Pungli atau pungutan liar menjadi masalah yang sulit diatasi di Cirebon. Tidak hanya di masa sekarang. Di Cirebon, perilaku pungli juga banyak ditemukan di masa Hindia Belanda seperti yang dikabarkan dalam beberapa koran Hindia Belanda.
Dalam bahasa Belanda pungli disebut dengan afpersing atau pemerasan. Tertulis dalam koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-IndieΜ edisi (18/04/1933), yang menyebutkan perilaku pungli dilakukan oleh sekelompok preman kepada para operator bus dan manajer perusahaan yang ada di Cirebon.
Diceritakan, para korban pungli takut melapor kepada pihak kepolisian karena adanya ancaman yang terus menerus dilakukan oleh para pelaku pungli. Hal ini membuat kepolisan kesulitan untuk menemukan bukti dan menangkap pelaku pungli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru, ketika ada laporan dari seorang operator mobil asal Tiongkok yang mengadu kepada polisi, bahwa dia telah dianiaya oleh penduduk asli. Pihak kepolisian sendiri sudah menduga bahwa ini adalah kasus pemerasan atau pungli.
Akhirnya setelah diinterogasi, orang Tiongkok tersebut mengaku bahwa selama tiga tahun, ia memberikan sepuluh persen penghasilannya kepada geng pungli tersebut setiap hari. Dengan nominal pungutan sebesar 1,50 gulden hingga 1,50 gulden per hari. Hari itu, orang Tionghoa tersebut tidak mampu membayar sehingga dia dipukuli oleh geng pungli tersebut.
Tidak lama kemudian, pihak kepolisian pun bergerak dan berhasil menangkap tiga orang pelaku pungli yang merupakan warga Kanggraksan, Kota Cirebon.
"Setelah melalui banyak interogasi, operator bus Tiongkok tersebut akhirnya mengakui bahwa ia telah menawarkan sepuluh persen dari penghasilannya kepada geng tersebut setiap hari selama tiga tahun dengan jumlah yang berkisar antara f. 1. ke f. 1,50 per hari. Dia tidak mampu membayar pada hari itu dan karena itu menerima pemukulan," tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-IndieΜ, (18/04/1933).
Selain pemukulan, ada konsekuensi lain jika operator bus menolak pungutan liar, seperti yang paparkan dalam koran Nieuwsblad van het Noorden edisi 27/12/1933.
"Jika beberapa operator bus Tiongkok yang berani menolak, tindakan akan diambil. Geng tersebut kemudian menahan para pengemudi, melarang mereka keluar keesokan paginya dan mengancam masyarakat dengan berbagai hal yang dapat menakuti pengemudi. Jika ada pengemudi yang berani mengusirnya, maka laki-laki tersebut akan diancam dengan parang. Pemiliknya kemudian paham bahwa ini serius, jadi dia menyerah dan memutuskan lebih baik berkorban, karena takut akan konsekuensi jika melaporkan masalah tersebut ke polisi," tulis Nieuwsblad van het Noorden edisi (27/12/1933).
Terjadi juga sebuah insiden dimana pelaku pungli ditangkap, penangkapan terjadi ketika pelaku sedang memukuli seorang kuli di salah satu perusahaan yang ada di Pelabuhan. Namun, beberapa anggota geng lainnya bersembunyi dan bekerja di belakang layar, sehingga tidak ikut ditangkap.
Pungli di Pabrik Rokok BAT
Tidak hanya menyasar operator bus dan manajer perusahaan, pungli juga terjadi pada buruh pabrik yang bekerja di pabrik rokok legendaris di Cirebon, bernama British American Tobacco (BAT). Dalam koran Nieuwsblad van het Noorden edisi 27/12/1933, dipaparkan bagaimana modus pelaku pungli di pabrik.
Di hari Sabtu sore, ketika buruh menerima gaji satu minggu dari perusahaan. Para rentenir dan pelaku pungli menunggu di setiap pintu gerbang perusahaan. Bahkan pelaku pungli dari pribumi tahu, bagaimana caranya memeras dengan cara halus rekan senegaranya.
Modusnya, para pelaku pungli akan mendatangi para mandor dan atasan, di bawah ancaman, mereka dipaksa untuk berjanji membayar sejumlah uang tertentu setiap hari Sabtu, besarnya tergantung pada jumlah kuli yang bekerja di bawahnya. Hal ini menyebabkan para mandor memungut uang "pajak" untuk pungli tersebut dari para kuli.
"Setiap kuli harus dikenakan "pajak" sebesar 10 sen per minggu. Tentu saja para mandor memungut pajak itu dari para kuli. Dan jika ada di antara mereka yang tidak puas dengan 'pajak', jangan khawatir, para pemeras punya cukup sarana untuk menanamkan hal ini pada orang tersebut," tulis koran Nieuwsblad van het Noorden edisi (27/12/1933).
Sebelum polisi dan pemerintah mendapatkan laporan dari mata-mata. Ketakutan akan ancaman penganiayaan dan keselamatan nyawa menyebabkan para mandor dan kuli bungkam, sehingga tidak berani melaporkannya kepada kepolisian.
Para pelaku yang punya indikasi melakukan pemerasan, oleh polisi akan dimasukkan ke dalam tahanan preventif sambil menunggu persidangan. Dalam koran De koerier edisi 23/06/1934, polisi berhasil menangkap 9 orang pelaku pemerasan untuk dimasukan dalam tahanan preventif di Trusmi, Kabupaten Cirebon.
"Aneta melaporkan dari Cheribon, selain 17 orang yang hingga saat ini dimasukkan ke dalam tahanan preventif karena ikut serta dalam asosiasi kriminal Gagak Solo, termasuk mantan camat dan 4 anggota dewan desa, 9 orang kembali ditempatkan di tahanan preventif. penahanan di Troesmi karena pemerasan," tulis koran De koerier edisi (23/06/1934).
Dalam koran Soerabaijasch Handelsblad (03/12/1932), melaporkan, dalam kunjungan Residen Cirebon di Indramayu, diketahui bahwa wakil pengurus Himpunan Nelayan Swasta "Sa ja Samitra" di Indramayu. Telah melakukan pemerasan terhadap nelayan pribumi selama berkali-kali. Hal ini menyebabkan orang tersebut di berhentikan dari jabatanya.
Beberapa tahun sebelumnya, penduduk Cirebon juga melaporkan praktik pungli kepada dewan dua belas yang ada di Buitenzorg/Kota Bogor. Penduduk Cirebon melaporkan tentang praktik pemerasan sebesar β¬100 yang dilakukan pemimpin mereka. Tetapi sesampai di sana mereka dianggap tidak memiliki izin dan malah dikirim ke Batavia.
"Di Buitenzorg orang-orang dianggap tidak mempunyai izin dan dikirim ke Batavia. Mereka sekarang akan kembali ke Cheribon dengan kapal besok. Kami tidak diberitahu mengapa keluhan mereka tidak diselidiki atau bahkan didengarkan," tulis Bataviaasch handelsblad edisi (10/9/1891).
Menurut pegiat sejarah dari Komunitas Cirebon History, jangankan praktik pungli, perilaku korupsi juga sudah terjadi di masa Hindia-Belanda. "Ada juga korupsi, pembangunan jalan Deandles saja dikorup," tutur Lingga, Rabu (9/5/2024).
Lingga menceritakan, praktik pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pribumi menyebabkan banyak masyarakat yang kelaparan dan mati saat bekerja membangun jalan. Kala itu, sistem pemerasan yang dilakukan dengan modus memakan upah yang seharusnya dibayarkan oleh para bupati kepada penduduk pribumi.
"Kalau Pemerintah Hindia Belanda sih memberikan upeti atau upah untuk para pekerja melalui tangan para bupati. Namun dikorupsi oleh bupati itu sendiri yang notabene para bupati adalah orang dari pribumi bukan orang Eropa," pungkas Lingga.
(yum/yum)