Adat Masyarakat Sunda 'Baheula' Saat Puasa Ramadan

Adat Masyarakat Sunda 'Baheula' Saat Puasa Ramadan

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Minggu, 24 Mar 2024 09:00 WIB
Lebaran tempo dulu di Pangandaran.
Lebaran tempo dulu di Pangandaran. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Masyarakat Sunda menerima Islam sebagai pilihan beragama karena sebelumnya corak keagamaan masyarakat yang mendiami bagian barat pulau Jawa ini cenderung monoteis, dengan sesembahan Sanghyang Tunggal.

Namun, dalam praktik menjalankan ibadah menurut Islam itu, masyarakat masih memegang teguh tradisi lama yang mereka dapatkan dari kepercayaan sebelumnya. Sehingga, ada banyak upacara adat dilakukan dalam melaksanakan peribadatan, termasuk adat ketika bulan Ramadan.

Upacara-upacara itu lantas diwariskan turun-temurun yang sebagiannya bertahan hingga kini dan sebagian yang lain terkikis dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan pekerjaan masyarakat Sunda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, bagaimana adat masyarakat baheula saat berpuasa Ramadan di Sunda? detikJabar merangkumnya pada artikel ini. Simak yuk!

Adat Sebelum Puasa

R Akip Prawira Soeganda dalam buku "Upacara Adat di Pasundan", terbitan Sumur Bandung (1982) menceritakan dengan gamblang bagaimana adat orang-orang Sunda ketika berpuasa. Namun, sebelum jauh kepada bentuk adatnya, perlu kiranya kita mengenal apa itu adat.

ADVERTISEMENT

Menurut KBBI, adat adalah tata kelakuan yang turun-temurun dan kekal dari generasi ke generasi selanjutnya, sebagai warisan, sehingga integrasinya kuat terkait dengan pola perilaku masyarakat.

Sementara R Akip Prawira Soeganda menjelaskan bahwa adat terbentuk tanpa ada yang tahu asal mulanya.

"Jadi pendek kata segala pekerjaan apa saia yang menjadi adat kebiasaan umumnya hanya bersandar dari ceritera orang saja, jarang yang tahu asal mulanya atau mempelajari sendiri, oleh karena banyak yang tidak tahu asal riwayatnya, hanya sekedar menjalankan saja," tulisnya.

Masyarakat baheula di Sunda begitu akrab dengan hitungan waktu. Mereka mengenal kapan sebuah hitungan bulan dimulai dan kapan berakhir. Maka, pada tanggal 30 Rewah (Sya'ban), masyarakat keluar rumah untuk membunyikan beduk.

Suara beduk itu mengingatkan masyarakat agar segera membersihkan diri dengan cara berkeramas (kuramas), sebab esok akan mulai berpuasa. Suara beguk itu dinamai "dulag kuramas". Cara berkeramasnya belum dengan sampo, melainkan dengan arang dari sapu padi yang dibakar.

Pada hari itu, orang-orang Sunda telah mempersiapkan diri segala keperluan untuk berpuasa. Pagi sekali, mereka sudah pergi ke pasar dan pasar kondisinya ramai, lebih ramai dari biasanya. Orang Sunda mengatakan kondisi pasar itu "marema", artinya beramai-ramai. Mereka membeli bahan makanan untuk sahur hari pertama. Selain bersiap untuk kebutuhan puasa, mereka juga berbagi. Berbagi makanan sehari sebelum puasa dimulai dinamai "sedekah munggah".

"Karena waktu itu semua akan menjalankan keramaian agama atau secara adat kuno," tulis R Akip Prawira Soeganda.

Memasuki Bulan Ramadan

Jika saat ini ada orang Sunda-Islam ke langgar atau masjid hanya pada bulan puasa, ternyata itu ada pada adat masyarakat Sunda sebagaimana direkam oleh R Akip Prawira Soeganda. Menurutnya, ketika memasuki bulan Ramadan, penerangan-penerangan di langgar dilebihkan, terutama di bagian teras.

Hal itu karena orang-orang akan ke tempat itu untuk melaksanakan salat tarawih selepas isya. "Sebab, waktu itu banyak orang datang ke tempat itu. Meskipun orang yang tidak pernah ke situ, waktu itu datang, anak laki-laki berkerumun turut ke masjid dengan orang tuanya," tulis R Akip Prawira Soeganda.

Tarawih Ramai Teriakan Anak-anak

Pada masyarakat di dusun-dusun di Sunda, pelaksanaan tarawih tidak ada banyak pilihan rakaat seperti keterangan-keterangan agama Islam tersiar sekarang ini, kecuali hitungan 23 rakaat. Sholat dilakukan dalam dua rakaat-dua rakaat 10 kali plus tiga rakaat.

Saat selesai dua rakaat, sebelum menuju ke dua rakaat selanjutnya, ada salah seorang di antara petugas masjid yang menggumamkan doa yang menuntut jawaban dari para jemaah. Jawaban itu berupa ucapan selawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Bunyinya, "Sholli wa sallim 'alaihi". Tetapi, anak-anak yang ikut tarawih seringkali berteriak dan menyebutkan selawat itu dengan cepat. Terdengarlah suara "Salimoleh".

R Akip Prawira Soeganda mengatakan anak-anak bahkan sering keterlaluan membuat selawat itu jadi bahan bercandaan. Dikatakannya "Salimoleh" menjadi "Si Salim Paeh!", artinya Salim meninggal dunia.

Mendengar itu, orang-orang dewasa yang berada berdekatan dengan anak "bengal" itu, maka akan diusirnya anak-anak itu, dan itu menjadi kesempatan bagi mereka untuk berlarian menghambur menjauhi orang yang menyergahnya tadi.

Bunyi Dulag Janari

Jika orang-orang yang membangungkan sahur saat ini mulai beroperasi membuat "bising" suasana pada pukul 03.00 subuh, maka adat masyarakat baheula di Sunda lebih dini hari lagi.

Masyarakat zaman dahulu membunyikan beduk pada selepas tengah malam. Suara beduk yang ditabuh itu dinamakan "dulag janari", yaitu suara dulag atau beduk untuk membangunkan orang agar segera memasak buat bersantap sahur.

Ini dimaklumi sebab ketika itu, masyarakat sebagian besarnya masih menyalakan kayu bakar pada tungku untuk memasak. Ini memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan memasak zaman kiwari. Memakan hasil masakan ini untuk berpuasa dikatakan "makan sahur".

Suasana Pekan Pertama Ramadhan

Pada pekan pertama bulan Ramadhan yang dilalui masyarakat Sunda zaman baheula, suasananya sunyi. Rumah-rumah penduduk sunyi pada siang hari, begitu juga di jalan-jalan, tak ditemukan penjual makanan.

Namun, setelah sepekan, ada saja orang-orang yang tidak penuh melaksanakan puasa lantaran beberapa hal. Ada yang karena pekerjaan berat, ada pula yang sengaja mencari-cari alasan untuk tidak penuh berpuasa.

Karena perilaku itu, R Akip Prawira Soeganda menyebutkan, muncul ejekan-ejekan kepada oramg tidak berpuasa, di antaranya "puasa kendang" atau "puasa tutup kendang", merujuk pada alat musik tabuh di Sunda, kendang yang merupakan selongsong kayu cembung dengan kulit di setiap ujungnya. Maksudnya, puasa kendang itu puasa di awal dan di akhir saja. Tengahnya tidak.

Istilah lain, "puasa kuda". Yaitu untuk orang-orang yang mencari alasan untuk berbuka puasa di tengah hari.

Mamaleman

Mamaleman adalah malam yang ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Masyarakat mengenalnya dengan "lailatulkadar". Biasanya, mamaleman terjadi pada tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29. Pada daerah lain di Priangan, ada juga sebutam "malem lilikuran".

Pada malam ini, menurut adat kebiasaan, orang-orang memasang lampu dan bersedekah kue-kue, ada dengan cara mengundang tetangga atau teman, ada pula yang hanya berkirim-kirim.

Pada mamaleman ini, banyak orang yang tidak tidur bahkan hingga larut malam. Ini dikaitkan dengan harapan mereka mendapatkan "lailatulkadar", yaitu kedatangan Malaikat Jibril membawa untung untuk manusia.

Lebaran

Pada hari ke-30 puasa, masyarakat Sunda menurut adat kebiasaannya akan bersiap-siap untuk berlebaran esok hari. Selain aktivitas pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan, pada hari itu juga beduk ditabuh dari pagi sampai sore.

R Akip Praira Soeganda mengatakan, bunyi tabuhan beduk itu untuk memberi tahu bahwa nanti sore, ketika magrib tiba, adalah 1 Syawal.

Sore itu juga, masyarakat mulai berdatang ke rumah lebe atau ustaz, atau siapapun yang dianggap terpandang untuk menyerahkan zakat fitrah. Ukuran zakat itu adalah beras sebanyak 3 kati bagi setiap orangnya.

Orang-orang Sunda mementingkan mengeluarkan zakat. Sebab kemudian jika tidak bisa mengeluarkan zakat, akan terasa terhina. Maka, jika ada orang menghina, orang Sunda akan berkata mengapa dia dihina, seolah-olah dia itu orang tidak megeluarkan zakat saja: "Na ngahina teuing kawas ka jelema anu teu dipitrahan bae".

Selepas magrib, orang-orang akan saling berkirim makanan. Makanan dikirimkan antar tetangga atau kerabat dekat. Adat ini dinamakan "hajat walilat" atau "hajat lebaran". Yang dibuat adalah nasi lengkap lauk-pauknya.

Keesokannya, ada bunyi kentungan pertanda Subuh awal, dan semua orang akan pergi mandi, membersihkan diri. Pada pagi harinya, orang-orang Sunda bersiap ke masjid untuk sholat Idul Fitri. Seusai salat dan mendengarkan khutbah, barulah semua bersalaman saling memaafkan. Upacara bersalaman saling memaafkan ini disebutlah "lebaran".

(iqk/iqk)


Hide Ads