Jauh pada tahun 1890-1900an, Hindia Belanda mulai mengenal perfilman dengan keberadaan Komedi Stamboel dan Dardanella yang bermula dari tanah Jawa Timur. Hingga akhirnya perlahan industri film mengalami perkembangan.
Bandung menjadi salah satu kota yang terpapar kemajuan perfilman hingga memiliki banyak gedung bioskop pada zamannya. Bioskop mulai masuk ke Bandung kurang lebih pada tahun 1907.
Di Bandung, penduduk keturunan Eropa tinggal di wilayah Bandung Utara, pribumi di Bandung Selatan, sementara keturunan Asia Timur di sekitar Alun-Alun dan Bandung Barat. Pembagian wilayah tinggal ini pun turut mempengaruhi segmentasi bioskop.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian bioskop di tengah Kota Bandung memutarkan film-film Hollywood untuk orang Eropa, para sosialita, dan saudagar kaya. Bergeser sedikit ke wilayah Bandung Selatan terdapat bioskop untuk pribumi yang memutarkan film Bollywood. Sementara area Sudirman dan Bandung Barat menyuguhkan film shaolin atau Hollywood stok lama.
"Sebetulnya segmentasi bioskop itu terbagi menjadi kelasnya. Siapa saja boleh nonton, asal berani bayar. Kalau di kelas yang elit, itu cukup mahal tiketnya. Kemudian ada suguhan khusus seperti vintage show nanti nonton sambil dikasih bubur," cerita Sugiri Kustedja, Akademisi dan Penggiat Sejarah Bandung.
Anton Kurnia dalam buku Dalam Bayangan Bendera Merah, menceritakan awal mula kemunculan bioskop didirikan di Alun-alun Bandung. Terdapat Oranje Electro Bioscope dan De Crown, dua bioskop yang dulu dijuluki 'misbar' atau gerimis bubar, sebab hanya menggunakan tenda semi permanen beralas tikar. Film yang diputar adalah film-film bisu dengan iringan orgel yang dimainkan secara langsung.
Anton mengutip lampiran di buku Sejarah Film 1900-1950 (2009). Pada 1936 terdapat 9 bioskop di Bandung yakni Concordia, Elita, Liberty, Luxor Park, Luxor Theater, Oranje, Oriental, Roxy, dan Varia. Jumlah bioskop ini menjadi ketiga terbanyak di Hindia Belanda, di bawah Batavia (15 bioskop, 16 dengan satu di Tanjung Priok) dan Surabaya (14).
Bioskop Kelas Atas
![]() |
Salah satu bioskop paling elit terdapat di jalan Braga-Asia Afrika. Letaknya berdekatan dengan Museum Konperensi Asia Afrika (mulanya Societeit Concordia), ialah Concordia Bioscoop yang dibangun tahun 1937.
"Awalnya bioskop Majestic yang berada di sisi utara Societeit Concordia bernama Concordia Bioscoop, baru pada tahun 1937 berganti nama menjadi Majestic. Bangunan bioskop Majestic dibangun tahun 1924 bergaya arsitektur Indo-Europeeschen oleh Biro Arsitek Soenda dan CP Wolff Schoemaker," tulis Sudarsono Katam dalam buku Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950.
Gedung putih itu hingga kini masih berdiri kokoh dengan tulisan "De Majestic". Bentuk gedung Majestic cukup unik karena jika dari atas terlihat seperti kaleng biskuit.
"Bioskop ini aksesnya terbatas, pribumi tidak boleh masuk. Uniknya, kursinya juga dipisah antara perempuan dan laki-laki. Sebelum era digital, satu roll film digunakan bergantian ke bioskop terdekat," cerita Farhan Basyir Founder Cerita Bandung, saat ditemui detikJabar dalam Walking Tours.
Di Majestic, film tema Indonesia pertama kali ditayangkan yakni film Loetoeng Kasaroeng. Sementara tahun 1950 diputar film produksi Indonesia pertama yakni Darah dan Doa (The Long March), karya Usmar Ismail.
Selain Majestic, ada sebuah bioskop permanen kelas atas di Bandung yakni Elita. Pada masa itu Elita adalah bioskop paling elite setelah Majestic.
"Letaknya ada di atas lahan bekas gudang di sebelah timur Alun-alun. Pada 1917 bangunan bioskop Elita dirombak menjadi bergaya Timur Tengah. Bioskop Orient terletak di sebelah selatannya. Pada masa itu Elita adalah bioskop paling elite setelah Concordia dengan orang-orang yang menonton berpakaian rapi dan bersepatu," tulis Anton dalam bukunya.
Elita dan Orient dirancang oleh F.W. Brinkman dengan gaya arsitektur Art Nouveau. Pada 1930-an di sebelah timur alun-alun kala itu terdapat tiga bioskop yang berderetan. Selain Elita dan Orient, ada Varia Park yang merupakan feesterrein atau taman hiburan yang menampilkan gulat, seni tradisional, dan hiburan rakyat lainnya.
Jajaran bioskop yang terletak di timur Alun-alun ini dibongkar pada 1980-an dan lahannya dipakai untuk mendirikan pusat pertokoan Palaguna. Kemudian sempat dibangun dua bioskop yakni Nusantara dan Palaguna. Namun sekarang, seluruhnya sudah dibongkar dan lahan itu dijadikan kantung parkir.
Tak jauh dari Bioskop Elita, terdapat sebuah gedung yang kini disebut Gedung Jaswita. Dulunya, bekas Bioskop Radio City yang juga diarsitekturi Wolff Schoemacker. Beberapa tahun kemudian bioskop ganti nama menjadi Bioskop Dian yang konon bioskop premium kelas wahid orang Eropa.
Selain itu di sekitar Braga, ada gedung bertuliskan 'Landmark'. Gedung yang lagi-lagi digarap Wolff Schoemaker itu merupakan percetakan dan toko buku Van Dorp. Pada tahun 70-an berubah fungsi menjadi Bioskop Pop.
Tak banyak kisah sejarahnya, hanya saja dengan arsitektur bangunan yang megah membuat bioskop ini konon hanya bisa ditonton bangsawan. Di seberangnya, adalah Bioskop President yang terdapat restoran di dalamnya.
Bioskop Kelas Menengah
![]() |
Pada sekitar tahun 1910 di Bragaweg atau Jalan Braga, hadir kompleks Braga Theatre dengan bioskopnya, Helios. Lokasi tepatnya di persimpangan menuju Jalan Telepon, ada sebuah gedung yang kini jadi rumah makan ayam geprek.
Dulunya, gedung tersebut adalah Bioskop Helios, bioskop tertua di Bandung yang dibangun pada 1910. Bioskopnya berupa layar tancap yang berada di dalam gedung.
Masih di Jalan Braga, menuju ke Jalan Suniaraja ada sebuah bangunan berbentuk unik yang kini jadi tempat hiburan malam 'Braga Sky'. Dulunya, gedung ini memang dinamai Braga Sky, salah satu bioskop mewah yang memiliki bar di dalamnya.
"Atapnya berbentuk cembung jadi unik. Bioskopnya kecil, kapasitasnya tak lebih dari 70 orang dengan balkon. Kalau nonton bioskop kebanyakan ada calonya, di sini tidak ada. Karena mewah dan kecil, dalam salah satu koran disebut Si Ketjil Molek," tutur Farhan sembari menunjukkan foto Braga Sky dulu.
Bioskop ini sempat meredup pada tahun 80-an dan jadi tempat hiburan klub dangdut bernama 'Bragadut'. Selain itu, bioskop kelas menengah lainnya ada di bekas Komplek Capitol.
"Kemudian di Komplek Capitol sekarang di Jalan Cibadak-Sudirman, itu dulu ada bioskop Capitol dan Texas. Bioskop kelas dua atau tiga yang memutar film shaolin, kemudian setelah G30S-PKI fokus ke film Hong Kong. Kalau Texas ke film Itali," ucap Sugiri Kustedja, Akademisi dan Penggiat Sejarah Bandung.
Bioskop Rakyat atau Kelas Bawah
Sugiri juga mengenang bahwa dulu Kota Bandung memiliki bioskop rakyat yang memutarkan film India-Bollywood. Katanya, film tersebut identik dalam memerankan keadaan susah atau senang akan selalu bernyanyi dan menari.
"Bioskop itu dulu kalau film ada first run-nya. Bioskop ada yang kelas 1, kelas 2, kelas 3, ada juga kelas rakyat. Di Pagarsih ada bioskop Siliwangi, di Andir dan Jamika itu juga ada bioskop rakyat salah satunya Bioskop Bison (di Sukajadi). Kalau bioskop rakyat itu pokoknya misbar alias gerimis bubar," tuturnya bercerita.
Bioskop kelas bawah lainnya ada di gedung tepi Jalan Merdeka, tepatnya seberang Bandung Indah Plaza (BIP). Gedung itu disebut Gedung Panti Karya dan kini telah beralih fungsi menjadi salah satu klinik farmasi.
Taman Vanda juga menjadi saksi bisu jejak bioskop kelas bawah. Di area tersebut, ada Bioskop Rex atau gedung Panti Budaya yang kemudian jadi Bioskop Vanda. Namun, kedua bioskop tersebut bukan berbentuk misbar, hanya saja memutarkan film Hollywood yang sudah lawas.
"Nah kalau bioskop Vanda dan Panti Karya itu sudah kelas bawah. Dulu saya sering nonton di sana karena murah. Film yang dikeluarkan itu sudah lama seperti James Bond, sekitar tahun 70-an lah. Dulu ramai yang nonton mahasiswa atau pelajar karena murah," kenang Sugiri.
Selain itu, masih ada banyak bioskop kelas menengah ke bawah lain di Kota Bandung seperti Luxor dan Roxy di Kebonjati, Kosambi/Rivoli, Liberty di Cicadas, Regol, dan lainnya yang minim jejak sejarahnya.
(aau/iqk)