Kabupaten Indramayu sebagai salah satu lumbung padi nasional tentu memiliki ketersediaan lahan pertanian yang luas. Pengguna lahan sebagai usaha produksi pertanian semakin meningkat termasuk petani kecil atau petani gurem.
Mengutip data sensus pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Indramayu, angka petani gurem di Kabupaten Indramayu dalam satu dekade terakhir meningkat signifikan. Petani yang notabene hanya mengelola atau menguasai lahan kurang dari setengah hektare itu mencapai 111.162 unit atau keluarga.
Angka tersebut lebih tinggi 21,60 persen dibandingkan dengan angka pada tahun 2013 lalu. Yang tercatat sekitar 91.415 unit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejalan dengan angka tersebut, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) untuk pengguna lahan juga meningkat. Tercatat di tahun 2023 ini angka RTUP pengguna lahan di Kabupaten Indramayu mencapai 182.873 unit. Hal itu meningkat 12,57 persen dibandingkan dengan tahun 2013 lalu yang hanya mencapai 162.455 unit.
Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Indramayu mengaku prihatin melihat data tersebut. Pasalnya, sebagian besar petani gurem tidak memiliki lahan melainkan hanya sewa lahan.
"Prihatin melihat angka itu ya, karena di lapangan yang 0,5 hektare itu tidak semuanya memiliki. Bahkan sebagian besar petani gurem itu cuma sewa lahan," kata Ketua SPI Indramayu Try Utomo Rubiyanto kepada detikJabar, Kamis (28/12/2023).
Sementara menurut data per Kecamatan, jumlah petani gurem tertinggi di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Anjatan sebanyak 10.901 orang, 6.227 orang di Kecamatan Juntinyuat, dan Kecamatan Sliyeg tercatat sebanyak 6.156 orang. Dengan total petani gurem di tahun 2023 sebanyak 113.063 orang.
Try menjelaskan petani gurem yang mengandalkan lahan sewa masih kesulitan mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang harus mencari modal tambahan ketika menjelang musim tanam.
"Dari situ jelas, produksi mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bahkan seringnya tidak cukup untuk sekedar modal pengolahan pertanian nya. Apalagi sering terjadi kelangkaan pupuk subsidi," kata petani muda Indramayu itu.
Menurutnya, pemerintah harus segera mengambil kebijakan dalam mengatur dan menjalankan reforma agraria. Termasuk soal redistribusi lahan.
"Itu bukti bahwa di Indramayu harus menjalankan reforma agraria atau redistribusi lahan kepada petani. Harusnya bisa toh untuk program rebana yang nyiapin 14 ribu hektare aja bisa," katanya.
Sementara, Kepala Bidang Tanaman Pangan DKPP Indramayu, Imam Mahdi menjelaskan peasant atau petani lahan sempit hampir terjadi di seluruh belahan dunia dengan ragam ukuran luasan lahannya. Indonesia salah satunya tepatnya di pulau Jawa, tak terkecuali di Kabupaten Indramayu.
Menurutnya, bertambahnya jumlah petani gurem dipengaruhi banyak faktor. Terutama budaya warisan (lahan) dibagi turun temurun, juga kebutuhan atau konsumtif selain pangan.
"Budaya warisan itu, kultur heritage turun-temurun dari bapak, kakeknya terus. Cara seperti itu sehingga lahan yang dimiliki semakin sempit. Apalagi dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari ya atau lainnya non-pangan ya,"
Gejala munculnya petani gurem di Kabupaten Indramayu kata Imam sudah muncul sejak 20 tahun lalu. Dari beberapa riset akademisi dan peneliti menunjukkan petani dengan lahan seluas 0,35 hektare sudah marak, angkanya pun bisa dikatakan rata-rata mencapai 50 persen dari total jumlah petani.
"Sekarang mungkin sudah 0,2 hektare. Kalau bicara rata-rata, 0,35 hektare (luasan lahan petani gurem) itu berarti sudah 50 persen bahkan lebih," jelasnya.
"Itu jumlahnya yang masuk RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompoktani) itu 180 ribu tahun 2022, sekarang mungkin bertam bisa berkurang. Yang masuk RDKK itu harus kurang dari 2 hektare, artinya jumlah itu termasuk petani lahan sempit," imbuhnya.
Menurutnya, penguasaan lahan atau pengelolaan harus minimal 2 hektare lebih untuk bisa menikmati hasil produksi. Petani dengan lahan seluas itu bisa menyimpan hasil panen atau bahkan menutupi biaya operasional hingga untuk kebutuhan non pangan.
Sementara untuk pengelolaan lahan di bawah 2 hektare atau petani gurem dikategorikan sebagai petani miskin. Karena hasil produksi tidak sebanding dengan biaya pengolahan dan kebutuhan non pangan lainnya.
"Dari hasil riset, luasan itu ya kategorinya miskin tidak bisa memenuhi kebutuhan nonpangan, yang pangan saja masih kurang. Lumbung padi itu wilayah 125.442 hektare LBS. Nah per individunya tidak pernah surplus karena berlahan sempit. Supaya surplus harus minimal 2 hektare," ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah selalu berupaya melakukan keberpihakan kepada petani terutama petani gurem. Mulai dari bantuan pupuk, benih, hingga pembangunan infrastruktur untuk kelancaran pengolahan lahan.
"Salah satunya pemberian pupuk bersubsidi makanya yang diberi subsidi itu kan maksimal 2 hektare, ada bantuan benih, infrastruktur lainnya diberi ada irigasi dipenuhi, kurang apa pemerintah? Kalau ada bencana ya beras cadangan bulog turun gratis," pungkasnya.
(sud/sud)