Jalur pantura Kabupaten Indramayu sepanjang hampir 70 kilometer dahulu menjadi tulang punggung dalam sistem transportasi. Ramainya lalu lintas dari arah Cirebon ke Jakarta, atau sebaliknya sangat berpengaruh pada ekonomi masyarakat sekitar.
Terbukti, beragam usaha banyak tumbuh di sepanjang jalan dari Jembatan Sewo Kecamatan Sukra hingga gapura perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Mulai dari usaha mikro, rumah makan, bengkel-bengkel hingga hotel atau penginapan.
Baca juga: Mengenang 'Bus Setan' di Jalur Pantura |
Kala itu, warga di sepanjang jalur tersebut nyaris tak pernah kesulitan ekonomi. Mereka dari ragam usia, terbilang cukup mudah dalam mencari pundi-pundi Rupiah. Karena, jalur tersebut menjadi satu akses utama yang harus dilewati menuju Ibu Kota Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu, di pantura kalau sekadar cari untuk jajan (makan) nggak susah dulu mah. Buat makan aja mah nggak susah. Pokoknya kalau pinggir jalan mah ada aja," kata Tosim (40), Selasa (23/1/2024).
Seperti pengalamannya, Tosim semasa kecilnya dulu pun mengaku sudah bisa mencari uang sendiri. Hanya berbekal air teh, ia bisa menawarkan minuman sederhana kepada para pengguna jalan yang sedang beristirahat. Terutama di sekitar rumah makan besar nan luas parkiran.
"Waktu itu jalan masih satu jalur dan belum selebar sekarang. Pakai gelas tahun 1990-an lah kejayaannya. Nah, saya jualan itu ke orang-orang yang nggak masuk rumah makan itu jualnya teh tadi harganya satu gelas 25 perak," ungkap Tosim warga Kiajaran Kulon, Kecamatan Lohbener, Kabupaten Indramayu tersebut.
Suasana terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Bahkan, hingga Tosim menginjak usia dewasa, ia pun bekerja di salah satu bengkel kecil di pinggir jalan.
Meski tidak memiliki pengetahuan cukup. Tekad kuat Tosim bekerja sambil belajar pun cukup berhasil. Bahkan ia bisa bertahan kerja di bengkel motor selama belasan tahun.
"Tahun 2003 itu keluar SMP ikut bengkel. Bengkel motor aja. Paling cuma beresi rantai atau stel rantai ganti oli belum ke mesin dan yang sulit-sulit juga. Terus belum ramai kayak sekarang," ungkapnya.
Meski di tahun itu tergolong cukup ramai namun untuk kendaraan sepeda motor yang melintas belum semeriah saat ini. Bisa dikatakan, Tosim yang kala itu belum menguasai mekanik secara penuh. Namun ia mampu memperbaiki beberapa sepeda motor setiap harinya.
Selain bisa menambah penghasilan, Tosim juga bisa sambil mengembangkan skillnya dalam dunia mekanik motor. Karena saat itu masih cukup jarang warga yang buka usaha bengkel.
"Dulu mah servis karburator itu paling Rp7 ribu. Dan, dulu sedikit bengkel tuh," katanya.
Geliat ekonomi seperti yang digambarkan Tosim nyatanya tidak bisa abadi. Apalagi, setelah melewati tahun 2015 tepatnya ketika ruas tol Cipali (Cikopo-Palimanan) diresmikan oleh pemerintah dan beroperasi. Gairah ekonomi di jalur arteri pun dirasakan mulai merosot.
Seperti terlihat saat ini, jika melintasi jalur arteri di Kota Mangga, banyak terdapat tempat usaha yang tampak lesu. Hilir mudik pengunjung bahkan nyaris tidak nampak.
Bahkan tidak sedikit tempat usaha yang tutup hingga terbengkalai karena ditinggalkan pemiliknya. Meski ada juga yang bertahan terutama bagi mereka yang menetap.
"Dulu sehari masih bisa dapat Rp300 ribu. Sekarang kadang cuma layani satu gelas kopi aja atau satu porsi makan. Tapi namanya usaha rezeki ada aja Alhamdulilah," kata Kata Penjual Nasi dan Mie Ayam, Wasti (52).
Sampai saat ini, Wasti tetap optimis mempertahankan usaha kecilnya tersebut. Ia pun membuka usaha jasa lainnya seperti toilet dan tempat istirahat agar bisa menambah pundi-pundi rupiah.
Seperti halnya Wasti, Tosim yang dikatakan sudah mumpuni dalam mekanik motor pun mulai merintis bengkel sendiri. Hingga di tahun 2020 lalu, Tosim mulai membuka bengkelnya dan berjalan hingga saat ini.
Bagi Tosim, naik turun jumlah pelanggan bengkelnya sudah dirasakan sejak awal Pandemi COVID19. Namun setiap harinya ia dan dua orang karyawannya masih bisa memperbaiki 6 unit sepeda motor.
Apalagi lanjut Tosim, di momen arus mudik dan balik, bengkel motornya sering kebanjiran pelanggan. Omsetnya (onderdil) pun tidak main-main bisa mencapai Rp3 jutaan dalam sehari. Namun ketika sepi, omsetnya hanya sekitar Rp200 ribu sampai Rp300 ribu saja.
"Alhamdulillah satu tahun udah bisa balik modal. Bahkan sekarang sudah punya mobil pribadi," katanya.
(sud/sud)