Barongsai dipercayai masyarakat Tionghoa sebagai simbol keberuntungan. Maka, pertunjukan barong berbentuk Singa Cina itu menjadi hal yang wajib diselenggarakan. Terutama ketika perayaan tahun baru Imlek.
Di manapun warga Tionghoa tinggal, barongsai selalu dipertontonkan. Tak terkecuali di Indonesia. Namun, perjalanan barongsai di Indonesia pernah mengalami masa timbul tenggelam. Sama halnya dengan tradisi induknya, Imlek.
Suasana politik yang menyertai tradisi barongsai di Indonesia menjadikannya tidak selalu identik dengan keberuntungan, malah pertunjukan barongsai mendapat tekanan untuk tidak dipertontonkan di depan umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelombang Migrasi
Kemanapun warga Tionghoa pergi, mereka selalu membawa serta kebudayaan mereka, termasuk produk budaya berupa barongsai.
Ketika migrasi besar-besaran dilakukan warga Tionghoa ke Indonesia pada abad ke-19, barongsai turut terbawa juga. Gelombang migrasi semakin besar sehingga warga Cina di Indonesia semakin banyak.
Mima Kharimah Aryani dalam Jurnal JEJAK: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP UNJA, Vol. 2 Nomor 2, Desember 2022, mengatakan bahwa akibat migrasi itu, warga Cina bisa tinggal bahkan hingga tiga generasi.
Melihat kenyataan ini, pemerintah khawatir akan dampak Tionghoa itu. Maka dibuatlah Instruksi Presiden untuk meminimalisir "Ketionghoaan" kelompok etnis.
Pemerintah sadar bahwa hanya pihaknya yang bisa menjadi penengah urusan etnis itu. Maka diselenggarakan sidang umum pada tahun 1966.
Di dalamnya, dibahas solusi untuk permasalahan ras dan etnis ini, dan dihasilkanlah kesepakatan agar etnis Tionghoa berasimilasi dengan kebudayaan Indonesia.
Dari sini, jelaslah bahwa barongsai sebagai bagian dari kebudayaan Tionghoa harus dibaurkan, dengan kata lain, dipinggirkan dari arus kebudayaan mayoritas.
Intruksi Presiden 1967
Sidang Umum yang telah dilaksanakan menghasilkan sebuah peraturan. Yaitu, terbitnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Aturan tersebut langsung berlaku ketika disahkan.
Poin-poin penting dalam Instruksi Presiden tentang ras dan etnis itu berbunyi:
Pertama: "Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadahnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas cultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan."
Kedua: "Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga."
Pada poin pertama, yang ibadah komunitas Tionghoa harus dilakukan secara sangat kecil dalam internal keluarga. Bahkan lebih kecilnya, dilakukan secara perorangan.
Berikut pada poin kedua, hal-hal yang berbau adat istiadat Tionghoa, harus diselenggarakan dengan tidak mencolok. Barongsai sendiri bagian dari adat istiadat itu, dan barongsai tidak bisa diselenggarakan tanpa mencolok.
Selain berupa atraksi yang sudah pasti mencolok, pertunjukan barongsai juga diiringi tetabuhan alat-alat musik yang menimbulkan suara keras.
Namun, aturan tetap aturan. Aturan itu dilaksanakan dan semakin lama dirasakan sebagai diskriminasi bagi warga Tionghoa di Indonesia.
Aturan Turunan
Tak cukup dengan Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967, aturan-aturan turunan dari instruksi tersebut dibuat Mima Kharima mengutip Daud Ade Nurcahyo, "Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa" (2016) bahwa pemerintah mengadakan aturan turunan yang melarang pendirian tempat ibadah warga Tionghoa.
Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1968, menegaskan pelarangan penggunaan lahan untuk pembangunan, perluasan, atau pembaruan Klenteng atau tempat ibadah umat agama Kong Hu Cu.
Ditambah lagi, Peraturan Menteri Kehakiman No J.B.3/4/12
tahun 1978, mengharuskan setiap warga Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) sebagai bukti kewarganegaraannya.
Serta, Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 menjadi peraturan selanjutnya yang mendukung Inpres diatas,
peraturan ini mengatur penerbitan dan penulisan untuk melarang penggunaan huruf Tionghoa. Kebijakan ini mewajibkan etnis Tionghoa untuk melebur di dalam kebudayaan masyarakat setempat, yaitu dimana etnis Tionghoa tersebut tinggal.
Semua aturan itu berdampak pada implementasi keagamaan warga Tionghoa di Indonesia. Yakni, tidak adanya hari libur keagamaan, penrtunjukan seni, tidak ada kelenteng yang diperuntukkan bagi umat Kong Hu Cu.
Melainkan kelenteng dipakai bersama umat tiga agama, Kong Hu Cu, Budha dan Taoisme karena Kong Hu Cu. Pada KTP tidak tercantumkan agama Kong Hu Cu karena agama yang diakui oleh pemerintah hanya ada 5 yaitu Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Protestan.
Inpres Dicabut Gusdur
DetikNews melansir sebuah kenangan akan situasi politik yang membebaskan warga Tionghoa menjalankan agama dan tradisinya di Indoenesia. Insturksi Presiden nomor 14 tahun 1967 itu dicabut. Buktinya, kini perayaan imlek dan barongsai mudah ditemukan.
Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid menyebut warga keturunan Cina di Indonesia bisa bebas merayakan Imlek tak lepas dari peran Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Menurutnya, di era Gus Dur menjadi Presiden lah babak baru kebebasan beragama hingga tradisi dijalankan.
"Ketika Gus Dur menjadi presiden, inpres yang ada dicabut serta mengeluarkan aturan yang baru yakni Keppres Nomor 6 Tahun 2000,"
"Keputusan inilah yang diakui sebagai babak baru bagi kalangan Tionghoa di Indonesia untuk menjalankan kebebasan beragama, adat, budaya, dan tradisi serta merayakan Imlek secara terbuka di tengah masyarakat," ujar Jazilul dalam keterangannya, Jumat (4/2/2022).
(tey/tey)