Gaok merupakan salah satu kesenian khas Majalengka. Seni bertutur lisan itu kini sudah hampir menjemput ajalnya. Saat ini, hanya tersisa Bah Rukmin sebagai dalang gaok terakhir di Majalengka.
Dangdanggula
Bagja teuing nagri sindangkasih (Bahagia hatiku di kota Sindangkasih)
Subur ma'mur estu lain beja (Subur makmur seperti tanah yang subur)
Bukti henteu pisan bohong (Bukti tidak terlalu banyak dusta)
Kahirupan nu dilembur (Kehidupan yang sejahtera)
Ngutamakeun rakyat leutik (Mengutamakan rakyat kecil)
Kaamanan di desa (Keamanan di desa)
Asal-usul Seni Gaok
Penggalan lirik di atas merupakan contoh naskah yang digunakan dalam pertunjukan gaok. Naskah tersebut menceritakan tentang rasa suka hati tinggal di Kota Sindangkasih (Majalengka) yang subur dan makmur. Kehidupan di kota tersebut sangat sejahtera, para pemangku kebijakan pun mengutamakan kepentingan rakyat kecil.
Terkesan indah dan menggambarkan keindahan kan, detikers? Namun, tahukah kamu lirik tersebut dinyanyikan dengan cara berteriak? Mari kita mengenal gaok lebih dalam.
Gaok berasal dari kata ngagorowok yang artinya berteriak. Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, gaok adalah seni mamaos (membaca teks) dan menyampaikan wawacan ka nu acan (memberi tahu kepada orang yang belum tahu) dalam bentuk pupuh. Dilansir dari Indonesian Journal of Primary Education, pupuh adalah puisi tradisional Sunda yang memiliki patokan jumlah suku kata dan vocal akhir pada setiap barisnya.
Dikutip dari lamandisparbud.majalengkakab.go.id, mulanya gaok adalah media dakwah Islam pada masa pemerintahan Pangeran Muhammad abad ke-15. Tokoh yang berjasa mengembangkan gaok saat itu adalah Sabda Wangsaharja dan E. Wangsadiharja.
Berdasarkan sejarahnya, seni gaok mengalami perpaduan antara budaya Sunda dan Islam. Hal tersebut dapat terlihat dari awal pertunjukan yang dimulai dengan ucapan basmallah, namun dalam bahasa Sunda.
Muhamad Ridwan, S.Sn., selaku juru gaok muda menambahkan, gaok juga berasal dari kebiasaan masyarakat ketika berada di hutan atau sawah. "Dulu gaok itu digunakan sebagai kode, ketika sedang di hutan dan merasa keeung (takut), akhirnya mereka berteriak seolah mencari teman, lalu dijawab oleh orang yang berada di sisi hutan lainnya, hingga akhirnya saling bersahutan dan jadilah seni," kata Ridwan saat wawancara di SMPN 3 Majalengka, 14 Desember 2023.
Gaok Dulu dan Sekarang
Isi dari tampilan seni bertutur lisan ini sudah sedari dulu berisikan wawacan. Pada pertunjukan gaok, wawacan tidak hanya sekadar dibaca, namun dinyanyikan dengan cara berteriak melalui suara khas melengking dari para penyanyinya (laki-laki).
Pertunjukan seni gaok melibatkan empat sampai enam orang, dengan satu orang sebagai dalang/pemimpin, selebihnya menjadi juru mamaos (yang mengulangi perkataan dalang dengan nada tinggi atau gaok) dan penabuh alat pengiring.
Dulu, gaok dilengkapi alat pengiring berupa songsong (bambu) dan buyung (tempat menyimpan air dari tembaga). "Buyung teh bisa niup goong leutik jeung goong gede, anu ahli na tos almarhum. Ayeuna tos teu aya nu bisa, da kuring ge teu bisa, mun bisa mah geus ku sorangan (yang bisa memainkan buyung sudah meninggal. Sekarang sudah tidak ada yang bisa, saya juga tidak bisa, kalau bisa sudah saya mainkan sendiri)," kata Bah Rukmin, dalang Gaok, saat wawancara di kediamannya di Desa Kulur, Majalengka, 14 Desember 2023.
Bah Rukmin menjelaskan buyung berfungsi sebagai goong kecil dan goong besar pada pertunjukan gaok. Namun sayangnya, buyung dan songsong kini hanya tersisa peninggalan alatnya saja, karena teman Bah Rukmin yang dapat memainkan alat tersebut sudah meninggal dan tidak sempat mewariskan cara memainkannya.
Bah Rukmin menjelaskan bahwa gaok dulu hanya terbatas pada perayaan tertentu, biasanya gaok dipentaskan ketika upacara Babarit Pare (syukuran ketika padi akan dipanen) dan ritual Ngayun (acara syukuran 40 hari kelahiran bayi).
Kostum yang dikenakan para seniman gaok adalah baju kampret, lengkap dengan iket Sunda di kepalanya. Hingga saat ini, seniman gaok masih menggunakan pakaian tersebut.
Tak hanya tampil pada acara tertentu, gaok pun kini dapat disaksikan dalam berbagai momen. "Saya dulu dipanggil pentas gaok hanya untuk acara syukuran kelahiran bayi, tapi pada akhirnya di acara khitanan, bahkan di acara pernikahan pun saya dipanggil," cerita Bah Rukmin.
Seiring berjalannya waktu, Ridwan sebagai juru gaok muda menjelaskan, secara musikalitas, gaok saat ini sudah diiringi beberapa alat musik. "Terkadang di beberapa pertunjukan, gaok diiringi kacapi, rebab, kendang, dan goong," jelas Ridwan.
Sementara itu, pada pementasan gaok, terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang dapat kita ambil. Sudah ada peneliti yang mengulik terkait nilai-nilai kearifan lokal pada gaok. Mereka adalah Masitoh dan Sudrajat. Kepedulian mereka terhadap gaok, mengantarkan pada sebuah hasil karya artikel jurnal dengan judul "Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesenian Gaok Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah"
Hasil penelitian pada artikel jurnal milik Masitoh dan Sudrajat menjelaskan, gaok memiliki makna positif dalam sistem religi, sosial, bahasa, pengetahuan, mata pencaharian, dan tentunya kesenian.
Contohnya adalah wawacan yang menceritakan sejarah Talaga Manggung. Pada salah satu bagian naskah Talaga Manggung, dijelaskan bahwa toleransi beragama masyarakatnya pada saat itu sangatlah tinggi, meskipun kerajaannya bercorak Budhha, namun tetap harmonis dengan masyarakat yang beragama Hindu.
Masitoh dan Sudrajat menambahkan, lirik Talaga Manggung itu mengandung makna bahwa, sikap toleransi dan saling menghargai satu sama lain sangatlah penting, meskipun kita tidak hidup di jaman kerajaan Talaga Manggung. Melalui sikap toleransi, tidak akan timbul perpecahan, dan akan tercipta kehidupan yang lebih tentram.
(orb/orb)