Penelitian tim gabungan tentang harimau jawa berhasil mengungkap eksistensi hewan yang telah dianggap punah di tahun 1980 tersebut. Diketahui, hasil uji DNA dari sehelai rambut tersebut berhasil mendekati 97 persen kecocokan dengan hewan bernama latin Panthera Tigris Sondaica itu.
Sehelai rambut itu berasal dari serpihan jejak hewan tersebut di Desa Cipendeuy, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Suhendi, salah seorang warga yang mengantar tim peneliti menunjukan sejumlah bekas harimau di area Gua Batu Bokor yang berdekatan dengan Sungai Gunting.
Dalam sebuah wawancara dengan detikJabar, Suhendi juga bercerita pernah melihat hewan itu di area sekitar gua, dan ia menduga hewan itu memang bersarang di dalam gua tersebut. Hal itu sesuai dengan kisah yang tertulis di media yang terbit di era kolonial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekitar tahun 1938, masyarakat juga tahu ada harimau yang tinggal di gua dan keluar malam hari untuk mencari mangsa. Diduga sarangnya memang di gua dari dulu," kata Agis Prayudi, pengelola halaman medi sosial Sejarah Jampang kepada detikJabar, Senin (25/3/2024).
Dalam media 'Pemandangan' yang terbit pada Selasa 2 Agustus 1938. Media itu menuliskan judul 'Harimau Besar Poenja Sebab, Hampir Terbit Ketjilakaan Ngerih,'.
"Dituliskan dalam narasi kejadiannya di sebuah desa di wilayah Jampang Kulon, ejaan lama Djampangkoelen Sukabumi. Menceritakan mereka habis dari Ujung Genteng dan pulang mengunakan taksi, nama supirnya Ma'roef di sekitar kawasan hutam mereka melihat harimau besar di depan kendaraan yang mereka tumpangi," ujar Agis menarasikan tulisan media tersebut.
Dalam media itu, dituliskan bagaimana kemunculan harimau tersebut membuat panik Ma'roef karena posisi kendaraan yang ditumpanginya hanya berjarak dua mete dari munculnya harimau. Beruntungnya, Maroef adalah sopir berpengalaman sehingga mampu mengendalikan kendaraannya.
"Harimau itu bukannya lari saat berhadapan dengan taksi, malah melompat dan menubruk, taksi itu sempat oleng dan nyaris tergelincir ke dalam jurang," tutur Agis,
Kala itu, penumpang dan sopir sempat menduga harimau tersebut terlindas roda ban karena ada guncangan yang menyerupai benda yang terlindas oleh roda kendaraan. Namun karena takut, mereka melanjutkan perjalanan kembali.
"Jadi karena takut, kendaraan itu terus melanjutkan kendaraannya sampai ke Sukabumi. Tiba di Sukabumi sopir dan penumpangnya ini kemudian menceritakan kisah yang menimpanya ke orang lain. Sampai ada yang mengetahui bahwa di sekitar lokasi kejadian ada sebuah gua yang menjadi tempat kediaman harimau dan hewan itu keluar malam hari untuk mencari mangsa,"
Pihak keamanan kala itu kemydian mengirim sejumlah pemburu untuk mencari harimau itu, kisah soal perburuan harimau di masa itu memang tak asing. Banyak orang Belanda bahkan membentuk semacam klub berburu.
Irman Firmansyah Pakar Sejarah dari Yayasan Dapur Kipahare yang juga pengarang buku Soekaboemi the untold story, menyebut kelompok pemburu yang dikenal salah satunya De Jagers di era kolonial.
"Diantaranya (anggota) ARW Kerkhoven, Van Heeckeren dan EJ Kerkhoven yang disebut djoeragan sepoeh, mereka berasal dari perkebunan Sinagar Cibadak, ketiganya jago berburu dan sering mendapatkan piala dalam lomba berburu saat itu, EJ kerkhoven mendirikan juga perkumpulan berburu Venotaria yang secara ketat mengatur perburuan supaya tidak ada perburuan liar," kata Irman.
Diceritakan Irman, perburuan harimau zaman dulu dianggap hobi olahraga yang dilakukan para bupati maupun pejabat Belanda.
"Selain mereka yang terkenal jago berburu dari Sukabumi adalah Th Boreel dari Parakansalak dan keluarga Bartels dari Pasir Datar, mereka berkumpul dalam organisasi Soekaboemische Landbouw Vereeniging perkumpulan para pengusaha perkebunan," ucap Irman.
"Perburuan seringkali dilakukan dengan pejabat Eropa misalnya Frans Ferdinand Duke of Austria yang kematiannya menjadi pemicu perang dunia pertama juga sempat berburu ke daerah panumbangan Jampang Tengah," katanya menambahkan.
Saat ditanya kurun waktu para pemburu ini bermunculan, Irman menjelaskan hal itu sejak masa VOC perburuannya sekitar tahun 1723.
"Makin ramai sejak dibukanya perkebunan tahun 1860-an karena banyak bangsawan Eropa datang seperti Johan II, Lichenstein, kalo Frans Ferdinand datang ke Panumbangan tahun 1893, perburuan ini terus berlangsung hingga tahun 1930-an meskipun pelan-pelan pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan," papar Irman.
(sya/sud)