KH Abdul Chalim diberikan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2023 lalu. Untuk mengenang jasa-jasanya, masyarakat Leuwimunding membuatkan monumen KH Abdul Chalim.
Pembangunan monumen pejuang nasional itu tanpa menggunakan anggaran pemerintah, melainkan swadaya dari masyarakat setempat. Monumen yang berada di Alun-alun Leuwimunding ini dibangun setinggi 6 meter.
"Kami mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh masyarakat Leuwimunding. Karena keberadaan monumen pahlawan nasional KH Abdul Chalim ini dibuat supaya sejarah tidak hilang," kata Kepala Desa Leuwimunding Aang Rukmana Lesmana kepada detikJabar, Selasa (23/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilihat detikJabar, terdapat foto hingga nama KH Abdul Chalim terpampang di bagian monumen tersebut. Tak hanya itu, di atas monumen juga terdapat logo Nahdatul Ulama (NU) yang menandakan bahwa KH Abdul Chalim merupakan tokoh pendiri NU.
"Ini bentuk syukuran kami masyarakat Leuwimunding dan penghormatan kepada beliau sebagai pahlawan nasional dan pendiri NU. Tentunya pembuatan monumen pahlawan nasional ini mengandung pesan khusus bagi kami (warga Leuwimunding)," ujar Aang.
Disamping itu, monumen KH Abdul Chalim pada hari ini baru diresmikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. Peresmian monumen itu sekaligus penyematan status Desa/Kecamatan Leuwimunding menjadi Desa Wisata Religi di Kabupaten Majalengka.
"Senang sekali bisa hadir meresmikan Desa Wisata Religi Leuwimunding. Saya bahagia makam KH Abdul Chalim pahlawan nasional dan salah satu tokoh pendiri NU dari Jawa Barat dan terdapat makam Habib Abdullah bin Ali bin Hasyim bin Yahya atau Mbah Rono ini merupakan daya tarik desa wisata religi Leuwimunding di Majalengka yang sudah mendapat SK Bupati sejak 21 Juni 2024," papar Sandiaga saat meresmikan monumen KH Abdul Chalim.
Dalam kesempatan yang sama, Pj Bupati Majalengka Dedi Supandi menyambut positif atas penyematan status ini. Rencananya, Dedi akan mengganti sejumlah nama jalan di Leuwimunding yang berkaitan dengan sejarah wilayah setempat.
"Peresmian Desa Wisata Religi akan menarik minat wisatawan untuk berkunjung sehingga berdampak pada jalur transportasi wisata yang lewat ke jalan Leuwimunding. Maka kami usulkan diubah menjadi jalan KH Abdul Chalim dari jalan Rajagaluh-Leuwimunding," kata Dedi.
"Nanti dari Prapatan sampe Budur namanya (jadi) jalan Ki Gede Panjalin. Dari jalan Pangeran Muhammad sampe perbatasan Cirebon namanya jalan Prabu Cakraningrat sesuai usulan masyarakat," tambahnya.
Disinggung apa yang akan dijual kepada wisatawan dari Leuwimunding, Dedi menyampaikan, dengan segala potensi yang dimiliki Leuwimunding, Ia yakin wilayah tersebut akan menjadi daya tarik wisatawan jika terus didorong pemerintah.
"Leuwimunding ada banyak pesantren dan masjid, jadi itu potensinya. Saling mendukung antar kawasan wisata seperti Jatiwangi kota kreatif termasuk seni budaya, nanti di sebelahnya ada kawit wangi nanti akan terhubung semuanya," ucapnya.
Profil KH Abdul Chalim
Dilansir dari situs NU Online, KH Abdul Chalim lahir di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, tahun 1898. Ia adalah putra dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Suntamah.
Masa kecil Kiai Chalim belajar di Sekolah Raja (sekolah umum yang diikuti oleh kalangan tertentu pada masa penjajahan Belanda) selama dua tahun. Selanjutnya, Kiai Chalim melanjutkan pendidikan di Pesantren Barada Mirat Leuwimunding, Pesantren Trajaya, Pesantren Kedungwuni Kadipaten Majalengka, hingga Pesantren Masantren Cirebon.
Abdul Chalim Jadi Pengurus SI
Pada 1914, ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, KH Abdul Chalim menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz selama dua tahun. Di sana ia sempat menimba ilmu dari ulama-ulama masyhur, seperti Abu Abdul Mu'thi, Syaikh Ahmad Dayyat, dan Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani yang lebih sohor dengan sebutan Imam Nawawi Banten.
Saat belajar di Hijaz, KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama Nusantara dari berbagai daerah. Beberapa ulama ini kemudian menjadi teman sekaligus gurunya, salah satunya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah atau yang lebih dikenal dengan Kiai Wahab Jombang. Saat itu, KH Abdul Chalim juga telah menjadi anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI) Hijaz dan merupakan anggota termuda di sana karena baru berumur enam belas tahun.
Seperti diketahui, SI adalah organisasi para ulama Nusantara yang berorientasi menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Kolonial Hindia-Belanda di Nusantara. Melalui SI pula, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke Nahdlatul Ulama alias NU.
Kiprah Abdul Chalim di NU
Dalam sejarah NU saat berdirinya Komite Hijaz, Kiai Chalim menjadi komunikator kunci antara para alim ulama seluruh Jawa. Kiai Chalim juga membuat surat undangan serta mengantarkannya ke seluruh Kiai di Jawa untuk menghadiri rapat Komite Hijaz.
Dalam kepengurusan pertama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Chalim menjabat sebagai wakil katib. Berbagai momen penting NU selalu dihadiri oleh Kiai Chalim, termasuk turut gerilya dalam perang 10 November 1945 di Surabaya yang diawali oleh Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'Ari.
Kemudian, pada tahun 1958 Kiai Chalim menjadi pelopor pembentukan Pergunu, badan otonom NU yang menghimpun dan menaungi para guru, dosen, don ustadz. Abdul Chalim wafat pada 11 April 1972.
(dir/dir)