang, salah satunya oleh pahlawan Cirebon, Letkol Mahmud Pasha, komandan pertama pasukan Yonif 315/Garuda atau dikenal pasukan setan pada saat agresi militer Belanda I di Cirebon. Menurut Esti, pada masanya, Letkol Mahmud Pasha sering datang berkunjung ke rumah Olly Sastra.
Dalam arsip foto lain, Olly Sastra juga terlihat dekat dengan Presiden Soekarno, bahkan salah satu anaknya, secara khusus diberikan nama oleh Soekarno sendiri. Olly Sastra juga pernah diundang ke istana negara pada masa Presiden Soeharto.
![]() |
Meski begitu, selama menjalani hidupnya, Olly Sastra dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan sederhana.
"Pernah ditanya anaknya, ibu sih sosial saja kapan kaya nya. Dijawab ibunya, yang penting kaya hati, sederhana, nanti dibalesnya di akhirat, kan kita punya Allah. Orangnya memang tidak pernah mengharap imbalan, selalu melihat ke bawah agar selalu bersyukur, dan tegar, saya sendiri tuh nggak pernah liat ibu Olly Sastra nangis tuh," tutur Esti.
Olly Sastra menikah dengan Soetopo dan dikaruniai delapan orang anak. Pada 16 Oktober 1994, di usia 70 tahun, Olly Sastra menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Pemakaman Pronggol, Kota Cirebon. Hingga kini, Esti masih menjaga warisan sejarah ibunya, seperti bendera merah putih, mesin ketik, foto dan juga dokumen penting milik Olly Sastra.
(yum/yum)