Kampung Adat Kuta di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, dikenal sebagai kampung seribu pantangan. Hampir semua aspek kehidupan berkaitan dengan larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya. Apabila masyarakat melanggarnya, konon yang bersangkutan akan mendapat malapetaka.
Larangan tersebut sudah menjadi warisan turun temurun sejak zaman dulu. Bagi warga Kampung Adat Kuta, larangan atau pantangan itu bukan merupakan hal yang menyusahkan, melainkan sudah menjadi pedoman hidup yang lebih baik.
Hal itu diceritakan gadis asal Kampung Kuta, Anggia Gustia (23), menurutnya, hidup di Kampung Adat Kuta tidak sesulit yang dibayangkan. Anggia tetap hidup sebagaimana gadis perempuan lainnya, bagian bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun memang ada beberapa pantangan atau larangan yang harus tetap dipatuhi oleh Anggia. Berkat itu, secara tidak langsung Anggia dapat terjaga dari perbuatan-perbuatan negatif.
"Kalau menurut saya, larangan-larangan itu kan sudah ada sejak dulu, sudah jadi kebiasaan sejak kecil untuk menjalaninya jadi tidak masalah. Waktu kecil kan hidup di lingkungan itu-itu saja," ungkap Anggia yang merupakan sarjana lulusan Fakultas Ekonomi Prodi Manajemen Universitas Galuh, Kabupaten Ciamis, Selasa (12/11/2024) saat ditemui di Dinas Pariwisata Ciamis.
Anggia bercerita, pada umumnya, pantangan atau larangan yang ada di Kampung Adat Kuta dijalani oleh semua warganya. Namun ada beberapa pantangan yang dikhususkan untuk anak perempuan.
Seperti, anak perempuan tidak boleh mandi sareupna (antara menjelang magrib sampai sebelum isya). Kalau pun diharuskan mandi, anak perempuan bisa melaksanakannya setelah isya atau sekitar pukul 19.00 WIB.
"Anak perempuan tidak boleh mandi pas sareupna atau pas magrib. Untuk alasannya tidak tahu, tapi yang jelas kata orang tua tidak boleh dan tidak boleh protes," ungkapnya.
Selain itu, anak perempuan juga tidak boleh keluar malam sendirian. Kalau pun harus keluar, harus diantar oleh anggota keluarga. Untuk hal ini dapat dipahami, mengingat di Kampung Adat Kuta yang berada di pelosok Ciamis dan dikelilingi hutan, sehingga apabila keluar malam berbahaya apabila ada satwa liar atau hal lainnya.
"Paling itu saja untuk anak perempuan. Selebihnya pantangan lainnya sama sesuai yang berlaku dengan warga lainnya," ucapnya.
Anggia mengaku merasa apa yang dijalaninya berbeda dari anak-anak lain sewaktu mulai masuk sekolah dasar (SD) dan jenjang lebih tinggi. Melihat anak-anak yang lain seperti bebas.
"Melihat anak-anak lain seperti bebas. Tapi saya tidak terpengaruh dan tahu batasan juga tidak iri sama yang lain. Saya juga tidak merasa terikat dengan larangan yang ada," tegasnya.
Selebihnya, terkait dengan pendidikan dan kemajuan zaman seperti adanya teknologi, di Kampung Adat Kuta juga turut mengikutinya. Bahkan Anggia sendiri bisa menempuh jenjang perguruan tinggi hingga lulus. Teknologi yang dilarang di Kampung Adat Kuta hanya penggunaan semen atau tembok untuk membangun rumah. Di Kampung Kuta, rumah tidak boleh pakai tembok tapi harus pakai bahan bambu, kayu dan ijuk dengan bentuk tidak permanen atau panggung.
"Saya kuliah di Unigal Ciamis, cita-cita saya ke depan ingin memajukan Kampung Adat Kuta menjadi desa wisata yang dikenal baik di lokal maupun luar daerah. Tapi tentunya dengan mempertahankan kearifan lokal yang ada. Sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat kampung Kuta," pungkasnya.
(sud/sud)