Kala Kopi Picu Meletusnya Perang di Cirebon

Lorong Waktu

Kala Kopi Picu Meletusnya Perang di Cirebon

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Rabu, 10 Apr 2024 14:30 WIB
Suasana petani kopi di Jawa
Suasana petani kopi di Jawa (Foto: Istimewa/arsip)
Cirebon -

Siapa yang tak kenal dengan kopi? Selain rasanya nikmat, kopi juga dapat menambah energi bagi siapa saja yang meminumnya. Namun, dibalik nikmatnya kopi, terdapat cerita sejarah meletusnya perang di Cirebon.

Farihin, pegiat sejarah dan pengkaji naskah kuno dari komunitas Latar Wingking, menuturkan kopi sudah sejak dahulu dikenal sebagai minuman yang digemari oleh lintas generasi dari mulai generasi muda sampai generasi tua. Dalam sejarahnya di Jawa Barat, produksi kopi sudah dimulai sejak abad ke 18.

Setidaknya ada beberapa wilayah yang dikenal sebagai penghasil kopi pada kala itu, seperti Cianjur, Cirebon, Kuningan, Sukabumi dan beberapa wilayah lain di Priangan. Farihin, menuturkan, di Cianjur produksi kopi dimulai pada tahun 1711. Bupati Cianjur ketika itu memberikan setoran kepada pemerintah VOC sebanyak 100 pon. Oleh VOC kopi 100 pon tersebut dihargai 50 gulden per pikul.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu alasan kenapa VOC menyukai komoditas kopi adalah karena kopi sangat digemari di Eropa. Hal ini membuat kopi menjadi komoditas yang sangat dicari oleh VOC. Bahkan kopi juga mengalahkan komoditas lain yang lebih dahulu dibudidayakan seperti malam, kapulaga dan sarang burung.

Dalam jurnal berjudul Preanger Stelsel, kisah tentang bisnis kopi Belanda di Tanah Cirebon-Priangan karya A Syatori terdapat kisah unik tentang awal mula budidaya kopi di Jawa. Dalam jurnal tertulis, awal mula pembudidayaan kopi berasal dari sesuatu yang remeh, yaitu dari orang Belanda yang hobi bercocok tanam di taman depan rumah.

ADVERTISEMENT
Suasana petani kopi di JawaSuasana petani kopi di Jawa Foto: Istimewa/arsip

Beberapa orang Belanda yang hobi bercocok tanam tersebut seperti Joan Van Horn yang menjadi gubernur Jendral Hindia-Belanda dan beberapa anggota dewan dan pejabat Belanda. Mereka membuat kelompok kecil untuk bereksperimen di taman halaman rumah dengan tumbuhan yang tidak ditanam di Indonesia, salah satunya kopi.

"Pada waktu itu Van Horn tentu tidak dapat membayangkan bahwa eksperimennya, membuka jalan untuk revolusi ekonomi dan sosial yang akan mengubah nasib penduduk Jawa," tulis jurnal tersebut.

Melihat potensi budidaya dan potensi pasar yang besar, pemerintah Hindia-Belanda membagikan tanaman kopi ke beberapa wilayah. Pada tahun 1713, Cirebon menghasilkan kopi sebanyak 150 kilogram, lalu tahun di 1730 meningkat menjadi 375.000 kilogram, dan pada tahun 1823 menghasilkan lebih dari 650.000 kilogram.

Farihin menambahkan, di tahun 1722 produksi kopi mencapai 6 ton, empat tahun berikutnya tepatnya di tahun 1726 produksi kopi mencapai 2.145 ton di wilayah Priangan.

"Dengan jumlah tersebut, VOC mampu menguasai 75% perdagangan kopi dunia, setengah dari total produksi berasal dari wilayah Priangan Barat," tutur Farihin belum lama ini.

Tetapi besarnya permintaan kopi di Eropa tidak dibarengi dengan keadilan bagi para petani kopi. Menurut Farihin, di tahun 1726 VOC secara semena-mena menurunkan harga kopi menjadi 2.5 gulden per pikul dari semula 50 gulden. VOC beralasan penurunan harga, diakibatkan karena kekurangan uang tunai. Padahal kenaikan harga tersebut dilakukan agar VOC dapat mengambil keuntungan sebesar-besarnya.

"Kebijakan tersebut menimbulkan perlawanan dari rakyat sampai bupati Cianjur terbunuh. Di banyak tempat, para petani merusak tanaman kopi, bahkan di Cirebon para petaninya membiarkan kopinya menjadi semak belukar dan beralih menanam komoditas baru," tutur Farihin.

Melihat banyaknya protes dari masyarakat, pada tahun 1729 VOC melalui Residen Cirebon mewajibkan semua keluarga di wilayah dataran tinggi Priangan untuk menanam 10 pohon kopi setiap tahun. Beberapa tahun setelahnya, produksi kopi meningkat tajam.

Di akhir abad ke 18, kebijakan tanam paksa yang diterapkan VOC, ditambah hasil produksi kopi yang dikorupsi oleh para pejabat, membuat para petani kopi semakin terpuruk. Pada masa itu, VOC juga mengangkat komisaris sebagai kepanjangan tangan dari kompeni. Menurut Farihin, komisaris diberikan hak istimewa yakni, boleh mengambil keputusan tanpa berkoordinasi terlebih dahulu kepada pejabat di Batavia.

"Tekanan terhadap rakyat mulai meruncing, tahun 1745 petinggi VOC mengeluarkan instruksi agar para penguasa lokal seperti bupati dan pejabat dibawahnya. Diharuskan memberikan upacara penghormatan militer setiap kali komisaris berkunjung ke satu wilayah. Sementara itu, seluruh kebutuhan biaya penghormatan untuk kebutuhan upacara penghormatan militer tersebut dibebankan kepada rakyat, termasuk para petani kopi," tutur Farihin.

Suasana petani kopi di JawaSuasana petani kopi di Jawa Foto: Istimewa/arsip

Dari komisaris yang memiliki kewenangan istimewa ini. Lahir para pejabat yang memiliki mental penjilat kepada komisaris, salah satunya bupati. Farihin menuturkan, para bupati dengan bangga menjilat komisaris hanya agar posisinya tidak terganggu. Biasanya mereka menjilat menggunakan uang sogokan yang disebut yatra bekti atau uang bakti.

Uang bakti untuk sogokan tersebut bupati dapatkan dari pinjaman oknum orang Cina. Sebagai imbalan, ketika sogokan berhasil, orang Cina diberikan keistimewaan oleh bupati untuk mengelola lahan atau tanah garapan. Menurut Farihin, hal ini lah yang membuat banyak orang Cina menguasai banyak lahan.

Banyaknya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh VOC dan para pejabat membuat masyarakat Cirebon khususnya para petani kopi, marah. Akhirnya meletuslah perang masyarakat Cirebon melawan kolonial Hindia-Belanda pada awal abad ke 19, yakni perang Kedongdong.

"Di antara tokoh-tokoh Cirebon yang terlibat dalam perang tersebut antara lain Pangeran Raja Kanoman, Bagus Rangin, Bagus Serit, Bagus Arsitem, Bagus Suwasa, Demang Kuningan, Demang Losari, Sangbaya, para mantri Gargo Minggolo, Jurang Prawiro, Bagus Santin, Ki Kulur Draham dan tokoh-tokoh lainnya," tutur Farihin.

Sebelum berperang, para tokoh berkumpul terlebih dahulu untuk menyusun strategi dan pembagian tugas di posisi. Agar tidak terbaca oleh musuh, para tokoh tersebut merubah nama aslinya menjadi nama samaran atau nama sandi, seperti Pangeran Suryanegara berubah namanya menjadi Rancang, Jamaludin Bukhori menjadi Bagus Rangin, Sya'roni diganti dengan Bagus Serit dan lain sebagainya.

Akibat perang yang berlangsung, pemerintah Hindia-Belanda kewalahan menghadapi gejolak rakyat Cirebon. Diperkirakan mereka mengalami banyak kerugian baik materi maupun non-materi. Melihat pergolakan rakyat Cirebon yang sulit dihentikan, pemerintah Hindia Belanda mencoba menghentikan perang dengan cara berunding, mereka bersepakat untuk memenuhi tuntutan dari rakyat Cirebon.

Perang Kedongdong sendiri terbagi dalam dua periode. Pertama dari tahun 1802 - 1812, yang dipimpin Bagus Rangin, kedua dari tahun 1816-1818 yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit. Perang tersebut juga banyak mendapatkan dukungan dari rakyat kecil. Karena perang Kedongdong, menjadi harapan agar kesewenang-wenangan kolonial dapat segera dihentikan. Diperkirakan ada sekitar 40.000 rakyat Cirebon yang ikut berperang.

Suasana petani kopi di JawaSuasana petani kopi di Jawa Foto: Istimewa/arsip

Farihin berpesan, untuk menghargai jasa para petani kopi dan pejuang yang gugur dalam perang. Alangkah baiknya ketika ingin menikmati kopi, untuk mengheningkan cipta sekaligus berdoa sejenak untuk mereka semua yang telah gugur.

"Marilah kita sejenak mengheningkan cipta sebari berkirim doa kepada para pejuang dan petani kopi yang telah berjasa dan mengorbankan jiwa, raga bahkan darah mereka, sehingga hari ini kita semua bisa menikmati kopi tanpa ada rasa takut dan cemas dibombardir alutsista kolonial," pungkas Farihin.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads