Tahun Baru Islam 1446 Hijriah jatuh pada tanggal 7 Juli 2024. Ada banyak tradisi yang dilakukan masyarakat selama bertahun-tahun sebagai upaya 'ngareuah-reuah' atau meramaikan, memperingati, atau menyambut Tahun Baru Islam tersebut.
Di berbagai etnis, terutama yang penduduknya telah banyak yang memeluk Islam, tradisi menyambut tahun baru dilakukan mereka. Tak terkecuali di Sunda, kelompok etnis yang bermukim di Jawa Barat, juga punya tradisi meramaikan bulan Muharram.
Karena dilakukan di bulan Muharram, terkadang aktivitas meramaikan Tahun Baru Islam juga disebut Muharraman. Berbeda dengan di daerah lain, Muharraman di Sunda cenderung dilakukan dengan menggelar aktivitas-aktivitas penuh penghayatan dan simbol.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada banyak tradisi di Sunda yang dilakukan bertalian dengan Muharram atau Tahun Baru Islam, detikJabar merangkumkan 3 di antaranya.
3 Tradisi Menyambut Tahun Baru Islam di Sunda
Di Sunda, menyambut tahun baru Islam agak kurang banyak yang dilakukan tepat pada 1 Suro atau malam 1 Muharram. Mungkin kekinian dapat ditemukan kegiatan seperti pawai obor berkeliling kampung, namun fenomena budaya itu baru-baru ini.
Berbeda dengan di etnis Jawa yang menyambut 1 Suro tepat pada malam 1 Muharram, sebab ada pertalian sejarah dengan masa Kerajaan Mataram Islam, di Sunda, acara-acara menyambut Muharram ditekankan pada tanggal 9-10 Muharram. Ada tradisi pula yang dilakukan puncaknya pada 15 Muharram.
1. Tradisi Bubur Suro
Di Kabupaten Sumedang, terutama di Kecamatan Rancakalong, hidup sebuah tradisi yang dilakukan untuk menyambut Tahun Baru Islam, yaitu tradisi Bubur Suro.
Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Hari tersebut dipilih sebab pada hari itu, banyak peristiwa-peristiwa bersejarah terjadi.
Studi yang dilakukan Novi Andika Putri di Pasca-sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung berjudul "Islam dan Keraifan Lokal Sunda: Tradisi 10 Muharam Bubur Suro di Sumedang" menyebutkan tradisi bubur suro di Rancakalong masih dapat ditemukan di Desa Nagarawangi, Kecamatan Rancakalong.
Novi Andika Putri menulis: "Upacara Bubur Suro ini, biasanya dipersiapkan orang-orang dengan cara mengumpulkan hasil bumi. Sebelumnya ada musyawarah yang dilakukan seminggu sebelum tanggal 10 Muharam. Biasanya selain dengan masyarakat, perundingan ini dihadiri sesepuh setempat. Selama perundingan biasanya dihibur dengan kesenian tradisional Jentreng, baik pada malam atau siang hari. Walau kesenian ini tidak terlalu diwajibkan.
Selanjutnya, ada iring-iringan lain sebelum melakukan Bubur Suro atau bisa dibilang budaya lainya sebelum pelaksanaannya. Sebelum pelaksanaan akan ada Tarawangsa, dimana akan ada dua alat musik yang akan mengiringi orang-orang menari menggunakan selendang, dan beberapa sesajen yang ada di tempat tersebut.
Syarat buat bahan Bubur Suro terdiri atas 1000 macam buah, namun dalam kenyataannya sulit untuk memenuhi jumlah tersebut. Sehingga untuk melengkapi ditutup dengan cau sewu (pisang seribu) yang melambangkan jumlah seribu. Bahan-banya ada buah, umbi-umbian ada telur, sayur lauk pauk dan bumbu dan masih banyak lainnya."
2. Tradisi Wuku Taun
Jika melintas ke daerah Cimaung, Kabupaten Bandung lalu dari jalan raya Soreang-Pangalengan berbelok ke kanan, akan ada sebuah kampung adat bernama Kampung Adat Cikondang.
Di tempat ini, Tahun Baru Islam disambut dengan Tradisi Wuku Taun. Memang yang disambut adalah Tahun Baru Islam, tapi penyambutan agama yang datang dari tanah Makkah itu dilakukan dengan tradisi Sunda.
Dalam studi berjudul "Tradisi Wuku Taun Sebagai Bentuk Integrasi Agama Islam dengan Budaya Sunda pada Masyarakat Adat Cikondang", yang dilakukan Deni Miharja dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung dijelaskan bahwa wuku tahun tergolong sebuah adat.
"Tradisi wuku taun termasuk kategori adat, karena wajib dilaksanakan setiap tahunnya. Upacara ini berkaitan dengan upacara taun baru Islam yaitu tahun baru hijriah. Diperingati setiap tanggal 15 Muharam," tulisnya.
Dalam tradisi ini, hajat besar digelar. Yakni, meski puncaknya pada 15 Muharram, tradisi ini telah dipersiapkan sejak 1 Muharram.
"Tradisi wuku taun selalu jatuh pada 15 Muharam. Namun sejak tanggal 1 Muharam, kesibukan warga telah tampak di sana-sini. mereka bergotong royong menumbuk padi yang kelak dijadikan bahan nasi tumpeng. Padi yang sebelumnya disimpan di lumbung tersebut merupakan hasil panen tahun lalu dari sawah keramat yang menjadi kekayaan adat," tulis Deni.
Ada pula pembagian tugas, "Kaum wanita yang bertugas menumbuk padi terdiri atas lima atau enam orang dengan ketentuan, mereka tidak sedang haid. Pakaiannya khusus, dilengkapi karembong atau kain yang diselendangkan yang biasanya digunakan untuk menggendong bayi dan kepalanya ditutup kerudung,"
"Selain menyiapkan beras untuk bahan pembuat nasi tumpeng, kaum wanita membuat opak dan makanan khas masyarakat Kampung Cikondang. Kaum pria secara bergotong royong menyiapkan kayu bakar dan daun pisang yang harus diambil dari kaki Gunung Tilu. Kelak, daun-daun tersebut dijadikan bahan untuk berbagai macam wadah penganan dan lauk-pauk yang digunakan pada puncak upacara yang diselenggarakan tanggal 15 Muharam,"
Menurut studi tersebut, wuku tahun ini telah berlangsung selama 3 abad.
3. Tawasul di Situs Gunung Jaha
detikJabar menyiarkan berita mengenai tradisi tawasul yang dilakukan masyarakat di Situs Gunung Jaha, yang berlokasi di Kelurahan Linggasari, Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis.
Selasa (18/7/2023) siang, ratusan orang warga hingga perjabat pemerintahan setempat datang ke situs itu. Di sana, terdapat dua makam orang yang berjasa besar dalam pemerintahan dan agama. Yakni, Jayengpati Wirautama, sosok pemimpin daerah Cibatu yang berjasa bagi masyarakat setempat dan Syekh Nurudin, tokoh penyebar agama Islam di wilayah Ciamis.
Mereka sengaja datang untuk mengikuti tradisi tawasul dalam rangka menyambut tahun baru hijriah atau disebut juga tahun baru Islam. Situs Gunung Jaha sendiri merupakan hutan kota yang Dilindungi, tempat dimakamkannya dua tokoh besar di wilayah tersebut.
Mereka yang datang, membawa bekal 1 botol air mineral atau pun dalam tumbler. Pada saat melaksanakan doa bersama, mereka membuka tutup botol berisi air tersebut. Harapannya untuk mencari keberkahan.
Sebelum doa bersama, perwakilan panitia membaca sejarah singkat tentang Jayengpati Wirautama. Setelah selesai masyarakat pun makan bersama. Tradisi menyambut tahun baru Islam masyarakat Linggasari dilanjutkan pada malam hari dengan pawai obor.
Panitia menyebutkan, tradisi ini telah berlangsung sangat lama. Namun, digelar dengan gebyar memang baru-baru ini.
(tya/tey)